Judul: Ikhtiar (Berusaha dan Berdoa)
Aku berusaha mencari tahu ada apa sebenarnya di Rumah ini. Siapa gerangan yang tengah sakit dan membuat Nizam panik. Aku tidak tahu kenapa tadi Nizam berkata bahwa Sarah seolah sedang sibuk di luar. Tapi yang kudengar dari Bi Asih katanya yang sakit itu justru Sarah. Dia sedang diopname di Rumah Sakit karena kemarin tiba-tiba keadaannya drop. Jadi ternyata selama ini Sarah sedang berjuang melawan penyakit dan aku tidak tahu. Apakah sakitnya parah? Inikah yang menyebabkan Ia ngotot mencarikan istri untuk suaminya? Seputus asa itukah Sarah? Sebetulnya penyakit apa yang sedang Ia derita sampai-sampai harus merelakan suami yang dicintainya menikah lagi. Apakah Ia sampai tidak dapat melayani suaminya dalam hal ranjang atau betul-betul hanya karena tidak bisa memiliki keturunan. Aaah rasanya kepalaku mau meledak dengan ribuan pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya.
Aku tidak ingin berdiam diri begitu saja. Maka kuminta Pak Kuncoro untuk mengantarku ke Rumah Sakit dimana Sarah diopname. Tidak mungkin dia sebagai driver keluarga ini tidak tahu.
"Pak, saya tidak mau diantar pulang sekarang. Tolong antar saya ke Rumah Sakit tempat Ibu dirawat. Tolong Pak. Saya Dokternya, tapi malah tidak tahu keadaan pasien yang sedang begini. Jadi tolong jangan menolak Pak. Antar saja saya ke sana." Kataku sedikit tegas dengan wajah serius.
Pak Kuncoro akhirnya mengantarku ke Rumah Sakit tanpa drama penolakan seperti yang aku khawatirkan sebelumnya. Karena tadi saat ngobrol dengan Nizam, Ia jelas-jelas bilang Sarah sedang ada urusan bukan sedang diopname di Rumah Sakit. Apakah mereka merencanakan menutupi ini semua dariku? Kalaupun iya, apa tujuannya?
Sesampainya di Rumah Sakit, Kuncoro bergegas mengantarku masuk ke Rumah Sakit dan langsung menuju kamar VVIP di lantai paling atas gedung Rumah Sakit. Aku memandang ke sekeliling.
"Hooo jadi ini Rumah Sakit milik keluarga mereka. Megah dan mewah. Sangat terkesan mahal. Rasanya orang biasa tidak akan sanggup berobat di sini." Batinku berbisik.
Akhirnya kami sampai di kamar perawatan paling megah yang pernah kulihat. Ruangannya sangat luas hampir-hampir memiliki seluruh ruangan seperti rumah pribadi. Ada dua toilet, ada ruang tamu, bahkan ada dapurnya. Sempat terpikir olehku sepertinya kami salah masuk. Bukan ke ruang perawatan Rumah Sakit melainkan ke rumah apartemen.
Sarah terlihat terbaring lemah di ranjang mewah itu. Sementara Nizam menggenggam tangannya sambil duduk disisi ranjang besar itu. Kedatanganku sepertinya sudah mereka duga. Sehingga Nizam tidak terlihat kaget aku hadir di sana. Akupun mendekat ke ranjang Sarah. Kuraih tangannya dengan wajah sedih. Tak terasa air mataku mengalir.
"Sebetulnya sakit apa yang kau derita Mba? Kenapa kalian tak cerita padaku? Apakah ini parah?" Tanyaku sambil menggenggam tangan Sarah dan menatap dalam wajah Nizam yang terlihat sendu.
"Dokter bilang, ada tumor di rahim Sarah. Itu yang menyebabkannya sering nyeri dan sakit bukan main. Makin hari semakin sakit. Tapi Sarah belum mau dioperasi. Ia masih ingin ikhtiar memiliki bayi. Meski aku sudah memaksa. Ia tetap tak mau. Beginilah jadinya. Keluar masuk kamar opname." Jelas Nizam kepadaku yang masih berdiri memegang tangan Sarah.
"Tumor itu setahuku jenis kanker yang masih jinak. Yah walaupiun tetap ada resiko kematian. Tapi kita bisa mengangkatnya kan Kak. Apa yang dikatakan Dokter kalian? Bukankah melakukan pengangkatan lebih cepat lebih baik?" Terangku kemudian.
Sebagai seorang Dokter, aku tentu tahu apa tindakan yang harus dilakukan. Maka kusarankan untuk segera mengangkat tumor itu tanpa menunggu waktu lagi. Segala jenis test pra operasi sudah harus dilakukan dari sekarang agar dapat segera dilakukan tindakan pengangkatan. Namun...
"Itu tidak mudah May, jika mau tumor ini hilang. Bukan hanya tumornya yang diangkat tapi juga rahimnya. Aku tidak masalah asalkan Sarah sehat dan selamat. Tapi, mendengar kemungkinan tumor ini masih jinak dan bisa diangkat tanpa mengangkat rahimnya, tentu itu membuat Sarah mengurungkan niatnya untuk segera operasi pengangkatan rahim. Dia ingin diusahakan agar hanya tumornya saja yang diangkat. Bukankah itu akan sulit?"
"Kak, bolehkah aku ikut dalam pengobatan Mba Sarah? Aku akan pastikan semuanya baik-baik saja. Mba Sarah akan kembali sehat seperti semula. Tolong, izinkan aku untuk ikut merawat mba Sarah."
Tiba-tiba, kelopak mata Sarah bergerak-gerak ringan. Sepertinya Ia akan siuman dari tidur panjangnya sejak pagi. Rupa-rupanya sejauh ini dia tengah mendengarkan perbincangan kami.
Dengan lirih dia melepas masker oksigennya, sambil membalas genggaman tanganku, Ia berujar...
"Tentu saja kau harus ikut merawatku Dokter Mayang. Tolong bantu kesembuhanku. Aku sangat menginginkan kau menjadi Dokterku di rumah kita. Maka, terimalah Nizam sebagai imammu. Agar kau bisa menjagaku kelak di rumah kita bersama nantinya."
Mataku melotot seketika. Kaget dengan ujaran Sarah. Apa ini. Kenapa jadi begini. Kedatanganku ke sini untuk menjawab lamaran mereka dengan penolakan. Kenapa malah dihadapkan dengan hal seperti ini. Tentu saja aku tidak langsung mengiyakan. Aku sudah bertekad tidak ingin ada diantara pernikahan mereka.
"Mba, merawatmu itu tidak harus dengan menjadi madumu. Aku sanggup pulang pergi menemuimu di rumah untuk merawatmu. Apalagi sekarang jaman sudah canggih. Jarak jauhpun aku tetap bisa mengontrol keadaanmu. Tolong Mba, jangan jadikan ini sebagai alasan keharusanku menerima pinanganmu. Aku belum sanggup Mba." Jawabku sambil memandang sendu wajahnya yang pucat bagai vampire itu.
Ia sedih mendengar jawabanku. Air matanya menetes, mengalir menuju daun telinganya. Matanya memerah. Dengan isakan, Ia meyakinkanku sekali lagi.
"Dok, aku tidak ingin menerima penolakan ini. Jadi kau masih harus berpikir panjang. Aku tahu perasaanmu pada Nizam. Begitu juga Nizam. Kalian bisa saling melengkapi. Jadi kumohon. Jangan menolakku sekarang. Pikirkanlah lagi. Selalu ada waktu bagimu untuk berpikir"
Nizam hanya tertunduk. Ia seperti mengiyakan perkataan istrinya. Entah apa yang ada dibenaknya. Apakah membenarkan perasaan cintanya terhadapku, atau hanya demi membuat istrinya tenang. Aku tidak bisa menebak hanya dari raut wajahnya.
Tidak berapa lama, akupun pamit pulang. Namun mereka tidak mengizinkan karena ini sudah hampir tengah malam. Jadilah aku dipaksa pulang ke kediaman mereka. Di Rumah juga sudah disiapkan kamar tamu oleh Bi Asih.
"Sepertinya kita belum makan malam ya. Jangan sampai kau ikutan sakit saat merawat orang sakit. Ayo kita makan dulu." Ajak Nizam sambil membukakan pintu mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan Kuncoro dengan Alphard Hitamnya.
Kuncoro pulang sendiri, sementara aku dan Nizam di dalam mobil yang sama. Sepanjang perjalanan rasanya canggung. Jantungku berdegup begitu cepat. Aku ini Dokter. Tapi tak mampu mengontrol detak jantungku sendiri. Apalagi ketika tanpa sengaja tangan kami bersentuhan. Aaah rasanya seperti masa-masa remaja dulu. Ketika hati tersenyum lebar hanya dengan melihat wajahnya. Kini kami telah berumur. Namun rasa cinta ini malah semakin berkembang. Apakah dia merasakan hal yang sama?
Karena tidak ada rumah makan atau restaurant yang buka hampir tengah malam begini, akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan memesan delivery food saja agar lebih mudah tidak perlu mencari-cari. Tak lama kamipun sampai di pekarangan rumah megah milik mereka. Aku turun dari mobil tanpa menunggunya membukakan pintu. Karena aku tidak mau semakin terlihat canggung.
Kami masuk ke dalam rumah. Kemudian Ia menyarankanku untuk mandi air hangat jika mau. Akupun setuju. Agar wajah canggung dan debaran jantung ini bisa kusembunyikan. Rasanya seperti ingin memeluk hangat tubuhnya. Ada rasa rindu yang menjalar dan ingin kumenghambur kepelukannya. Tapi siapalah aku ini. Ia bahkan telah memiliki istri.
Kenapa malam ini terasa begitu panjang.
![]() |
Mau belajar Blogging? Khusus pemula yang ingin punya BLOG tapi masih minim pengetahuan. Yuk belajar bareng di channel WA. Join ya guys |