BAB 1.
Aku
Namaku Rena. Aku Ibu muda berumur enam belas tahun. Putriku baru saja berumur setahun. Suamiku yang berumur dua puluh dua tahun kini tengah bekerja di Negeri sebrang. Negeri yang katanya makmur itu, nyatanya hanya mampu memberikan suamiku kecukupan tanpa kelebihan. Karna biaya hidup di sanapun mahal. Jadilah Ia hanya sanggup mengirimi kami uang sekedarnya.
Bagaimana bisa aku terjebak dalam pernikahan yang begitu rumit diumur yang masih sangat belia. Kalian tahu, tatapan orang-orang ketika aku membawa putri kecilku ke puskesmas untuk imunisasi rutin?
"Dek, mamanya ke mana?". Tanya petugas pendaftaran kala itu.
"Mama saya mba?". Ada di rumah. Jawabku cepat.
"Lho. Yang mau imunisasi siapa? Kalo adek bayinya ya mamanya adek bayi dong. Kamu kakaknya atau siapa?". Tanyanya lebih lanjut.
"Kalo mamanya adek bayi ini ya sayalah mba. Masa saya bawa-bawa anak orang". Jawabku sedikit ketus.
Aku sudah sangat lelah dengan tatapan dan pertanyaan-pertanyaan mereka. Apa aku rekam saja ya penjelasan tentang anakku dan Ibunya yang masih belia ini di recorder ponsel. Jadi kalau ada yang bertanya lagi, kuputar saja langsung rekamannya dari ponsel. Sehingga mulutku tak lelah komat kamit dengan kalimat yang sama.
Ya Allah kenapa sih kalian? Aku ini Ibu Muda, punya suami sah, meski belum tercatat di KUA karna umurku. Tapi secara agama kami sah dan halal. Menikah dengan cara yang benar.
Tapi aku tak mau kalah dengan jin penghantar depresi. Kukuatkan imanku dengan senantiasa berzikir kepada Allah dan bersholawat setiap waktu.
Alhamdulillahnya lagi, putriku adalah bayi yang sangat tenang. Tidak rewel apalagi merepotkan ibunya yang belia ini. Seolah Ia begitu memahami bahwa ibunya pemula dan masih sangat muda untuk memahami keruwetan yang biasanya ditimbulkan bayi-bayi kecil yang sulit dimengerti bahasanya.
Bayiku akan tertidur pada waktunya, jika menangis maka kuberi susu Ia akan tenang dengan cepat, tidak melulu harus digendong atau ditimang-timang.
Semua ini tak lepas dari pemberian Allah yang selalu memudahkan jalanku. Aku sungguh bersyukur karnaNya.
Ngomong-ngomong soal bagaimana aku menjadi pengantin diusia belia, saat itu satu tahun yang lalu. Aku yang masih berumur lima belas tahun dan tentunya masih duduk di bangku SMA, sudah lama kenal dengan suamiku saat itu.
Beliau adalah seorang Ustadz yang mengajar pengajian anak-anak kecil seumuran SD di surau tak jauh dari rumahku.
"Ka, koq ada ya laki-laki seperti Ustadz Jaka?". Kataku sambil menyenggol lengan kakakku yang berjalan disebelahku. Aku sungguh mengaguminya. Namun usianya yang cukup terpaut jauh. Tentu saja Ia sama sekali mengabaikanku. Karna beliau hanya menganggapku anak kecil.
Kakakku Lani bekerja di sebuah mini market yang juga tak jauh dari rumah. Kuperhatikan Ia tumbuh menjadi perempuan cantik dari hari ke hari. Tentu saja aku iri. Semua laki-laki pastilah jatuh hati padanya.
Suatu hari, tanpa sengaja kulihat Ia tengah berbincang dengan Ustadz Jaka. Cemburu? Aku? Rasanya sih begitu. Tapi apa boleh buat. Aku ini cuma anak kecil. Mereka berbincang cukup lama. Entah apa yang dibicarakan. Sesekali Ka Lani tertawa.
Sampai di rumah, tanpa sengaja aku jadi bersikap ketus pada Kakak. Entah kenapa. Padahal aku tak seharusnya begitu. Sepertinya aku sudah betul-betul jatuh hati pada Ustadz Jaka.
"Neng, tadi Ayah kedatangan tamu siang-siang. Seperti biasa. Melamar eneng". Kata Ayah yang tiba-tiba keluar dari kamar dan menghampiri kakak yang sedang mencium punggung tangan Ibu yang baru pulang dari pengajian.
Hatiku berdegup kencang. Takut kalau keluarga yang melamar Kakak adalah keluarga Ustadz Jaka. Ya Allah jadi apa hatiku jika benar yang melamar kakak adalah beliau. Meski aku menyadari bahwa sampai kapanpun aku hanya akan bertepuk sebelah tangan.
"Siapa Yah?". Tanya Kakak singkat.
"Keluarga Pak KaDes. Melamarkan si bungsu untukmu. Kamu kenal Arya kan? Katanya dia kakak kelasmu waktu SMA. Gimana menurut eneng? Mau terima lamarannya gak?".
Mendengar Ayah bicara, hatiku sedikit lega. Ternyata bukan Ustadz Jaka. Alhamdulillah. Aku sedikit bergumam.
"Udah Ka, terima aja. Arya lho Ka. Perempuan mana yang gak mau sama anak Pak KaDes?". Godaku sambil menyenggol lengan Kakak.
"Ih apa sih kamu. Ya udah kalo gitu kamu aja yang terima lamarannya". Kakak malah balik menggodaku.
"Yeee, jelas-jelas dia naksirnya sama Kakak".
Pembicaraanpun berakhir dengan penolakan Kakak atas lamaran pak kades untuk bang Arya. Tentu saja tidak selesai sampai disitu. Benar saja dugaanku.
Esoknya, Bang Arya datang ke mini market tempat Ka Lani bekerja. Menemuinya dan bertanya dengan tatapan sinis.
"Neng, kenapa lamaran abang ditolak? Abang kira selama ini eneng juga ada perasaan sama abang".
"Maaf Bang, kalo sikap Lani Abang artikan salah seperti itu. Tapi selama ini rasanya Lani tidak pernah memberikan sinyal yang menyatakan perasaan Lani kepada Abang seperti itu. Sekali lagi maaf ya bang. Lani belum tertarik untuk menikah".
Jawab Kakak panjang lebar sambil merapikan produk makanan di rak-rak mini market.
"Jadi Lani cuma belum mau menikah? Ooh baiklah kalau begitu".
Bang Aryapun pergi meninggalkan Ka Lani tanpa berkata apa-apa lagi. Aku cuma berharap bang Arya tidak salah paham. Aku takut Bang Arya masih berpikiran Kakak suka padanya hanya saja belum mau menikah.
"Ka, kenapa kakak jawab begitu?". Tanyaku yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dari balik rak mini market.
"Ish, kamu menguping? Lagian apa salahnya kakak jawab begitu? Memang gitu adanya".
"Aku khawatir bang Arya salah paham. Dikira kaka suka sama dia tapi cuma belum mau menikah. Gimana kalau dia jadi menunggu kakak. Padahal nanti ternyata nikahnya sama orang lain. Apa gak sakit hati dianya".
"Duuuh, koq jadi kamu yang khawatir dia sakit hati? Ciyeee. Jangan-jangan kamu nih yang ada rasa sama dia".
"iiih apaan sih ka. Malah ngeledek. Bukan gitu ka. Aku takut aja keluarga kita diganggu. Kakak tau kan kalo dia seenaknya, gak tau aturan, tengil, sok preman karna anaknya kepala desa". Kataku sambil memainkan permen-permen yang sedang diatur kakak di meja kasir.
"Jadi kamu lebih milih kakak menikah sama preman itu? Tega kamu Ren?". Tanya kakak sambil menatap dalam mataku.
"Betul juga sih Ka. Gak mungkin aku biarin kakakku yang cantik jelita ini diperlakukan semena-mena sama preman macam bang Arya itu".
Obrolan kamipun berakhir dengan aku pulang dari mini market sambil membawa kantung belanja pesanan Ibu.
Aku memang berharap kakak segera menikah dan bukan dengan Ustadz Jaka tentunya. Tapi tidak ingin juga kakak menikahi Bang Arya yang bengis itu.
Aku tau, laki-laki manapun pasti jatuh hati pada Ka Lani. Tapi yang aku lihat. Ustadz Jaka tidak seperti itu. Ia sangat santun, tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada lawan jenis. Sehingga kita tidak bisa menebak isi hatinya.
Perempuan seperti apa yang bisa membuatnya jatuh hati. Aku berharap suatau hari perempuan itu adalah aku.
Hari itu hujan sangat lebat. Aku yang harusnya sudah pulang sekolah sedari tadi, jadi terlambat karna lupa membawa payung. Padahal Ibu setiap hari sudah mengingatkan. Karna memang sudah waktunya masuk musim hujan.
Rasanya ingin berlari dibawah siraman air hujan. Namun kuurungkan niatku karna takut jilbabku yang tak terlalu tebal ini menerawang bagian kepalaku hingga ke dada.
Sesampainya di rumah. Aku dikejutkan dengan berita yang membuatku ingin mati saja.
"Assalamualaikum...".
"Waalaikumsalaaam Warrohmatullahi Wabarakatuh". Jawab orang-orang dari dalam rumah secara bersamaan.
Ternyata sedang ada tamu. Keluarga Ustadz Jaka. Ya, kalian benar. Akhirnya Ustadz Jakapun sama saja dengan laki-laki lain yang silau dengan pesona Kakakku. Ia datang melamar kakak. Tak kuasa kumenahan tangis. Aku langsung berlari ke kamarku dan tertelungkup sambil berurai air mata mendekap bantal.
Ka Lani tahu persis bagaimana perasaanku pada Ustadz Jaka. Sayangnya, Ia sedang tidak di rumah. Jadi aku tidak tahu bagaimana tanggapannya dengan lamaran itu. Aku sedih dan sakit.
Bagaimana bisa aku terjebak dalam pernikahan yang begitu rumit diumur yang masih sangat belia. Kalian tahu, tatapan orang-orang ketika aku membawa putri kecilku ke puskesmas untuk imunisasi rutin?
"Dek, mamanya ke mana?". Tanya petugas pendaftaran kala itu.
"Mama saya mba?". Ada di rumah. Jawabku cepat.
"Lho. Yang mau imunisasi siapa? Kalo adek bayinya ya mamanya adek bayi dong. Kamu kakaknya atau siapa?". Tanyanya lebih lanjut.
"Kalo mamanya adek bayi ini ya sayalah mba. Masa saya bawa-bawa anak orang". Jawabku sedikit ketus.
Aku sudah sangat lelah dengan tatapan dan pertanyaan-pertanyaan mereka. Apa aku rekam saja ya penjelasan tentang anakku dan Ibunya yang masih belia ini di recorder ponsel. Jadi kalau ada yang bertanya lagi, kuputar saja langsung rekamannya dari ponsel. Sehingga mulutku tak lelah komat kamit dengan kalimat yang sama.
Ya Allah kenapa sih kalian? Aku ini Ibu Muda, punya suami sah, meski belum tercatat di KUA karna umurku. Tapi secara agama kami sah dan halal. Menikah dengan cara yang benar.
Tapi aku tak mau kalah dengan jin penghantar depresi. Kukuatkan imanku dengan senantiasa berzikir kepada Allah dan bersholawat setiap waktu.
Alhamdulillahnya lagi, putriku adalah bayi yang sangat tenang. Tidak rewel apalagi merepotkan ibunya yang belia ini. Seolah Ia begitu memahami bahwa ibunya pemula dan masih sangat muda untuk memahami keruwetan yang biasanya ditimbulkan bayi-bayi kecil yang sulit dimengerti bahasanya.
Bayiku akan tertidur pada waktunya, jika menangis maka kuberi susu Ia akan tenang dengan cepat, tidak melulu harus digendong atau ditimang-timang.
Semua ini tak lepas dari pemberian Allah yang selalu memudahkan jalanku. Aku sungguh bersyukur karnaNya.
Ngomong-ngomong soal bagaimana aku menjadi pengantin diusia belia, saat itu satu tahun yang lalu. Aku yang masih berumur lima belas tahun dan tentunya masih duduk di bangku SMA, sudah lama kenal dengan suamiku saat itu.
Beliau adalah seorang Ustadz yang mengajar pengajian anak-anak kecil seumuran SD di surau tak jauh dari rumahku.
"Ka, koq ada ya laki-laki seperti Ustadz Jaka?". Kataku sambil menyenggol lengan kakakku yang berjalan disebelahku. Aku sungguh mengaguminya. Namun usianya yang cukup terpaut jauh. Tentu saja Ia sama sekali mengabaikanku. Karna beliau hanya menganggapku anak kecil.
Kakakku Lani bekerja di sebuah mini market yang juga tak jauh dari rumah. Kuperhatikan Ia tumbuh menjadi perempuan cantik dari hari ke hari. Tentu saja aku iri. Semua laki-laki pastilah jatuh hati padanya.
Suatu hari, tanpa sengaja kulihat Ia tengah berbincang dengan Ustadz Jaka. Cemburu? Aku? Rasanya sih begitu. Tapi apa boleh buat. Aku ini cuma anak kecil. Mereka berbincang cukup lama. Entah apa yang dibicarakan. Sesekali Ka Lani tertawa.
Sampai di rumah, tanpa sengaja aku jadi bersikap ketus pada Kakak. Entah kenapa. Padahal aku tak seharusnya begitu. Sepertinya aku sudah betul-betul jatuh hati pada Ustadz Jaka.
"Neng, tadi Ayah kedatangan tamu siang-siang. Seperti biasa. Melamar eneng". Kata Ayah yang tiba-tiba keluar dari kamar dan menghampiri kakak yang sedang mencium punggung tangan Ibu yang baru pulang dari pengajian.
Hatiku berdegup kencang. Takut kalau keluarga yang melamar Kakak adalah keluarga Ustadz Jaka. Ya Allah jadi apa hatiku jika benar yang melamar kakak adalah beliau. Meski aku menyadari bahwa sampai kapanpun aku hanya akan bertepuk sebelah tangan.
"Siapa Yah?". Tanya Kakak singkat.
"Keluarga Pak KaDes. Melamarkan si bungsu untukmu. Kamu kenal Arya kan? Katanya dia kakak kelasmu waktu SMA. Gimana menurut eneng? Mau terima lamarannya gak?".
Mendengar Ayah bicara, hatiku sedikit lega. Ternyata bukan Ustadz Jaka. Alhamdulillah. Aku sedikit bergumam.
"Udah Ka, terima aja. Arya lho Ka. Perempuan mana yang gak mau sama anak Pak KaDes?". Godaku sambil menyenggol lengan Kakak.
"Ih apa sih kamu. Ya udah kalo gitu kamu aja yang terima lamarannya". Kakak malah balik menggodaku.
"Yeee, jelas-jelas dia naksirnya sama Kakak".
Pembicaraanpun berakhir dengan penolakan Kakak atas lamaran pak kades untuk bang Arya. Tentu saja tidak selesai sampai disitu. Benar saja dugaanku.
Esoknya, Bang Arya datang ke mini market tempat Ka Lani bekerja. Menemuinya dan bertanya dengan tatapan sinis.
"Neng, kenapa lamaran abang ditolak? Abang kira selama ini eneng juga ada perasaan sama abang".
"Maaf Bang, kalo sikap Lani Abang artikan salah seperti itu. Tapi selama ini rasanya Lani tidak pernah memberikan sinyal yang menyatakan perasaan Lani kepada Abang seperti itu. Sekali lagi maaf ya bang. Lani belum tertarik untuk menikah".
Jawab Kakak panjang lebar sambil merapikan produk makanan di rak-rak mini market.
"Jadi Lani cuma belum mau menikah? Ooh baiklah kalau begitu".
Bang Aryapun pergi meninggalkan Ka Lani tanpa berkata apa-apa lagi. Aku cuma berharap bang Arya tidak salah paham. Aku takut Bang Arya masih berpikiran Kakak suka padanya hanya saja belum mau menikah.
"Ka, kenapa kakak jawab begitu?". Tanyaku yang sedari tadi mendengar percakapan mereka dari balik rak mini market.
"Ish, kamu menguping? Lagian apa salahnya kakak jawab begitu? Memang gitu adanya".
"Aku khawatir bang Arya salah paham. Dikira kaka suka sama dia tapi cuma belum mau menikah. Gimana kalau dia jadi menunggu kakak. Padahal nanti ternyata nikahnya sama orang lain. Apa gak sakit hati dianya".
"Duuuh, koq jadi kamu yang khawatir dia sakit hati? Ciyeee. Jangan-jangan kamu nih yang ada rasa sama dia".
"iiih apaan sih ka. Malah ngeledek. Bukan gitu ka. Aku takut aja keluarga kita diganggu. Kakak tau kan kalo dia seenaknya, gak tau aturan, tengil, sok preman karna anaknya kepala desa". Kataku sambil memainkan permen-permen yang sedang diatur kakak di meja kasir.
"Jadi kamu lebih milih kakak menikah sama preman itu? Tega kamu Ren?". Tanya kakak sambil menatap dalam mataku.
"Betul juga sih Ka. Gak mungkin aku biarin kakakku yang cantik jelita ini diperlakukan semena-mena sama preman macam bang Arya itu".
Obrolan kamipun berakhir dengan aku pulang dari mini market sambil membawa kantung belanja pesanan Ibu.
Aku memang berharap kakak segera menikah dan bukan dengan Ustadz Jaka tentunya. Tapi tidak ingin juga kakak menikahi Bang Arya yang bengis itu.
Aku tau, laki-laki manapun pasti jatuh hati pada Ka Lani. Tapi yang aku lihat. Ustadz Jaka tidak seperti itu. Ia sangat santun, tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada lawan jenis. Sehingga kita tidak bisa menebak isi hatinya.
Perempuan seperti apa yang bisa membuatnya jatuh hati. Aku berharap suatau hari perempuan itu adalah aku.
Hari itu hujan sangat lebat. Aku yang harusnya sudah pulang sekolah sedari tadi, jadi terlambat karna lupa membawa payung. Padahal Ibu setiap hari sudah mengingatkan. Karna memang sudah waktunya masuk musim hujan.
Rasanya ingin berlari dibawah siraman air hujan. Namun kuurungkan niatku karna takut jilbabku yang tak terlalu tebal ini menerawang bagian kepalaku hingga ke dada.
Sesampainya di rumah. Aku dikejutkan dengan berita yang membuatku ingin mati saja.
"Assalamualaikum...".
"Waalaikumsalaaam Warrohmatullahi Wabarakatuh". Jawab orang-orang dari dalam rumah secara bersamaan.
Ternyata sedang ada tamu. Keluarga Ustadz Jaka. Ya, kalian benar. Akhirnya Ustadz Jakapun sama saja dengan laki-laki lain yang silau dengan pesona Kakakku. Ia datang melamar kakak. Tak kuasa kumenahan tangis. Aku langsung berlari ke kamarku dan tertelungkup sambil berurai air mata mendekap bantal.
Ka Lani tahu persis bagaimana perasaanku pada Ustadz Jaka. Sayangnya, Ia sedang tidak di rumah. Jadi aku tidak tahu bagaimana tanggapannya dengan lamaran itu. Aku sedih dan sakit.
No comments:
Post a Comment