Bab 16. Ikhtiar Kesehatan Sarah
Gendre: Drama Rumah Tangga
Para orangtua yang menjemput kami nampak terlihat wajah muramnya. Ada apa gerangan? Mengapa mereka seperti mengkhawatirkan sesuatu?
Benar saja, saat kami mendekat, Ibunda Kak Nizam memegang lengan kami berdua seraya berkata "kita harus cepat ke Rumah Sakit. Sarah drop lagi. Kali ini lebih parah. Dia ingin sekali menemuimu Zam. Segeralah kalian ke sana."
Dengan wajah cemas Nizam berlari ke arah parkir mobil. Dia tak sadar meninggalkanku di bandara. Meski aku tak sendiri karna ada para Ibu, tapi aku merasa ditinggal sendirian. Akupun sama cemasnya dengan Kak Nizam. Dengan lebih tenang, kuajak mereka ke Rumah Sakit tempat Mba Sarah dirawat.
"Ayo Bu kita susul Kak Nizam dan Mba Sarah." ucapku kemudian.
"Nak' percayalah Nizam tak bermaksud meninggalkanmu seperti ini. Ia pasti yakin dan percaya kepada kami. Maka Ia pikir kau akan lebih baik bersama kami di rumah. Biarlah Nizam menemani Sarah untuk saat ini. Ikhlaskan hatimu 'Nak." Ucap Ibunda Kak Nizam.
"Bu, aku baik-baik aja. Jujur aku sedikit terkejut dengan sikap Kak Nizam tadi. Dia sembrono. Berlari tanpa memikirkan bahaya. Bisa saja dia celaka di jalan menuju parkiran itu. Tapi aku juga memikirkan kondisi Mba Sarah. Bagaimanapun, Mab Sarah berada dibawah pengawasanku sebagai Dokter pribadinya Bu. Jadi aku ingin ke sana bukan karna apapun, melainkan karna rasa profesionalitas yang memang seharusnya kulakukan. Dia pasienku. Jadi aku harus memeriksa keadaannya." kataku dengan tenang.
"Baiklah jika begitu. Mari kita ke Rumah Sakit." sahut Ibu kemudian.
Kamipun bergegas pergi menggunakan taksi. Karna mobil yang dibawa Ibu sudah sejak tadi pergi meninggalkan kami di bandara menuruti kepanikan Kak Nizam tadi.
Di Rumah Sakit.
Kulihat Kak Nizam menggenggam erat tangan Mba Sarah yang tengah terlelap. Sudah dua hari Ia tak sadarkan diri. Kata Dokter yang merawatnya, sepertinya Sarah sempat sedikit stress yang mengakibatkan kondisinya memburuk. Bahkan kata Ibundanya, Ia sempat terjatuh di kamarnya dan menimbulkan luka lebam dibagian lengan dan perutnya.
Ya Allah, apa yang terjadi dengannya? Apa yang sedang Ia pikirkan hingga membuatnya stress? Apakah Ia memikirkan suaminya yang tengah bersenang-senang dengan madunya? Apakah pernikahan ini salah? Mungkinkah pernikahan ini justru menjadi boomerang bagi dirinya? Ia yang paling menginginkan pernikahan ini, namun Ia sendiri yang overthinking atas segala sesuatu yang sudah terlaksana. Apakah dia menyesal menerimaku sebagai madunya?
Haruskah kubisikkan ditelinganya bahwa aku akan meninggalkan suaminya? Agar Ia sadar dan bangun dari komanya? Haruskah ya Tuhan? Kenapa dia justru semakin drop? Dia berjanji akan membaik setelah pernikahan ini. Dia yang memaksa. Bahkan aku merasa dia sengaja menyiksaku.
"Mba, bagaimanapun kau harus segera sembuh. Jika tidak, ini akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku. Kumohon bangunlah Mba."
Seminggu berlalu. Mba Sarah masih terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit. Namun Alhamdulillah, kabar mengejutkan yang membahagiakan semua keluarga, juga membangkitkan Mba Sarah dari tidur panjangnya. Bersamaan dengan kabar kehamilanku, Mba Sarah tersadar. Tepat saat Kak Nizam membisikkan kehamilanku ditelinganya. Matanya perlahan terbuka.
Apakah dia bahagia? Inikah yang Ia nantikan? Kabar bahagia bahwa akhirnya suaminya kini akan memiliki keturunan. Meski bukan dengannya. Sungguhkah kau ikut bahagia Mba?
Yang jelas, seluruh keluarga bersuka cita. Kami mengadakan syukuran. Mengundang beberapa kerabat dan anak-anak panti yatim piatu untuk minta di doakan. Akupun sungguh tak menyangka. Diumurku yang bisa dikatakan tidak muda lagi, aku mengandung.
Sebagai seorang Dokter obgyn, aku tahu apa yang harus kulakukan untuk menjaga dengan baik kandunganku. Kabar baik terus menerus berkumandang ditengah keluarga kami. Beberapa hari kemudian, mba Sarah dinyatakan stabil dan tindakan operasi pengangkatan rahim bisa segera dilaksanakan.
Seolah Ia betul-betul menunggu datangnya moment ini. Moment kepastian dimana akhirnya keluarganya kini telah lengkap. Operasipun dilaksanakan. Tidak butuh waktu lama dan drama yang merepotkan, operasi pengangkatan rahim Mba Sarah berjalan sukses. Kini Ia dalam masa pemulihan.
Syukurlah kini Mba Sarah berangsur pulih. Tidak ada lagi rasa bersalah yang menyelimutiku. Kami hidup bertiga. Saling menjaga kandunganku. Klinik aku serahkan kepada rekan sejawatku untuk dikelola. Dokter Rani yang juga teman baikku selama masa kuliah di kedokteran dulu. Kuserahkan seluruh pengelolaan klinikku kepadanya selama masa kehamilan ini.
Itupun juga karna paksaan dari pasangan yang paling heboh ini. Kak Nizam dan Mba Sarah. Mereka sangat menjagaku. Khususnya Mba Sarah. Entah apakah hanya perasaaanku atau memang Mba Sarah belakangan ini menghindari terlalu berdekatan dengan suaminya. Ia seperti sedang menjaga perasaanku. Padahal dia juga istrinya, tapi seolah Ia hanyalah seorang perawat bagiku di rumah ini.
Semua kebutuhanku dari mulai bangun pagi hingga menjelang tidur, dia yang mempersiapkan. Dia tidak ingin aku kelelahan, apalagi sampai stress memikirkan suaminya yang sebetulnya punya dua istri. Aku sangat berterima kasih padanya. Meski kami tinggal dalam satu atap, namun Mba Sarah sangat pandai menjaga perasaanku.
Tapi sebaliknya, aku yang malah jahat kepadanya. Setiap hari aku bermanja-manja dipelukan suaminya. Bahkan Kak Nizam tak sekalipun pernah tidur di kamar Mba Sarah. Aku yakin, Mba Sarah yang memaksa. Selama kehamilanku, Kak Nizam wajib bersamaku apapun yang terjadi. Terlebih lagi, Mba Sarah merasa sudah sangat sehat setelah operasi pengangkatan rahim itu berhasil dilakukan.
Entah apa yang kupikirkan. Bolehkan aku sebahagia ini? Apakah mba Sarah menderita didalam hatinya? Aku sama sekali tidak bisa menerka isi hatinya. Karna setiap hari Ia selalu heboh merawat kandungaku. Seolah Ialah yang Dokter.
Beberapa bulan kemudian, saat waktunya USG di Rumah Sakit. Mba Sarah meminta ikut menemaniku dan Kak Nizam. Tentu saja kami tak mungkin menolak. Iapun ikut masuk dan merasakan gerakan bayi kami.
Seolah mengejar ketertinggalan kami, Allah yang Maha Baik lagi-lagi memberikan kebahagiaan yang tak terkira kepada kami. Aku mengandung bayi kembar.
Iya, bukan hanya seorang bayi yang ada dirahimku. Tapi dua. Alhamdulillah keduanya dinyatakan sehat. Entah amalan mana yang membawa kami sebahaga ini saat ini. Kami bertiga menangis. Air mata bahagia yang rasanya takut menghabiskan moment kesedihan karna harus mengering disaat bahagia ini.
Kamipun pulang dan mengabarkan kepada para orangtua perihal bayi kembar yang kukandung. Mereka tertawa lebar dan tak lama kemudian menitikkan air mata. Tak berkesudahan mengucap syukur. Rasanya aku takut. Apakah ini moment kami paling bahagia?
Ya Allah, semoga ini bukan kebahagiaan terakhir kami. Bantu kami menjalani kehidupan ini. Mudahkan jalan kami dan lancarkan segala urusan kami sampai Engkau memanggil kami suatu hari nanti.
Namun, masa depan begitu misteri. Kehidupan yang kupikir aman dan tentram. Kehidupan yang kupikir akan membuatku bahagia selamanya, sangat bertentangan dengan takdir Tuhan.







