Ini adalah kisah rumah tanggaku. Mungkin saja relate dengan sebagian rumah tangga lainnya. Terlebih lagi yang masih tinggal menumpang dengan orangtua. Sebut saja namaku Mirna. Sudah tiga puluh tahun lamanya aku berumah tangga dengan suamiku bernama Irwan. Kami bahagia seharusnya.
Kami tinggal menumpang dengan orantua suamiku bukan karena tidak mampu membeli atau mengontrak rumah. Itu kami lakukan karena murni kekhawatiran kami terhadap orantua suamiku yang sudah renta. Suamiku hanya dua bersaudara dengan Abangnya yang juga telah menikah. Tentu saja dia yang sukses sudah sejak menikah pergi meninggalkan rumah mertuaku untuk tinggal dengan istrinya.
Dulu saat masih pacaran, kami sudah pernah membahas soal ini. Soal dimana kami akan tinggal setelah menikah. Tentu saja aku yang sudah memiliki rumah sendiri, hasil dari warisan orangtuaku tentunya sangat ingin kami tinggal di rumahku itu. Aku anak tunggal, orangtuaku sudah lama meninggal. Bahkan sebelum sempat aku menikah. Aku adalah yatim piatu yang syukurnya sanggup mengejar pendidikanku ke perguruan tinggi negeri dengan beasiswa.
Walaupun tetap membutuhkan biaya, aku bisa menyelesaikan kuliahku tepat waktu karena aku bekerja sambil tetap kuliah. Aku berusaha untuk hidup lurus-lurus saja, baik-baik saja. Semuanya berjalan lancar seolah hidupku ini hanya tinggal menunggu ajal. Tempat tinggal aku punya, pekerjaan sudah ada, kuliah selesai tepat waktu, jodoh didepan mata.
Setelah lulus kuliah, tak lama aku mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikanku di perusahaan ternama yang tentunya sangat mensejahterakan karyawannya. Karirku bagus. Saat itu Mas Irwan juga tidak kalah berprestasi. Kuliahnya juga selesai meski tertunda setahun karena biaya. Kami menjalin kasih cukup lama. Hingga akhirnya kami memutuskan menikah karena merasa sudah sama-sama mapan dan umur kami sudah lebih dari cukup.
Terdengar sempurna bukan? Tentu saja. Itulah yang dilihat semua orang. Setelah menikah, aku masih tetap bekerja dan mengejar karirku. Saat itu semua masih baik-baik saja. Kami memang mapan, tapi kami memutuskan tetap tinggal di rumah orangtua Mas Irwan. Itu semua karena Mas Irwan enggan meninggalkan orangtuanya yang sudah renta. Akupun setuju. Karena memang selama ini orangtua Mas Irwan sangat berlaku baik padaku.
Setelah putri pertama kami lahir, saat masih masa cuti aku segera mencari pengasuh. Ibu mertua tentunya sempat menolak. Dengan alasan Ia masih sanggup menjaga bayi. Seperti kebanyakan orangtua, mereka sangat senang dengan kehadiran cucunya dan merasa sanggup menjaganya. Namun aku tidak ingin menyusahkan Ibu mertuaku. Karena yang kulihat selama ini Ibu selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri dan tidak suka ada ART di rumah.
Aku sih setuju saja. Karena akupun masih bisa menghandle pekerjaan rumah bergantian dengan Ibu mertua. Disini aku bukan mau menjelekkan Ayah mertuaku. Tapi ini memang faktanya. Ayah mertuaku sangat amat sekali tidak berperan apa-apa dalam rumah tangga di rumah ini. Tak pernah sekalipun Ia membantu pekerjaan rumah. Aku tidak tahu apakah beliau type laki-laki patriarki atau bukan. Karena selama aku tinggal disana, Ibu mertua sama sekali tidak pernah membuat celah dimana Ayah mertuaku harus memerintah melakukan sesuatu.
Semuanya sudah Ibu lakukan sedari subuh. Menyapu, mengepel, Mencuci piring, Memasak, menyediakan kopi pagi, teh sore, koran atau majalah di meja teras, cemilan dan pakaian Ayah mertua semuanya selalu siap sedia setiap hari. Jadi aku tak pernah melihat mereka bertengkar karena hal sepele. Apa yang dibutuhkan Ayah mertua, selalu sudah Ibu sediakan. Itulah hebatnya Ibu mertuaku.
Aku jadi tidak tahu sifat asli Ayah mertua. Apakah jika rumah berantakan Ia akan marah tanpa membantu membereskannya atau diam saja. Karena hal itu tidak pernah terjadi. Rumah selalu rapi dan bersih. Namun, beberapa tahun setelah Masayu putriku lahir, Ayah mertua berpulang.
Ibu sangat sedih bukan main. Berhari-hari Ia tak keluar kamar. Seolah dunianya gelap tanpa Ayah. Jika bukan tangisan Masayu yang memecah keheningan rumah, mungkin Ibu benar-benar tidak keluar kamar selamanya. Saat itu Masayu sakit. Demam mengganggu tidurnya. Sehingga Ia sering menangis. Aku, Mas Irwan dan Mba Tijah bergantian menimangnya demi menenangkannya. Namun malam itu Masayu tidak juga mau diam. Padahal hari itu Ia sudah dinyatakan sehat oleh Dokter dan boleh pulang untuk rawat jalan saja.
Tapi di rumah, Ia malah sering menangis. Entah apakah dia merasa kehilangan eyangnya yang baru beberapa hari meninggal atau karena memang masih sakit. Intinya malam itu dia terus saja menangis. Hingga akhirnya membuat Ibu keluar kamar. Mencoba membantu menenangkan Masayu.
Alhamdulillah, ditangan Ibu Masayu tenang dan tidak lagi menangis. Mungkin benar Ia merindukan eyangnya. Sejak hari itu hanya Ibu yang sanggup menenangkan Masayu ketika dia rewel. Bahkan Mba Tijah saja yang merawatnya sedari lahir masih sering kewalahan. Alhamdulillah dampaknya Ibu jadi sibuk mengurus Masayu dan tidak ada waktu untuk terus menerus tenggelam dalam kesedihan mengenang Ayah mertua.
Waktu berlalu dan semua masih baik-baik saja. Sampai akhirnya aku hamil anak kedua. Alhamdulillah laki-laki. Kami senang bukan main karena akhirnya memiliki sepasang anak yang menurut kami sudah lengkap dan cukup. Tapi kemudian musibah menimpaku. Ketika putraku lahir, terjadi masalah pada kesehatanku. Entah apa yang terjadi.
Seingatku saat itu, samar-samar aku mendengar Dokter bertanya kepada Mas Irwan. Mana yang mau diselamatkan. Apakah Ibunya, atau bayi kami. Kondisiku saat itu sangat lemah. Sehingga aku hanya mendengar sayup-sayup saja pembicaraan mereka sebelum akhirnya aku tidak sadar di meja operasi yang dingin itu.
Dua bulanpun berlalu dari aku melahirkan anak keduaku. Rupanya selama dua bulan ini aku jatuh koma. Semua orang di ruangan rawatku nampak terkejut melihatku membuka mata. Sayup-sayup kudengar Mas Irwan berteriak memanggil suster. Menginformasikan bahwa aku siuman.
Tak berapa lama Dokter sudah berdiri dihadapanku memegang senter kecil dengan stetoskop dilehernya. Ia membuka paksa mataku dan menyorotkan lampu senter itu ke mataku yang terbuka lebar. Tentu saja itu sangat silau.
Dokter berkata bahwa ini mukjizat. Karena akhirnya kornea mataku merespon, yang artinya aku betul-betul tersadar. Meski begitu, aku masih sangat lemah. Masih harus terus berada dalam perawatan Rumah Sakit. Untungnya, semua masih dicover asuransi perusahaan tempatku bekerja. Statusku selama dua bulan tidak bisa bekerja masih dipertahankan oleh atasanku. Aku masih berstatus karyawan.
Ternyata ketika Mas Irwan dihadapkan dengan pilihan antara memilihku atau bayi kami, dengan tegas Ia memilihku. Namun Alhamdulillah ajaibnya kami berdua bisa selamat. Namun tak berselang lama setelah aku menyusui putraku, aku tak sadarkan diri hingga akhirnya dua bulanpun berlalu.
Singkatnya, aku pulang ke rumah sudah dalam keadaan sehat Alhamdulillah. Saat kupulang kondisi rumah seperti biasa selalu rapi. Hanya bagian tempat bermain yang agak berantakan. Wajar saja, Masayu masih balita dan adiknya lahir disaat Ia masih senang bermain-main dan tak paham menjadi Kakak.
Mba Tijah tetap mengurus Masayu, sementara putraku Akbar dirawat oleh Ibu. Tadinya Mas Irwan ingin mencari satu pengasuh lagi demi Ibu bisa istirahat tanpa focus mengurus Akbar. Namun Ibu menolak. Dengan alasan Ia masih kuat dan rasanya sayang jika uang segitu banyak hanya untuk membayar pengasuh bayi. Mas Irwanpun menuruti Ibu.
Seminggu aku masih tertatih merasakan sakit. Sehingga pekerjaan rumah dan Akbar masih dihandle oleh Ibu. Namun lambat laun semua berubah. Ibu jadi lebih sering marah-marah. Aku menyadari sikap Ibu berubah setelah aku sudah tak lagi bekerja. Mas Irwan memintaku resign saja demi mengurus rumah. Akupun setuju karena kupikir Mas Irwan cukup mapan untuk menafkahi keluarga ini.
Sejak itulah Ibu lebih sering menyindirku. Ia bilang untuk apa pendidikan tinggi kalau hanya di dapur dan kasur saja. Padahal kami mengambil keputusan ini agar Ibu lebih ringan mengerjakan pekerjaan rumah. Namun aku bukan hanya meringankan beban Ibu. Tapi betul-betul mengambil alih seluruh pekerjaan di rumah.
Entah kenapa Ibu jadi lebih sering keluar rumah hanya untuk nongkrong dengan tetangga. Berghibah dan terkadang pergi pengajian yang sering sekali mengadakan acara jalan-jalan. Uang memang bukan masalah bagi kami. Karena kami sanggup. Namun menurutku ini sudah keterlaluan. Bisa tiga hari sekali Ibu meminta uang untuk acara macam-macam.
Sebentar-sebentar pengajian, tidak lama kemudian ziarah, ada lagi jalan-jalan lansia, belum lagi tour Ibu-ibu perumahan. Aaah rasanya kepalaku mau pecah mengurus semuanya sendirian. Sejak aku sehat dan pulang ke rumah, tak satupun pekerjaan rumah dikerjakan Ibu. Bahkan merapikan kamarnya sendiripun selalu aku. Jika ada barangnya yang hilang, Ia akan mengamuk sejadi-jadinya. Seolah aku tak becus mengurus kamarnya. Walaupun tidak lama kemudian Ia menemukan barang yang hilang itu karena ternyata Ia sendiri yang terlupa meletakkannya, tak satu katapun permintaan maaf keluar dari mulutnya setelah mencaci dan menuduhku mengambilnya.
Mba Tijah akhirnya resign. Dia beralasan ingin menikah. Namun aku tahu itu hanya alasan saja. Karena sebenarnya Ia tak tahan melihat perlakuan Ibu padaku yang semena-mena. Terlihat jelas Ibu membenciku. Karena Ia tak pernah sekalipun murka pada Mba Tijah. Bahkan sebaliknya. Ibu baik sekali padanya. Sementara denganku yang menantunya, setiap hari menerima amarah dan sindiran pahit.
Entah kesalahan apa yang kulakukan sehingga membuat perangai Ibu berubah buruk padaku setelah aku full time di rumah. Sepertinya selama aku berkarir, Ia baik karena memang bertemu denganku hanya beberapa jam sehari. Aku sibuk di kantor dan ketika sudah di rumahpun lebih sering di kamar atau di ruang kerja Mas Irwan.
Pernah aku bertanya padanya. Apa yang sudah kulakukan hingga Ibu benci sekali padaku? Ibu hanya membuang muka lalu pergi begitu saja. Mas Irwan bukannya tidak tahu hari-hari yang kualami. Ia tahu namun tak bisa berbuat banyak karena itu Ibunya. Berkali-kali akub membujuk Mas Irwan untuk pindah rumah, namun yang terjadi hanyalah pertengkaran. Ia bilang aku egois. Memikirkan kesehatanku sendiri tanpa berpikir Ibu akan tinggal dengan siapa jika kami pindah.
Ibu memang betul-betul sudah sebatang kara tanpa Mas Irwan. Ayah mertua yang sudah meninggal, juga Bang Arya yang memilih tinggal di rumah istrinya. Membuat kami tak punya pilihan selain menjaga Ibu di rumah ini. Suatu hari, Mas Irwan mencoba bicara dengan Ibu. Agar Ia mau bicara dari hati ke hati denganku. Bicarakan apa sebenarnya yang membuat Ibu benci padaku. Namun Ibu berkata kalau itu hanya perasaan kami saja.
Ia bersikap seolah tidak ada masalah di rumah ini. Namun yang terjadi setelah itu, Ibu malah makin menjadi-jadi. Ia bilang aku sengaja mengadu domba dirinya dengan anaknya. Dia menuduhku ingin membuat Mas Irwan durhaka padanya.
Aku lelah, sedari jam 4 subuh aku terbangun. Menyiapkan segala hal di rumah ini. Menyapu, mengepel, masak sarapan, menyiapkan bekal Mas Irwan, memandikan anak-anak, mencuci pakaian, menyetrika, dan setumpuk pekerjaan lainnya yang tak ada habisnya. Semua itu kulakukan sambil menggendong Akbar yang masih setahun dan seringkali digelendoti Masayu yang juga masih balita.
Sungguh, aku pernah berfikir ini adalah neraka yang sesungguhnya. Aku tak kuat lagi. Semua kukerjakan, namun Ibu mertua masih tak terima dengan mengatakan aku tak berguna sebagai seorang istri. Bisaku hanya menghamburkan uang anaknya.
Terkadang aku berfikir. Sepertinya Ibu membenciku sejak aku sudah bukan lagi wanita karir yang membuatnya bangga. Sepertinya Ibu tak rela jika Mas Irwan putra bungsu kesayangannya itu lelah bekerja seharian di luar demi memberikanku uang untuk dihamburkan menurutnya. Aku tak mengerti apa yang salah dari itu semua.
Bukankah dulu Ibupun begitu terhadap Ayah mertua? Ia juga mengerjakan semua pekerjaan rumah dan tidak berkarir. Puncaknya, Ibu mengusirku. Namun Ia tak mengizinkanku membawa Masayu dan Akbar. Akupun bingung. Kucoba untuk tetap bertahan dan tak tahu malu. Sudah diusir namun tak bergeming dan tetap tinggal.
Itu semua karena Ia tak membolehkan aku membawa anak-anakku dengan alasan mereka cucunya. Lho, aku Ibunya. Bukankah seharusnya aku lebih berhak atas mereka? Aku seringkali stress dan depresi berkepanjangan. Semakin hari, aku menjadi orang yang temperamen. Terkadang Akbar takut padaku dan berlari kepangkuan neneknya. Jika sudah begitu, aku hanya meneteskan air mata dan menyalahkan Ibu mertuaku.
Ia berhasil membuat anak-anakku jauh dariku. Jika mereka diminta memilih, aku yakin mereka akan lebih memilih neneknya daripada aku Ibunya. Karena memang belakangan ini aku seringkali memarahi mereka. Menjadikan mereka pelampiasan. Meski tak sekalipun aku memukul mereka. Namun sepertinya siksaan verbal lebih membuat mereka trauma.
Akibatnya aku sering menangis dan menyalahkan diriku. Kenapa aku harus sakit dan jatuh koma yang membuatku harus resign dan menjadi Ibu rumah tangga biasa begini? Aku bukan lagi wanita karir berkelas yang bisa menyombongkan diri dihadapan banyak orang. Begitu pikirku.
Suatu hari, kucoba melukai diriku. Dalam bathtub aku mengiris pergelangan tanganku dengan pecahan cermin yang kupukul sendiri dengan tanganku. Darah menggenang memenuhi lantai. Jika saja Mas Irwan tak pulang cepat hari itu, mungkin aku sudah mati. Karena saat itu aku sedang bertengkar hebat dengan Ibu karena masalah sepele. Ibu keluar menenangkan diri. Sementara aku yang sakit secara psikis merasa tak ada lagi jalan keluar untuk hidup tenang di rumah ini.
Mau pergipun tak sanggup jika harus meninggalkan anak-anak. Mas Irwan melarikanku ke Rumah Sakit. Tapi tahu apa yang terjadi setelah aku pulang dan sembuh?
Ibu tidak sadar juga. Ia justru malah semakin menjadi-jadi. Mengataiku bermental lemah, tak punya iman, gila, dan tak pantas merawat anak dan suamiku. Aku semakin terpuruk karena Mas Irwan tak bisa berbuat banyak. Karena Ibu licik. Dihadapan putra kesayangannya itu, Ia menjadi pendiam dan tak banyak membuliku. Mas Irwan hanya selalu memintaku bersabar menghadapi Ibunya yang sudah renata itu.
Akhirnya suatu hari. Akupun tak sanggup lagi dan lari dari rumah membawa serta Masayu dan Akbar. Aku istigfar sepanjang perjalanan ke rumahku sendiri. Meski rumah itu mungkin sudah dipenuhi laba-laba dan debu. Aku sanggup membersihkannya seorang diri. Aku tak peduli lagi dengan Ibu dan Mas Irwan. Untungnya aku punya tabungan yang lebih dari cukup.
Pesangonku saat resign dulu belum pernah kugunakan karena uang belanja saja masih tersisa setiap bulan dan bahkan bisa kutabung. Aku meninggalkan surat di nakas. Kuganti nomor ponselku agar tak ada yang bisa melacakku.
Kepada Mas Irwan suami yang selalu kucintai,
Mas, aku mohon maaf sebesar-besarnya. Jika kau menyalahkanku karena keputusanku pergi dari rumah ini, aku pasrah. Mungkin Ibu benar. Mentalku terlalu lemah sebagai seorang menantu. Aku tak sanggup lagi menghadapi Ibumu Mas. Demi Allah yang mengetahui isi hatiku. Cintaku padamu tak pernah sedikitpun berkurang. Namun aku butuh kewarasanku untuk mendampingi anak-anak tumbuh besar.
Kau tahu aku dimana jika saja suatu hari nanti kau memutuskan untuk lebih memilihku dan tinggal bersama kami. Tapi sampai saat itu tiba. Aku mohon jangan sekalipun kau menampakkan diri dihadapan kami. Karena kami tak akan kuat melihatmu datang untuk kemudian pergi lagi hanya sekedar menengok kami.
Aku ingin ketika kau menghampiriku dan anak-anak, saat itu adalah saat dimana akhirnya kau memutuskan untuk membersamai kami. Tolong, jangan datang jika kau tidak berniat tinggal bersama kami. Percayalah, aku akan selalu menantimu datang sampai kapanpun.
Wassalamualaikum
Istri yang selalu mencintaimu sampai mati.
Begitulah isi surat yang kutinggalkan di nakas kamar kami. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Karena akhirnya Mas Irwan betul-betul tak menampakkan batang hidungnya. Sepertinya keputusannya memang lebih memilih Ibunya dibanding kami. Aku pasrah dan hanya bisa berdoa kepada Allah agar suamiku dan Ibunya selalu sehat dan bahagia sepeninggalku.
satu bulan berlalu, kulihat rekeningku Mas Irwan mengirimkan uang belanja seperti biasa. Aku tak terkejut. Karena ini baru satu bulan. Mungkin Ia masih harus lama berfikir. Namun, akhirnya tahun-tahunpun berlalu dan Mas Irwan tetap tak pernah datang meski transferannya tak pernah telat.
Ada rasa rindu yang sesak didada setiap kali mengingatnya. Aku menangis sampai mataku bengkak. Aku berusaha menerima kenyataan bahwa Ia lebih memilih Ibunya. Aku berfikir mungkin dia memang tak pernah mencintaiku. Akupun tak pernah mencari tahu bagaimana hidupnya selama beberapa tahun belakangan ini. Apakah jangan-jangan Ia telah menikah lagi atau setidaknya punya pacar.
Setiap kali memikirkan itu, hatiku sakit dan menangis lagi. Aku tak pernah menyangka. Rumah tanggaku berantakan oleh orang ketiga namun orang ketiga itu justru Ibu mertua.
Sampai saat ini, sudah tiga tahun berjalan. Aku masih tidak tahu kabar mereka. Semoga mereka selalu sehat, bahagia dan dalam lindungan Allah SWT. Terima kasih Mas, kau masih saja rutin mengirimiku uang belanja. Entah sampai kapan.
SELESAI
Tag: Blog Cerpen, Cerpen Upay, Mama Cica, Cerpen, Cerbung, Novel, Kumpulan Cerpen dan Novel Gratis, Baca Novel Gratis, Kisah Nyata, Cerita Hari Ini, Cerita Horror, Cerita Misteri, Cerbung Mama Cica, tersiksa dalam diam, kisah nyata kehidupan rumah tangga