Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Apa yang kamu cari? Temukan disini

Pengantin Cilik. Bab 19 (Menceritakan yang sebenarnya 2)

 

Pov. Lani

"Saat itu Bang Arya seperti biasa datang ke mini market tempatku bekerja. Seperti biasa juga dia selalu menyatakan perasaannya dengan sangat ekspresif. Bahkan tak jarang Ia sampai menyentuhku. Terkadang memegang lenganku, bahkan kadang menggenggam keras jariku demi membuatku diam dan mendengar kata-katanya."

"Aku yang selalu sibuk setiap kali dia datang, membuat Ia berpikir kalau aku hanya menghindarinya karna Ayah memang tidak pernah memperbolehkan anak-anaknya berdekatan dengan laki-laki."

"Satu kampung sinipun tahu sifat Ayah dan Ibu yang Sholeh Sholeha dan memegang teguh ajaran agamanya. Jadilah dia berpikir jika sikapku padanya hanya karna aku takut pada Ayah dan Ibu."

"Dia pernah melamarku. Kukatakan padanya bahwa aku tidak punya perasaan apapun padanya. Dia tak percaya pada kalimatku. Kepercayaan dirinya terlalu tinggi karna belum pernah ditolak gadis-gadis kampung ini."

"Padahal kau tahu sendiri Ren. Perempuan-perempuan itu mau dengannya hanya karna dia kaya raya, loyal, dan anaknya Pak KaDes. Jika bukan karna itu semua, mana ada yang tahan dengan sifat bengis dan kasarnya."

"Dia bersikeras akan membawaku kemanapun aku mau demi menghindari Ayah. Agar kami dapat hidup bersama. Dia gila. Tapi dia bisa nekat dengan kegilaannya. Aku takut. Entah apa yang harus kulakukan padanya untuk membuatku jauh darinya."

Suatu kali, Koh Hasan pemilik mini market yang saat itu datang berkunjung. Sambil membenahi rak area mie instan berujar. 

"Heh Alya, lu olang lamal anak gadis olang ga pake mikil luh ya. Lu kelja kaga, sekolah kaga kelar. Gimana si Lani demen ama elu alya."

"Dari ucapan Koh Hasan. Aku tiba-tiba memiliki ide. Kusuruh Ia melanjutkan sekolah di Jakarta. Jika Ia berhasil lulus dengan nilai terbaik, maka aku bersedia menerimanya. Tak kusangka, ia menyetujuinya. Ia berjanji akan sekolah dengan baik. Menuntut ilmu agar kelak mendapatkan pekerjaan yang bagus dan pantas menjadi pendampingku nanti."

"Iapun pergi dan aku merasa lega karna tidak ada lagi yang menggangguku. Sampai akhirnya kau melamarku kepada Ayah."

*PoV Lani end.
* * * * * 
Ka Lani bercerita sambil menitikkan air mata. Akhirnya kami sepakat untuk merahasiakan kejadian ini dari siapapun. Terutama Ayah dan Ibu. Tapi Bang Jaka memberikan syarat bahwa Ka Lani tidak boleh lagi sendirian dimanapun kapanpun, sehingga dengan sangat memaksa, Ka Jaka mencarikan ART untuk menemani Ka Lani di rumah.

Karna aku sebentar lagi sekolah, maka aku tidak bisa terus berada di samping Ka Lani. Terlebih lagi aku harus focus agar impianku sekolah kedokteran di Jakarta bisa terwujud.

Beberapa hari berlalu dengan damai. Bi Inah yang akhirnya menjadi ART di rumah kami. Ia ibu-ibu separuh baya yang tinggal di kampung sebelah. Kebetulan juga Ia hidup sebatang kara. Karna ketiga anaknya sudah bertahun-tahun tidak ada yang pulang menengoknya.

Kudengar, anak-anak Bi Inah sukses di Jakarta. Entah apa yang membuat mereka lupa pada Ibunya. Semoga aku tidak akan pernah menjadi anak yang pergi begitu saja, menghilang setelah nanti sukses menjadi Dokter. 

Terkadang aku berpikir. Apakag mungkin akupun akan menjadi salah satu diantara mereka yang lupa pada kampung ini ketika sudah merantau ke Jakarta? Banyak orang-orang kampung sini yang setelah merantau ke kota, tidak kembali lagi bahkan untuk sekedar menengok sanak saudaranya. Semoga aku tidak seperti itu nanti.

Hari sudah lewat tengah malam. Tapi mataku tak juga mau terpejam. Tiba-tiba aku teringat Pia sepupuku. Obrolan kami terhenti karna Ibu masuk kamar Pia dan tak lama aku bergegas pulang karna Ka Lani hilang.

Sudah jam 01:40 dini hari. Mana mungkin Pia masih terjaga. Tapi aku penasaran bukan main. Jadi kuputuskan untuk meneleponnya. Tapi sesuai dugaanku, Ia tak mengangkat teleponku.

Besok paginya, Pia menelepon balik. Buru-buru kuraih handphoneku dan menggeser tombol hijau begambar gagang telepon itu.

"Assalamualaikum Pi." Kataku mengawali pembicaraan ditelepon.

"Waalaikumsalam. Ada apa kamu semalam telepon aku Ren? Maaf ya, aku mah udah tidur jam segitu." Jawabnya kemudian.

....................    

No comments: