ANDA PENGUNJUNG KE




Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Rahasia Ibu

"Kapaaan suamimu itu bisa nyenengin kamu dan anak-anakmu Len." Kata Ibuku sambil terus merajut sebuah taplak meja dihadapan televisi yang menyala tanpa ditontonnya. Itu adalah kalimat yang sama yang keluar dari mulut Ibu setiap kali kami duduk berdua dalam ruang tengah yang kosong tanpa perabotan selain televisi kecil dan kursi-kursi yang terjajar rapi bersama mejanya. Rumah kami memang kecil. Rumah yang dihuni oleh kami berlima termasuk aku, kedua anakku dan mas tio suamiku, meski kecil namun rapi dan nyaman. Rumah ini memang bukan rumahku. Ini rumah peninggalan almarhum Bapak. Sebenarnya, bukan aku dan mas Tio nyaman-nyaman saja tinggal menumpang di rumah Ibu. Tapi berhubung aku anak tunggal dan Bapak juga sudah tiada, rasanya tidak tega meninggalkan Ibu sendirian untuk kami tinggal dirumah sendiri.

Yaah walaupun sebetulnya kamipun memang belum sanggup membeli rumah sendiri, setidaknya kami bisa mengontrak rumah kecil. Begitu pikir mas Tio. Tapi aku memohon padanya untuk kami tetap tinggal di rumah Ibu. Karna rasanya terlalu tega membiarkan Ibu sendirian di rumah ini meski rumah ini kecil. Sayangnya, Ibu dan Mas Tio sulit sekali akur. Tak tahu bagaimana caraku menghadapi mereka berdua.

Melihat sanak saudara Ibu yang anak-anaknya rata-rata sukses dan cukup berhasil menjadi orang penting atau menikahi laki-laki kaya dengan sederet perusahaan, tentunya membuat Ibuku merasa iri. Bukan karna aku tidak berpendidikan tinggi. Aku sarjana, kuliahku berhasil lulus hanya dalam waktu empat tahun tanpa tertunda-tunda, bahkan nilai-nilaiku semua luar biasa. Aku sempat menjadi karyawan swasta setelah lulus kuliah dengan gaji lumayan meski tidak besar tapi cukup untuk hidup kami sebulan.

Namun pertemuanku dengan mas Tio, merubah segalanya. Aku dan Mas Tio satu kantor. Entah bagaimana kami menjadi dekat. Akupun sudah lupa awal pertama kami bertemu. Saat itu Mas Tio juniorku dikantor. Walau Ia lebih tua dariku, namun karna Ia baru masuk kantor itu dua tahun setelahku, maka dia adalah juniorku.

Lambat laun kami semakin dekat karna hubungan pekerjaan yang mengharuskan kami bekerja sama. Seingatku dari situlah kami mulai dekat. Tak butuh waktu lama bagi mas Tio untuk menyatakan perasaannya padaku. Saat itu, meski banyak laki-laki yang menaruh hati padaku, namun entah kenapa aku hanya tertarik pada sosok mas Tio. Pesonanya diantara banyak pria lain membuatku ingin lebih dekat dengannya.

Mas Tio adalah sosok laki-laki sejati bagiku. Ia bertanggung jawab dalam setiap pekerjaannya. Bukan hanya itu, Iapun typical orang yang memegang teguh pendiriannya dalam hal apapun. Itu kuketahui selama bekerja sama dengannya di kantor. Tidak hanya sampai disitu rasa kagumku pada Mas Tio. Dia orang yang sangat berani dalam hal apapun seperti pendiriannya. Bahkan dalam hal mengemukakan pendapat meski itu bersebrangan dengan pendapat atasan kami. Ia tak segan mengungkapkan. Masih banyak lagi dan rasanya tak terhitung berapa banyak sifat dan sikapnya yang membuatku kagum dan jatuh hati padanya.

Dua tahun setelah pertemuan pertama kami dikantor dan saling mengenal sebagai rekan kerja, Mas Tio melamarku. Memintaku menjadi istrinya secara langsung tanpa melalui proses pacaran seperti banyak pemuda lainnya. Ia bilang kita bisa pacaran setelah menikah saja. Lalu kukatakan padanya bahwa banyak hal dan sifat burukku yang bahkan belum Ia tahu. Apakah tidak mungkin baginya akan hilang rasa setelah melihat sifat burukku setelah menikah? Bukankah terlambat jika memutuskan berpisah setelah menikah hanya karna merasa tidak cocok dengan sifat pasangan?

Namun kemudian mas Tio berkata bahwa menikah adalah ibadah, separuh agama. Jika kita niatkan karna Allah SWT. Seburuk apapun sifat pasangan kita, maka Allah akan membutakan hati kita untuk saling menerima kekurangan termasuk sifat buruk. Itulah cinta sesungguhnya. Cinta yang hanya Allah saja yang bisa memberikannya. Sedang manusia hanya berdoa dan berusaha.

Meleleh hatiku saat itu mendengar ucapannya. Maka tak butuh waktu lama untukku menjawab bersedia menjadi istrinya. Kami menikah dengan sangat sederhana. Saat itu Bapak sudah tidak ada, maka pakle yang mewakili Bapak menikahkan keponakannya ini. Ibu menangis ketika melepas anak satu-satunya ini menjadi istri orang. Akupun turut larut dalam dekap dan tangisnya. Akhirnya aku tinggal bersama kedua orangtua mas Tio. Di rumah itu mereka berlaku sangat baik padaku. Seperti orangtua kandungku sendiri.

Aku sangat bersyukur Allah telah memberiku kedua mertua seperti orangtua mas Tio yang begitu perhatian padaku. Namun, ketika aku mengandung Daffa anak pertama kami. Tiba-tiba Ibu jatuh sakit. Walau bukan sakit serius, tentunya itu menjadi moment dimana akhirnya aku dan mas Tio menyadari kesendirian Ibu di rumah.

Kamipun memutuskan pindah ke rumah Ibuku. Awal-awal kepindahan kami, semua berjalan mulus dan baik-baik saja. Namun, setelah aku melahirkan, mulailah hari-hari sibukku yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya datang tanpa permisi. Membuat diriku terkadang dilanda stress dan kelelahan luar biasa. Alhasil, meski Ibu membantuku mengurus Daffa, aku sering sekali izin tidak masuk kantor.

Lambat laun mas Tio merasa aku harus resign dan focus mengurus rumah tangga saja. Akhirnya akupun setuju. Kupikir gaji yang didapat mas Tio akan cukup asalkan kami hidup cermat dan mensyukuri nikmatNya.

Namun ternyata semua tidak berjalan mulus seperti yang aku dan Mas Tio pikirkan. Perusahaan tempat kami bekerja diambang kehancuran. Ada oknum petinggi yang katanya menggelapkan dana perusahaan begitu banyak. Belum lagi para investor bahkan berencana menarik dana mereka dan aset-aset yang mereka punya karna kabar ini.

Pada akhirnya, tak butuh waktu lama Mas Tiopun resmi menganggur. Dari sinilah semua konflik yang terjadi dimulai. Awal-awal Ibu masih sering membantu dari hasilnya berdagang nasi uduk setiap subuh hingga siang hari. Namun lambat laun Ibu merasa Mas Tio seharusnya sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari sekedar driver ojek yang dia geluti setelah Ia kena PHK massal.

"Suamimu itu orang terpelajar. Pendidikannya tinggi dan punya pengalaman kerja yang bagus. Lah koq cuma ngojek aja. Memang, ga ada niatan kerja kantoran lagi seperti dulu?"
Tanya Ibu sambil membuat nasi uduk dagangannya pagi itu.

"Bukan Mas Tio gak mau Bu. Ibu kan tau sendiri, Mas Tio sudah berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan dan pengalaman kerjanya. Tapi hasilnya? Semua perusahaan tetap saja mencari yang muda tanpa peduli pengalaman yang dimiliki Mas Tio. Ibu pikir Mas Tio gak malu menjalani profesinya sebagai driver ojek online? Malu Bu. Bukan cuma Ibu. Jika saja rasa malu Mas Tio lebih besar ketimbang rasa tanggung jawabnya terhadap aku dan anaknya, mungkin dia lebih memilih pekerjaan lain yang pengasilannya bisa jadi lebih rendah dari driver ojek saat ini."

Kala itu aplikasi transportasi umum seperti ojek online belum lama tercipta, para drivernya masih belum begitu membludak. Sehingga penghasilan Mas Tio menurutku cukup lumayan sebagai seorang tukang ojek. Itulah sebabnya Mas Tio merasa nyaman-nyaman saja walau diawal sempat merasa malu menjalaninya. 

Namun, setahun kemudian, banyak sekali orang-orang yang mulai mendaftarkan diri menjadi driver dan lama kelamaan penghasilan Mas Tio menurun karna ketatnya persaingan. Tentu saja itu tak lantas membuatnya putus asa. Ia berangkat lebih pagi. Lepas sholat subuh langsung melajukan motornya ke tempat-tempat yang menurutnya bisa menarik banyak pelanggan.

Aku sama sekali tak keberatan dengan profesi dan penghasilannya. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertumbuhnya anak-anak kami, kebutuhan merekapun semakin mencengangkan. Setiap hari, adaaa saja pengeluaran yang harus disediakan untuk kebutuhan mereka dan sekolahnya.

Ibuku itu, meski seringkali mengeluarkan kalimat yang menyakitkan seperti "Masa neneknya yang bayaran sekolah." "Suamimu ngapain aja hari gini anak-anak belum makan?" "Buat apa punya suami kalau kebutuhanmu masih Ibu yang selalu direpotkan." Ia tetap saja membantu kami dengan pendapatannya dari berjualan setiap hari.

Ibu memang tak pernah sayang mengeluarkan uang untuk cucu-cucunya. Tapi.... setiap kali Mas Tio mendengar umpatan Ibu, wajahnya pasti langsung berubah masam. Tak jarang Ia masuk kamar sambil membanting pintu karna kesal, kemudian diiringi ucapan Ibu lagi "Tuh, begitu itu tuh suamimu. Bukannya mikir malah marah diomongin hal yang nyata-nyata adanya."

Tentu saja Mas Tio mendengar ucapan Ibu yang cukup kencang suaranya. Jika sudah seperti itu, maka aku akan masuk kamar menenangkan Mas Tio. Tapi yang ada justru semakin menyulut api pertengkaran mereka berdua.

"Ibumu tuh, apa gak bisa omongannya ditahan dikit, memang dia pikir aku seharian ini keluar main-main apa."

Yaah kira-kira seperti itulah hari-hari kami di rumah. Meski selalu berseteru, mereka tetaplah keluarga. Hingga suatu hari mas Tio jatuh sakit. Kali ini bukan masuk angin seperti biasa yang terkadang dikeluhkannya setiap kali merasa tidak enak badan. Sakitnya kali ini teramat sangat. Keringatnya bercucuran menahan nyeri didadanya. Aku tidak tau apa yang dirasanya. Akhirnya kularikan mas Tio ke Rumah Sakit. 

Setelah diperiksakan ke Dokter umum, Dokter menyarankan kami untuk menemui Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Akupun menurut. Meski mas Tio sempat menolak karna takut akan biayanya yang sudah pasti tidak sedikit. Secara kebetulan, Dokter spesialis itu ternyata sepupuku Rio. 

"Mba, sepertinya kita harus melakukan serangkaian test. Aku khawatir mas Tio sakit serius". Begitu ujarnya padaku yang duduk dihadapannya sambil menggenggam tangan mas Tio saat itu. Akupun tak banyak bicara selain menuruti apa kata Rio. Aku tau Rio adalah Dokter yang hebat. Kecerdasannyalah yang mampu membawanya menjadi Dokter spesialis seperti sekarang ini. Rio memang sejak kecil sudah sangat terlihat tertarik dengan dunia kesehatan. Keluarga kami tidak ada yang tidak kagum kepadanya. Otak cerdasnya sejak kecil membuat kami tidak kaget lagi saat mendengar kabar Rio telah berhasil menjadi seorang Dokter di Rumah Sakit besar.

Aku percayakan semua kepada Rio. Setelah melewati serangkaian test, Rio memanggilku ke ruangan praktek pribadinya. Sengaja Ia tidak ingin bicarakan didalam kamar rawat dimana mas Tio terbaring dan pasti mendengarnya. Aku tegang menanti hasil testnya. Apa gerangan yang terjadi pada suamiku. 

Telah terjadi kerusakan hati pada tubuh Mas Tio, sehingga Ia harus menerima donor hati jika memungkinkan. Selain itu mencari pendonorpun tidaklah mudah. Terlebih lagi zaman sekarang mencari orang yang betul-betul sehat dan bersedia mendonorkan hatinya itu sangat sulit. Faktor polusi dan jenis makanan tidak sehat yang marak sekali dijual dimana-mana membuat tubuh tidak proporsional untuk didonorkan. Ditambah lagi yang membutuhkan donor hati ternyata bukan hanya Mas Tio, sehingga kami harus masuk dalam antrian penerima donor. Atau jalan lainnya kami harus mencari sendiri orang yang mau mendonorkan hatinya.

Tak lama kemudian aku menjalani test apakah cocok menjadi pendonor Mas Tio. Sayangnya tidak. Dari golongan darahpun sudah berbeda, sehingga aku masih harus berusaha mencari kesana kemari orang yang mau mendonorkan hatinya. Alhamdulillah, tidak butuh waktu lama akhirnya Rio mengabariku bahwa ada orang yang mau mendonorkan hatinya untuk Mas Tio. Operasi akan segera dijadwalkan. 

Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu pemulihan Mas Tio. Dengan sabar aku mendampinginya. Telah banyak tabungan terkuras habis. Meski banyak juga sanak saudara dan keluarga yang memberi sedikit donasi saat kami kesulitan karna biaya Rumah Sakit yang tidak tercover asuransi dan cukup menguras biaya.

Beberapa minggu kemudian Mas Tio dinyatakan pulih dan bisa kembali pulang. Karna aku belum tega memintanya bekerja, maka saat itu aku berusaha sebisaku untuk membantu mencari nafkah dengan berjualan produk online. Syukurnya dengan maraknya media sosial saat ini, daganganku dengan mudah bisa laris. Dalam waktu singkat, keadaan ekonomi kami pulih. Namun entah kenapa, Ibu dan Mas Tio masih sulit akur. Kupikir Ibu selalu saja mengomel karna keadaan kami yang saat itu serba kekurangan. Namun ternyata sampai saat inipun Ibu masih saja sering ngomel. Apakah memang orangtua yang sudah renta hobi ngomel? Mungkinkah kami juga akan seperti itu nanti.

Aaah entahlah. Yang jelas, Mas Tio jadi terbiasa dengan keadaan rumah yang selalu penuh dengan omelan Ibu. Debu beterbangan yang belum sempat kusapu, cucian piring menumpuk yang kadang aku kerjakan sebisaku karna tidak sempat diselingi mengurus olshop, dan masih banyak hal yang bisa Ibu jadikan untuk mengomel setiap harinya. Padahal Ibu sudah sering sakit. Tapi bahkan saat terbaring di tempat tidurpun Ia ngomel.

Perlahan kami menyadari kasih sayang Ibu. Omelannya setiap hari itu adalah bentuk sayangnya. "Kalian itu bagaimana kalau tidak ada Ibu. Semua urusan rumah tangga Ibu yang kerjakan, Ibu yang atur. Ibu nih sudah mau mati. Masih saja mengerjakan hal-hal begini. Jadi apa rumah ini kalau tidak ada Ibu. Anak-anakmu suruh mandi ndo, Tio kau ini laki-laki jangan hanya berdiam di rumah. Keluar cari pekerjaan. Biarpun kalian sudah banyak uang dari hasil toko online, laki-laki itu harus terlihat bekerja untuk menjaga kehormatannya. Leen, anakmu suruh belajar, Leen cucian piring sudah menumpuk Ibu sedang lelah."
Masih banyak lagi omelan-omelan yang kalau kupikir-pikir itu hanyalah bentuk kekhawatiran Ibu. Lama-lama Mas Tiopun sadar kalau Ibu itu bukan benci, namun Ia seperti itu karna menyayangi kami semua. Kami dan cucu-cucunya. Sepertinya Ibu berpikir rumah ini akan berantakan ketika dia nanti sudah tidak ada. Sehingga sering marah jika tidak ada yang menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah.

Dua bulan kemudian, Ibu jatuh sakit lumayan serius. Memang selama ini beliau sudah sering sakit-sakitan. Namun kali ini sakitnya lebih buruk. Sehingga kami harus membawanya ke Rumah Sakit. Sebelum itu, aku menghubungi Rio sepupu dokterku yang waktu itu membantu perawatan Mas Tio ketika sakit. Rio bilang Ibu memanglah harus dirawat di Rumah Sakit demi kesehatannya. Akhirnya kamipun membawa Ibu ke Rumah Sakit. Tidak lama kemudian, hanya berselang dua hari di Rumah Sakit, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Kami, khususnya aku histeris sekali dengan kepergian Ibu. Mas Tio hanya terdiam memandang tubuh ringkih itu telah terbujur kaku dan membiru.

Pemakaman diadakan secepat mungkin. Karna memang tidak ada yang ditunggu. Hanya aku anak Ibu yang mendampinginya sampai akhir. Sehingga kami tidak perlu menunggu kedatangan siapapun untuk memakamkan Ibu. Akhirnya acara pemakaman selesai. Ibu sudah lama berpesan untuk tidak mengadakan acara tahlilan tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seterusnya ketika dia meninggal nanti. Beliau tidak mau diadakan acara seperti itu. Beliau hanya meminta keikhlasan kami dan saudara-saudara lainnya untuk mendoakan dalam setiap sholat kami. Tidak perlu didoakan dalam pengajian-pengajian berbentuk tahlilan yang kemungkinan orang-orang datang hanya karna formalitas undangan atau lebih buruknya lagi mengharap bingkisan atau amplop. Ia tidak ingin hal-hal seperti itu. Sehingga kamipun menurutinya. Meskipun banyak gunjingan dari tetangga. Mereka berpikir kami pelit, mereka berpikir kami tidak mau keluar uang untuk acara tersebut. Padahal, itu memanglah pinta Ibuku. Beliau hanya meminta, daripada uangnya digunakan untuk acara tahlilan semacam itu, Ia meminta kepada kami untuk mendonasikan uang tersebut ke panti asuhan atau panti jompo dan meminta mereka mendoakannya.

Kamipun setuju dengan keputusan Ibu. Menurutku itu hal yang paling benar. Lebih tepat sasaran mendonasikan  seluruh uang yang awalnya ditujukan untuk tahlilan, menjadi sumbangan kecil ke panti-panti asuhan atau panti jompo. Biarlah tetangga bergunjing. Toh Ibu sudah ada di sisiNya saat ini. Allah lebih tahu hati ibu dengan keinginannya yang mulia.

Hari-hari tanpa Ibu. Terasa hampa karna tidak mendengar ocehannya. Bahkan Mas Tio yang tadinya selalu masam dan kesal. Malah kelihatan paling kehilangan sosok Ibu Mertuanya itu. Aku selalu mendengar dalam doanya setiap sholat. Mas Tio selalu mendoakan Ibu. Aku bersyukur memiliki keluarga kecilku ini. Meski tidak sempurna, namun kami saling melengkapi.

Suatu hari, aku membereskan kamar Ibu. Semua hal di dalam kamarnya aku rapikan. Bahkan ranjangnyapun aku selimuti dengan plastik bening agar tidak berdebu. Seluruh isi kamar Ibu akan aku selimuti dengan plastik bening besar agar tetap terlihat namun tidak berdebu. Saat aku membereskan pakaiannya, aku menemukan sebuah amplop putih diselipan lemari pakaian.

Surat? Dari siapa ini? Aku membolak balik amplop tersebut demi mencari tahu apa isinya. Di sudut kanan bawah surat ada tulisan kecil. "Kepada putra putriku Tio dan Lena."
Kemudian aku berteriak memanggil Mas Tio. "Maaas...." kuperlihatkan amplop itu. Kami membukanya perlahan. Ternyata benar surat peninggalan Ibu. Kami duduk di ranjang Ibu sambil membaca isinya bersama.

Assalamualaikum wahai putra putri Ibu tercinta. Ketika kalian membuka surat ini, kemungkinan besar itu artinya Ibu sudah tidak berada di sisi kalian. Sebelumnya Ibu memohon maaf teramat sangat. Khususnya kepada Tio yang seringkali menjadi sasaran amarah Ibu. Entah apakah kalian membenci Ibu, atau kalian pahami maksud semua omelan-omelan Ibu. 
Ibu bukanlah Ibu yang sempurna, apalagi mertua. Sebagai Ibu dan Mertua, Ibu sangat banyak kekurangan. Namun, apalah daya. Ibu tetaplah Ibu yang sebetulnya mencintai kalian dengan penuh kekhawatiran. Ibu takut ketika Ibu pergi, kalian kesulitan. Ibu takut ketika Ibu pergi, kalian kehilangan. Ibu takut ketika Ibu pergi, kalian tidak terbiasa. 
Sehingga Ibu tanpa sengaja sering sekali menyakiti hati kalian dengan kalimat-kalimat yang pastinya membekas sekali dihati kalian.
Namun percayalah. Ibu sangat mencintai kalian semua. Bukan Ibu tidak pandai menunjukkan rasa cinta. Hanya saja, Ibu ingin kalian lebih senang ketika Ibu tidak ada. Sehingga itu tidak memberatkan Ibu ketika di akhirat. Kalian tidak sedih dan malah bahagia dengan kepergian Ibu.
Satu hal yang ingin Ibu sampaikan bahwa, apapun yang kalian ketahui nanti, jangan salahkan siapapun termasuk Rio. Rio adalah keponakan Ibu yang paling berjasa kepada kita sekeluarga. 
Keputusan Ibu mendonorkan hati, bukan tanpa sebab. Tapi ini murni karna Ibu mencintai kalian. 
Awalnya Ibu ingin ini menjadi RAHASIA IBU seorang. 
Namun lambat laun sepertinya Ibu ingin kalian mengetahui bahwa Ibu tetap ada di hati Tio. Karna telah Ibu serahkan hati Ibu kepada putra menantu Ibu satu-satunya. 
Meski tahu resikonya, Ibu bersikerasa melawan amarah Rio yang awalnya menolak. Namun akhirnya Ia mengerti kenapa ini harus dilakukan.
Intinya, Ibu menyayangi kalian. Tolong kalian akur sampai maut memisahkan. Jangan ada perpisahan terlebih lagi pertengkaran tidak penting. 
Tio, hiduplah dengan hati yang Ibu berikan untuk menjaga putri kesayangan Ibu. Jangan sakiti dia apalagi meninggalkannya.
Wassalamualaikum
Ibu yang selalu ada dihati kalian.

Kami menangis bersama. Tak kusangka ternyata donor hati Mas Tio adalah Ibu. Setelah itu, kami pergi menemui Rio. Dari Riolah kami tahu semuanya. Sebetulnya sejak awal Rio tidak setuju dengan keputusan Ibu. Bukan karna apapun, melainkan karna resiko berbahaya yang mungkin Ibu hadapi. Faktor kesehatan Ibu dan umurnya yang sudah renta menjadi pertimbangan. Namun Ibu bersikeras memberikan hatinya pada Tio. 
Berkali-kali Rio membujuk Ibu untuk bertahan dulu sebentar. Siapa tahu Rio sebagai Dokter bisa mencari donor lain. Namun Ibu tetap kukuh dan tidak bergeming ingin segera dilakukan transplantasi pada Mas Tio. Karna memang saat itu kondisi Mas Tio tidak bisa lagi menunggu lama.

Rio sudah menjelaskan kemungkinan terburuk pada Ibu saat itu. Ibu bisa saja komplikasi mendadak dengan operasi itu. Ibu yang awalnya sehat-sehat saja, bisa saja tidak bertahan. Namun Ibu tetaplah Ibu denga kekeras kepalaannya yang luar biasa. Mau tidak mau Riopun akhirnya menyetujui keputusan Ibu.

Ya Allah, berikanlah tempat terbaik disisiMu untuk Ibuku. Ibu yang selama ini selalu mengomel, Ibu yang kuanggap membenci Mas Tio. Justru Ibu memberikan kehidupan kepada Mas Tio.
Tak hentinya Mas Tio mengeluarkan air mata. Walau Ia berusaha menahannya, namun Ia tak sanggup. Sebentar-sebentar Ia memegang dadanya. Ia merasa ada hati Ibu mertuanya ditubuhnya. Kini kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Ibu di Syurga.

*TAMAT*

Tag:

No comments:

Cerita Terpopuler

Cari Cerita

Apa yang kamu cari? Temukan disini

\
\