Bab 15. Bulan Madu Penuh Tanya
Sudah satu minggu sejak kami menikah. Tapi kami memutuskan untuk tidak dulu serumah karena harus focus merawat Mba Sarah yang semakin hari semakin memburuk kondisinya. Dia sudah berjanji pada kami untuk mengikhlaskan rahimnya diangkat demi kesehatannya.
Namun takdir berkehendak lain. Tindakan operasi yang dijadwalkan tepat setelah aku dan Kak Nizam menikah, tidak dapat terlaksana karena tiba-tiba Mba Sarah jatuh pingsan. Melihat kondisinya, operasi belum bisa dilakukan. Ia harus benar-benar stabil untuk melakukan tindakan operasi itu.
"Mas, tolonglah. Kumohon, tinggallah di rumah Mayang. Kalian harus berbulan madu. Aku baik-baik saja Mas. Lagi pula ada Ibu yang mendampingiku sekarang ini. Beliau paham kamu harus bersama dengan Mayang. Kasihan dia. Dihari bahagianya, masa ditinggalkan suaminya. Sudah seharusnya kalau kalian pergi bulan madu kan."
Sarah merayu seraya memohon kepada suaminya yang sama keras kepalanya dengan dirinya. Namun Nizam tak bergeming. Ia ingin Sarah kembali sehat, melakukan tindakan operasi, dan stabil. Barulah Ia akan tinggal bersama Mayang.
"Bukan aku menolak, tapi kau tahu sendiri. Mayang yang ingin aku terus mendampingimu disini. Dia ingin kau segera stabil agar cepat bisa dilakukan tindakan operasi. Sungguh Dek, ini bukan hanya mauku. Jadi, jika kau sungguh-sungguh ingin suamimu ini berbulan madu dan mendapatkan keturunan seperti keinginanmu, segeralah sembuh."
Sebetulnya pilu hatiku. Hari dimana seharusnya sepasang pengantin bahagia bermalam pertama. Harus kuikhlaskan dirinya untuk membersamai wanita yang kini menjadi saudariku itu. Bagaimanapun aku tak boleh serakah. Bisa menjadi istrinya saja, sudah merupakan keajaiban bagiku.
Dia yang dahulu kurindu, dia yang selalu kunanti, yang membuatku sulit berpaling dan bahkan membuatku menjomblo hingga menua, tiba-tiba saja kini menjadi suamiku. Seharusnya aku bahagia. Namun terkadang aku egois dan menyebalkan. Tiba-tiba saja suka terpikir kenapa harus ada Sarah diantara kami. Ya Allah betapa berdosanya aku berpikiran demikian. Aku yang menjadi duri dalam daging dirumah tangga mereka. Tapi justru aku yang merasa terzholimi. Padahal inipun merupakan pilihanku. Bisa saja aku menolak. Namun apa? Aku malah bahagia membuka diri menjadi madu dipernikahan mereka. Apakah aku keterlaluan?
Hari berganti, minggu berlalu. Sarah tidak juga membaik. Namun dengan keadaannya yang seperti itu. Ia terus memohon agar kami tinggal bersama. Ia bersikeras akan lebih nyaman jika bersama Ibunya. Akhirnya kami menuruti keinginannya atas permintaan Ibunya juga. Takut-takut ini permintaan terakhirnya. Walaupun aku sangat optimis. Dengan pengangkatan rahim itu, seharusnya Ia bisa membaik. Aku memohon kepada semua orang untuk tidak berpikiran terlalu jauh. Karna Mba Sarah bisa sembuh.
Akupun mengambil cuti hanya selama tiga hari. Pergi ke Eropa bersama Kak Nizam hanya berdua saja. Seperti biasa, ini sudah diatur Mba Sarah. Tiket dan segala kebutuhan kami disanapun sudah Ia siapkan. Cottage tempat kami tinggal selama tiga hari, sangatlah tempat yang indah dan romantis. Ia sungguh pandai mengatur ini semua. Sengaja dia tidak memilih hotel untuk kami, karena katanya di hotel banyak yang tinggal. Sementara cottage lebih private karena hanya kami berdua dalam satu penginapan ini.
Aku merasa canggung menghadapi Kak Nizam. Namun tidak baginya. Tentu saja. Ini pernikahan keduanya. Sudah tentu Ia paham apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi istrinya yang polos ini. Aku sempat tenggelam dalam kehidupan disini. Ingin rasanya menetap disini. Cottage di tepi pantai yang cantik. Setiap hari bisa menikmati sunset dan sunrise tanpa memikirkan apapun. Baik pekerjaan maupun gunjingan orang. Kak Nizam yang selalu terpaku padaku dan memelukku dengan erat. Menggenggam tanganku setiap waktu. Seolah waktu berhenti. Ya Allah apakah ini hadiah? Bisakah begini hingga akhir hidupku?
Sayang, semua hanya bisa kunikmati selama tiga hari. Dihari ketiga, calender peringatan di ponselku berbunyi. Tanda aku harus bersiap untuk kepulangan esok pagi. Aku termenung di balkon. Melihat indahnya sunset sambil berpikir, apakah Kak Nizam berkenan jika kuajak menetap disini? Tak perlu pulang, hanya kami berdua. Meninggalkan peliknya kehidupan di Indonesia. Aku terkesiap tatkala tangan kokoh nan kekar itu menyentuh lembut pundakku dari belakang.
Ia mengingatkanku untuk segera mengepak barang-barang pribadiku. Membuatku teringat bahwa Ia bukan milikku seorang. Hatinyapun masih tertambat di negeri itu. Di tempat dimana ada Mba Sarah.
Bangun Mayang. Sadarlah. Kau bukan satu-satunya yang Ia cintai. Lagipula, belum tentu Ia memang mencintaimu. Bisa saja ini hanya karena menuruti istrinya disana. Ia terlalu cinta hingga mengabaikan perasaannya sendiri dan berpua-pura mencintaimu. Bisa saja kan?
Ya Allah, koq bisa aku berpikir demikian? Jangan suudzon Mayang. Ingat saat kau membuka file diary dilaptopnya kala hari pernikahan itu. Jelas dia sangat mencintaimu meski akhirnya menikahi wanita lain pilihan orangtuanya. Yakinlah bahwa dia lebih mencintaimu. Bahkan jauh sebelum ada Sarah dihidupnya.
Aaah rasanya ingin kudekap tubuh kekarnya dan tidak melepaskannya sama sekali agar Ia tak bisa kembali ke pelukan istri pertamanya. Kenapa Tuhan? Kenapa pernikahan ini Kau buat rumit bagiku? Lagi-lagi aku tersentak saat Kak Nizam mengulurkan tangannya yang memegang cangkir teh yang masih mengepulkan asap.
"Minumlah, tenangkan dirimu. Jangan gelisah. Aku tahu kau betah disini. Tapi bagaimanapun kita harus pulang. Percayalah padaku. Ini bukan karena Sarah. Tapi karena kau juga punya kehidupan di sana. Aku tahu ini sangat berat bagimu. Karena harus berbagi. Tapi percayalah, aku mencintaimu dengan sangat. Jadi kumohon, bantu aku menata hatiku untuk kalian. Jangan berpikiran buruk tentang pernikahan ini. Akupun awam soal poligami. Koreksi aku jika dalam perjalan kita, aku melakukan kesalahan. Jangan berpikir pergi dariku tanpa diskusi yang baik. "
Alhamdulillah, Ia mengerti yang kupikirkan. Itu sebabnya dia mengucapkan kalimat seperti itu demi membuatku tenang dan percaya padanya. Baiklah, bagaimanapun aku juga tidak ingkn meninggalkan Ibuku terlalu lama. Esok kami akan kembali ke tanah air. Ya Allah, lancarkan segala urusan kami, mudahkan perjalanan hidup kami, beri kebesaran hati dalam setiap kejadian mulai hari ini ya Allah.
Aku berlindung kepadaMu dalam setiap perjalanan hidup yang kutempuh. Akhirnya, kami telah kembali ke tanah air. Sesampainya di bandara Soekarno Hatta, kami sudah disambut oleh Ibuku, Ibunda Sarah, dan Ibunda Nizam. Aku tak sangka mereka menanti kami seperti ini. Ada senyum tipis namun wajah bingung terpancar dari Kak Nizam. Sepertinya Ia sama terkejutnya denganku.
Ya tentu saja. Ibu kami bertiga tampak sangat bersahaja menanti kami di sini. Namun, semakin kami mendekat ke arah mereka, semakin terlihat jelas kekhawatiran yang nampak dimasing-masing wajah para Ibunda. Ada apa ini? Tiba-tiba aku terpikir sesuatu.
Kenapa mereka bertiga bisa kompak hadir hanya untuk menjemput kami?
Tapi kenapa tidak ada Mba Sarah disela-sela mereka?







