Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Apa yang kamu cari? Temukan disini

Tentang Mika

Waktu itu umurnya baru dua setengah tahun. Mika namanya, meski ia hanya anak seorang pembantu, tapi menurutku ia anak yang cantik dan berkulit bersih. Dalam hati aku berkata “Anak cantik itu rasanya tidak cocok hidup susah”. Ia sering sekali diajak Mba minah bermain ke rumahku sambil menunggunya selesai mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Memang aku mengizinkannya. 

Selain karna aku suka anak-anak, aku juga berpikir kalau Mika bisa jadi teman bermain Aline anakku yang sebaya dengannya. Suatu hari Minah minta izin bekerja hanya setengah hari, baru jam 1 siang dia sudah minta izin pulang. Alasannya karna Mika sakit demam tinggi sudah sejak dua hari lalu. Aku terkejut, karna Minah baru mengatakannya sekarang.

“kenapa kamu baru bilang sekarang, diberi obat apa sama dokter?”. Tanyaku pada Minah. Ia hanya tertunduk mendengar pertanyaanku. 
“Lho, kenapa? Kamu ko diam saja? Apa sakitnya parah?”
“bukan begitu Bu, sayaa.... ngga punya uang untuk bawa Mika ke dokter”. Jawabnya lirih sambil menitikkan air mata. 


Miris sekali rasanya mendengar pernyataan seperti itu dari pembantu yang sangat penurut dan  jujur ini. Memang selama Minah bekerja di rumahku, tidak sekalipun dia berbuat sesuatu yang tidak baik. Dia selalu jujur. Pernah suatu ketika, aku lupa menaruh uangku 300.000 di dalam kantong pakaian, tiba-tiba Minah mengembalikan uang itu sambil berkata bahwa ia menemukannya di saku bajuku. Mengingat aku menggajinya hanya 500.000 sebulan, rasanya Minah terlalu jujur mengembalikan uang ini, terlebih lagi melihat keadaan hidupnya yang tergolong sulit. Tapi itulah Minah.

“Lho, kenapa kamu ngga bilang sama saya kalau Mika sakit dan tidak bisa kamu bawa ke Dokter”. Kataku padanya. 
“Saya tidak mau menyusahkan Ibu, saya sudah banyak merepotkan Ibu, maaf Bu”. Akhirnya aku pergi ke rumah Minah bersama Aline dan Minah. 
“Mang Diman, tolong agak cepat ya nyetirnya, saya khawatir keadaan Mika”. Kataku pada Mang Diman supir kami.

Sesampainya di rumah Mba Minah, aku tidak menunggu lama lagi. Segera kugendong tubuh mungil Mika masuk ke mobil dan membawanya ke Klinik terdekat. Dokter mengatakan bahwa Mika harus segera dilarikan ke Rumah Sakit karna demamnya yang terlalu tinggi. Akhirnya akupun membawanya ke Rumah Sakit. Keputusan Dokter, Mika harus di rawat. Minah menangis terus menerus. 

“Bagaimana ini Ibu, saya teh ngga punya uang untuk biaya Rumah Sakitnya. Harusnya teh Mika ngga usah di bawa ke Rumah sakit segala Ibu. Sekarang bagaimana atuh Buu.....”. sambil terseguk-seguk Minah bicara. 
“Udaaah, kamu ngga usah mikirin biaya, biar semua saya yang tanggung. Mika itu sudah seperti putri saya sendiri. Kamu ngga usah khawatir soal biaya ya”. Kataku menenangkan Minah. Tak henti-hentinya ia berucap terima kasih padaku.

Di rumah, aku menceritakan kejadian hari ini pada Arman suamiku. Ia pun ikut khawatir mendengarnya. Tiba-tiba kalimat Arman mengagetkanku. 
“Gimana, kalo Mika kita angkat saja sebagai anak? Biar Aline ada temannya. Sebentar lagi kan mereka tiga tahun, sudah cukup umurnya untuk masuk play group, biar mereka bisa bersama-sama ke sekolah, jadi Aline tidak takut sendirian. Bagaimana menurutmu?” Tanya Arman kemudian. 

“Terus terang mama kaget dengar papah ngomong ini. Tapi mama sama sekali ngga keberatan ko pah, malahan mama seneng banget, karna terus terang mama sudah terlanjur sayang sama Mika”.

Akhirnya kami membicarakan ini pada Minah. Tidak terlalu sulit, karna Minah ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, terlebih untuk masa depannya. Toh setiap saat dia bisa menemui anaknya di rumah ini. Tak disangka, Mika juga tidak terlalu sulit dibujuk untuk tinggal bersama kami dan tidur satu kamar dengan Aline. 

Aline sangat senang punya teman sekamar. Karna umur mereka baru tiga tahun jadi kami memutuskan  untuk tidak membuatkan kamar terpisah untuk mereka.
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Namun entah sejak kapan, aku lupa bagaimana awalnya Mika sanggup memanggilku dan Arman Mama Papa. Tapi dia tetap memanggil Minah Ibu. 

Semua tidak ada yang berubah menurutku. Semua baik-baik saja dan berjalan apa adanya. Itu menurutku. Karna selama ini aku tidak pernah melihat sesuatu yang tidak wajar di rumah kami.

Sampai pada suatu hari............
“Bu, ibu nih gimana sih. Masa baju aku di cuci jadi kaya gini. Bisa kerja ngga sih? Ibu mau Mika aduin sama Mama biar Ibu dipecat sekalian?”

Aku yang baru saja pulang dari berbelanja kebutuhan rumah, sangat terkejut mendengar kalimat itu keluar dari mulut Mika. Aku terdiam mematung di depan pintu yang terbuka lebar. Menyaksikan Mika berteriak pada Ibunya sambil melempar baju ke arah wajah Ibunya yang berdiri di hadapannya.

“Apa-apaan ini Mika, kenapa kamu berbuat begitu sama Bu Minah?” Kataku setengah berteriak sambil masuk ke dalam rumah. 
“eeeh mama udah pulang. Ini maaah masa baju Mika jadi kaya gini di cuci Ibu”. Katanya merengek manja sambil memperlihatkan baju yang warnanya sudah memudar karna luntur. 
“Bukan itu yang mama permasalahkan, baju bisa dibeli lagi Mika. Tapi apa kamu sadar dengan siapa kamu berbuat kasar begitu? Kamu ngga lupakan siapa Bu Minah? Kenapa kamu panggil Bu Minah seolah-olah kamu ini bukan siapa-siapanya?”
Tanyaku sambil sedikit membentak Mika yang sepertinya di luar kesadaran itu. 

Aku berharap tadi itu ia hanya tidak sadar dan khilaf sesaat saja. Tapi sayangnya tidak. Dia berkata yang lebih mengejutkan lagi dari yang pernah aku dengar sebelumnya. “Iiih mama nih kenapa sih sama pembantu aja ko ngebelain sampe kaya gitu”.  Teriak Mika dengan suaranya yang manja. 

“PLAAAK...............” tanpa sadar tanganku menampar pipi Mika. Aku reflek mendengar kalimatnya yang kurang ajar seperti itu. Aku sama sekali tidak menyangka, putri yang kubesarkan hingga berumur 16 tahun ini sanggup berbuat durhaka pada wanita yang telah berjuang mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya.

“Mama nih kenapa sih, pulang-pulang marah ngga jelas kaya gini. Udah jelas pembantu sialan ini yang salah. Kenapa Mika yang Mama pukul”. Teriaknya sambil lari masuk ke kamarnya. Minah masih menangis terduduk di lantai saat kejadian itu. Tapi Minah sangat luar biasa. Dia tetap membela anaknya. 

Harusnya Ibu tidak memukul Mika, memang saya yang salah Bu”. Katanya sambil menangis dengan suaranya yang parau. 
“Maaf Mba Minah, saya ngga bermaksud....”. belum selesai aku bicara, Minah memotong kalimatku. 
“Bukan Bu, bukan itu. Saya ngga masalah ko Bu kalo memang Ibu harus menghukum Mika, Ibu sudah membesarkannya dengan baik. Tapi maksud saya, Ibu ngga perlu membela saya Bu. Saya ini memang sudah tidak pantas menjadi Ibunya Mika, saya tidak bisa membuat bangga Mika”. Katanya sambil terus menitikkan air mata.

Semalaman aku tidak bisa tidur. Terus memikirkan kejadian siang tadi. Seperti mimpi. Tidak bisa kubayangkan jika buah hati yang sedari kecil kita rawat, jaga, dan besarkan bisa menyakiti kita dengan berbuat durhaka seperti itu. Pagi harinya Mika berangkat sekolah tanpa sarapan seperti biasanya, dia juga tidak pamit padaku. Sepertinya dia masih marah. Sejujurnya akupun menyesali telah memukulnya. Tapi Mika sangat keterlaluan menurutku.

Kejadian itu tak kuceritakan pada Arman. Dengan harapan, itu hanya kekhilafan Mika sesaat. Mungkin karna itu baju kesayangannya dan memang sulit di dapat di pasaran. Suatu hari Mika jatuh sakit, ia terbaring lemah di tempat tidurnya. Sampai 3 hari Mika belum juga sembuh. Akhirnya aku dan Arman memutuskan membawanya ke rumah sakit. Sakit Mika agak aneh, sebentar suhu badannya meninggi hingga lebih dari 40 derajat, tapi terkadang bisa seharian suhu badannya rendah, tubuhnya dingin sedingin es. Jika tak memegangnya, ia terlihat seperti membeku, biru. 

Sudah seminggu Mika seperti itu. Dokter juga belum bisa memastikan diagnosanya. Dokter hanya bilang penyakit Mika langka dan mereka baru menemukan penyakit semacam ini. Selama di Rumah sakit, Mika sering sekali menangis. Ia seperti sangat kesakitan, ia terlihat sangat tersiksa.
Kami sangat sedih melihatnya. 

Minah tak pernah seharipun tidur di rumah meninggalkan Mika di Rumah Sakit. Hanya sejam, dua jam saja Minah pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Ia tidak tega meninggalkan buah hatinya yang terbaring lemah itu. Minah terus menjaga Mika, berdoa tak pernah putus dari mulutnya.

Sebulan sudah Mika terbaring di rumah sakit. Dokter tak mampu mendiagnosa penyakit Mika. Peralatan Rumah Sakitlah yang menunjang kehidupan Mika. Pernah suatu hari Papa dan Aline menyarankan untuk merawat Mika di rumah. Bukan karna biaya, tapi lebih kepada waktu dan rasa lelah jika setiap hari harus terus bolak balik ke Rumah Sakit.

Hatiku sebagai Ibu tidak bisa menerima saran itu. Aku tak mampu. Meski Mika bukan anak kandungku, tapi entah sejak kapan aku tidak pernah menganggapnya seperti itu. Aline dan Mika kuperlakukan sama. Mereka berdua putriku, buah hatiku. Meski Mika terlahir dari rahim Minah. 
Aku saja tak rela, apalagi Minah yang Ibu kandungnya. Namun Minah tak bisa berkata apa-apa, Minah hanya akan menurut saja dengan keputusan kami. Karna Minah merasa sudah tidak punya hak atas Mika, terlebih lagi masalah biaya Rumah Sakit. Minah tak mungkin sanggup jika Ia harus berjuang mempertahankan Mika di rawat di Rumah Sakit.

Akhirnya suatu hari, aku konsultasi dengan seorang Ustadzah. Beliau guru ngaji di mana tempat aku dan Ibu-Ibu komplek biasa mengadakan pengajian. Aku kaget sekali mendengar pernyataan dari Bu Ustadzah. 

“Sepertinya Mika sulit sekali pergi, ada yang menahannya di sini. Sesuatu yang harus ia selesaikan”. Kata-kata Bu Ustadzah membuatku bingung dan tidak mengerti. 
“Maksud Ibu bagaimana? Memangnya Mika harus pergi ke mana?”. Tanyaku penasaran. 
“Maaf Bu, bukan saya menakut-nakuti, tapi ‘Nak Mika sudah hampir dua bulan tidak juga siuman. Maaf sekali lagi, mungkin sudah seharusnya Mika menghadap Yang Kuasa”

Aku semakin terperanjat mendengarnya. “Kalau memang harus seperti itu, saya ikhlas Bu Ustad, tapi kenapa Mika seperti ini? Kenapa keadaan Mika seperti tidak hidup tapi juga tidak mati. Apa yang menyebabkan Mika begini Bu?”. Tanyaku kemudian.

“Apa Mika pernah berbuat salah pada orang lain yang mungkin orang itu sulit memaafkannya?”. Tanya Bu Ustadzah. Aku berusaha mengingat apa saja yang mungkin berkaitan dengan kalimat Bu Ustadzah, tapi gagal. Aku sama sekali tidak mengingat apapun. 

“Sepertinya Mika tidak pernah berbuat sesuatu yang membuat orang lain harus benci padanya. Dia anak yang baik”. Kataku kemudian. Pembicaraan itu terhenti di situ. Aku pulang, karna memang sudah lewat dari jam pengajian selesai.

Di rumah, aku termenung. Berfikir apa yang semestinya kulakukan untuk Mika. 
“Mah, mama kenapa Mah?”. Pertanyaan Aline membuyarkan lamunanku. 
“Mama lagi bingung yah? Sedih karna Ka’ Mika? Maaf ya mah, Aline ngga bisa berbuat apa-apa mah. Aline Cuma bisa bantu doa dan menjaga Ka’ Mika saja”. Kata Aline berusaha menenangkanku. 

Tiba-tiba aku terfikir untuk menceritakan tentang kalimat yang diucapkan oleh Bu Ustadzah tentang sakitnya Mika. Dengan harapan, Aline mungkin tau jika memang ada orang yang pernah disakiti Mika dan mungkin Mika tak pernah meminta maaf.

Dari raut wajah Aline, sepertinya Aline menyembunyikan sesuatu. Aline tau sesuatu tentang penyakit Mika. Apa yang membuat Mika sakit, atau mungkin lebih tepatnya, siapa yang membuat Mika sakit. Aku terus mendesak Aline agar mau jujur bicara. Akhirnya Aline buka mulut. Menceritakan semua yang pernah terjadi dengan Mika, tentang perlakuannya yang buruk dan sifatnya yang sulit di maafkan orang banyak. Sungguh sangat terkejut aku mendengarnya.

“Ka’Mika itu sombong mah, dia kerap kali menghina orang. Dia tidak suka jika ada yang berbuat sedikit salah padanya. Semua teman-teman di sekolah paham betul bagaimana sifat Ka’ Mika. Ka “Mika sering mengejek anak tukang koran di depan sekolah. Bahkan Ka’ Mika pernah menendang ember berisi air ketika penjaga sekolah sedang mengerjakan tugasnya mengepel lantai lorong sekolah, hanya karna ia menghalangi jalan Ka’Mika. Dan parahnya lagi suatu hari...............
********************
“RIIIING.........”. bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Waktunya pulang sekolah. Mang Diman seperti biasa menunggu kami di halaman parkir. 
“Lin, lu jangan bilang nyokap ya kalo gue pergi sama temen-temen, bilang aja gue ikut ekskul. Awas ya lo bilang-bilang”.
“Lho...emang Kakak mau ke mana? Apa ngga sebaiknya pulang dulu Ka? Minta izin dulu sama mama”. Tanpa mempedulikan perkataan Aline, Mika terus pergi dengan teman-temannya. 

Aline pulang sendiri dari sekolah, Aline juga tak menceritakan pada Mang Diman kalau kakaknya itu pergi main dengan teman-temannya. Sesampainya di rumah, Aline ganti pakaian dan kemudian makan siang seperti biasa. Menu kesukaan Aline buatan Mba Minah. Tak lama kemudian Mika pulang. Ia pulang dengan membawa teman-temannya main ke rumah. 

“Ayo masuk”. Kata Mika pada teman-temannya. “Mika, ayo ‘Nak makan siang dulu dengan adikmu”. Kata Mba Minah. 
“Iya nanti”. Jawab Mika dengan nada cuek seperti tidak mempedulikan keberadaan Mba Minah. 
“Eh Mik, itu sebenernya siapa sih? Gue jadi bingung. Ko dia manggil lo kaya gitu tapi kenapa kalo manggil Aline pake Non, dan anehnya lagi, kenapa lo manggil dia Ibu tapi Aline manggil dia Mba Minah. Nyokap lo juga manggil dia Mba Minah”. Tanya salah seorang teman Mika dengan penasaran.

“aaah..... dia bukan siapa-siapa ko, dia itu Cuma pembantu di sini. Dari kecil dia ngurusin gue sama Aline, tapi dulu gue ngga bisa manggil mba, namanya juga anak kecil”. Terang Mika kepada teman-temannya dengan sedikit gugup. 

Terkejut sekali Aline mendengar pernyataan Mika. Terlebih lagi kalimat itu dilontarkannya dihadapan Mba Minah sendiri yang sebetulnya adalah Ibu Kandung Mika yang telah melahirkannya. Aline hanya bisa terdiam mendengar kalimat kakaknya itu. Mba Minah terdiam dan kemudian berjalan ke dapur sambil menitikkan air mata. 

Sungguh sangat keterlaluan anak tidak tahu diri ini. Pikir Aline dalam hati. Aline bukannya takut melawan perbuatan tidak baik kakaknya ini, Aline hanya takut melukai perasaan Mamanya. Aline hanya takut jika ia menceritakan bagaimana buruknya sifat Mika, mamanya akan shock dan merasa bersalah karna telah mengadopsi Mika dan memanjakannya dari kecil. Aline memang anak baik yang tidak sampai tega melukai orang lain terlebih lagi mamanya.

“Mba Miin.., ngga usah diambil hati ya omongan Ka’Mika. Mungkin dia cuma ngga enak aja sama teman-temannya”. Kata Aline mencoba menenangkan Mba Minah. Ngga papa Non Aline, saya ngga papa ko. Wajar kalo Mika malu punya Ibu seperti saya. Saya bukan seperti Mamanya Non Aline yang bisa membahagiakan putrinya dan membuatnya bangga. Saya sadar akan itu. Jadi saya sama sekali tidak sakit hati. Justru saya merasa bersalah membuatnya malu. Kenapa saya yang harus melahirkannya”. Sungguh luar biasa Mba Minah.

********************
Aku terseguk-seguk menangis tanpa henti mendengar cerita Aline. Inikah sebab sakitnya Mika? Karna ia telah mendurhakai Ibunya. Aku paham apa yang terjadi sekarang. Aku memeluk Aline, memeluknya dengan erat. Berharap bahwa Aline tidak akan menjadi anak yang medurhakai aku Ibu kandungnya. 

Tak terbayangkan bagaimana perasaan Mba Minah selama hidupnya ini. 
“Riiing...”. telepon rumah berdering, Aline mengangkatnya. 
“Mah, kita harus segera ke Rumah Sakit. Keadaan Ka’Mika memburuk”. Kata Aline sambil meletakkan gagang telepon ke tempatnya.

Aku bergegas menuju Rumah Sakit bersama Aline dan Mang Diman. “Pah, papa cepat ke Rumah Sakit ya, keadaan Mika memburuk, mama sama Aline sedang menuju ke sana diantar Mang Diman. Papa juga segera ya”.

Sesampainya di Rumah Sakit kami melihat Mika yang terbaring dengan tubuh yang membeku seperti balok es. Badanya dingiiin sekali. Matanya masih tetap terpejam. tapi kali ini Mika seperti sedikit tersadar. Air matanya mengalir. Tiba-tiba Mika membuka matanya. Ia menerawang ke sekeliling. Kami serempak berujar “Alhamdulilaaah”

Mba Minah berdiri dengan berurai air mata. Wajahnya basah sampai tak ada setitikpun tempat yang kering di wajahnya, saking seringnya ia mengeluarkan air mata. Aku menghampiri Mika. Kuraih tangannya, dan perlahan berbisik padanya. 
“Mika sayang, mika sudah sadar? Apa Mika juga sudah tau apa yang harus Mika lakukan sekarang? Apa Mika sudah mengerti Mika harus berbuat apa tanpa Mama beri tahu?”
Bisikku pada Mika. Tak kusangka Mika mengangguk. Mika menengok ke arah Mba Minah, seperti memberi isyarat agar Mba Minah menghampirinya. Seperti diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa, Mika berbicara lirih dan terbata-bata pada Mba Minah.

“Ibu....Mika minta maaf.....Mika ngga sanggup ngadepin ini lagi Bu..... tolong ibu maafin Mika.....jangan dendam sama Mika........Mika takut Bu......Mika tertahan di sini Bu......harusnya Mika bisa pergi.......Ibu harus bukain pintu untuk Mika bisa pergi ke sisiNya Bu.... Mika mohon.....”

Semua yang ada di ruangan tak satupun yang tidak menangis. Termasuk Arman papanya, begitu juga suster yang kebetulan sedang bertugas disaat itu. “Mika jangan ngomong macem-macem, Ibu ngga pernah marah sama Mika, Ibu ngga pernah sekalipun benci apalagi dendam sama Mika. Ibu sayaaaang banget sama Mika. Ngga mungkin Ibu dendam sama putri Ibu satu-satunya. Mika jangan mikir gitu lagi ya, Justru Ibu yang harusnya minta maaf sama Mika, karna Ibu ngga bisa ngebahagiain Mika, ngga bisa kasih Mika kehidupan yang layak yang seperti yang Mama Mika kasih”.

Kami semua tak tahan untuk menangis. Terlebih lagi aku. Ingin menjerit rasanya. Mika yang bukan darah dagingku, namun ia sangat berarti bagiku. Putriku mika bertahanlah.
Tiba-tiba mata Mika menutup perlahan.”Niiiiiiiit..............”. alat pendeteksi jantung itu berbunyi tinggi menandakan jantung Mika telah terhenti. Tangis kamipun terpecah. Mika telah tiada, akhirnya ia pergi. Pergi dengan penuh perjuangan. Kepergian yang tidak mudah. dua bulan hidup Mika tersiksa. Kini, selesai sudah semua penderitaan Mika.
Ya Allah, mohon ampunkan hambamu Mika, mohon ampunkan putriku yang tidak sengaja melukai perasaan Ibunya. Terima ia di sisiMu ya Allah. Amiiiin........!

S E L E S A I
Oleh,

No comments: