PINANGAN !
Hana semakin menundukkan kepala. Bulir-bulir keringat dingin
membasahi pelipis dan telapak tangannya. Dia tak pernah menyangka akan
mendapatkan tawaran ini dari orangtua asuhnya.
“Apa Mas Irfan kurang tampan? Kurang gagah? ” goda Pak
Cipto sembari tersenyum lembut.
Pipi Hana bersemu merah. Sekelebat bayangan Irfan, putra
tunggal orang tua asuhnya itu melintas. Dokter muda tampan dengan
bergudang prestasi. Keshalihannya tak diragukan lagi. Hana mendesah
gelisah. Cepat ditepis bayangan itu seraya beristighfar.
“Bagaimana, Nduk? Hanya kamu yang kami harapkan. Bapak dan
Ibu tak pernah ragu memilihmu untuk mendampingi Irfan. Insya Allah, akan lahir
mujahid-mujahid sejati dari pernikahan kalian,” suara Bu Cipto yang biasanya
lembut dan sejuk itu, kini menjelma halilintar di telinga Hana. Kepalanya
mendadak pening.
Mendampingi Irfan? Hana tak pernah ragu sedikitpun dengan
keshalihan Irfan. Toh, Hana mengenal Irfan bukan sehari dua hari. Bahkan
sudah bertahun-tahun sejak keluarga Cipto mengangkatnya sebagai anak asuh.
Selisih usia mereka lima
tahun. Tapi…bukankah Irfan sudah beristri? Tegakah dia menjadi madu Mbak
Tantri? Mbak Tantri yang lembut, baik dan sangat ia hormati sekaligus sayangi.
“Ibu tidak bermaksud merendahkanmu dengan tawaran ini, Nduk.
Maafkan Ibu kalau tawaran ini melukai perasaanmu…”
“Ah, em…eh, bukan begitu Bu... hanya…”
“Ibu tahu, menjadi istri kedua bukan keputusan yang
main-main. Pikirkanlah tawaran ini masak-masak sebelum mengambil keputusan.”
“Ambillah waktu berapa saja untuk berpikir dan memohon
petunjuk Allah. Apapun keputusanmu, kami akan menerima dengan lapang
dada. Insya Allah…” Pak Cipto menambahkan. Bu Cipto mengangguk-angguk.
Hana masih terdiam. Gagu. Sepoi angin senja kota
Malang yang
dingin tak mampu menahan keringat yang mengucur deras membasahi jilbabnya.
Dadanya sesak. Ada
beban yang tiba-tiba menggumpal memenuhi ruang batinnya.
“Insya Allah, akan saya pikirkan Pak, Bu. Saya mohon
pamit dulu, tadi ndak pamit Emak mau pulang sore. Assalamu’alaikum…” ucap Hana
seraya meninggalkan ruang samping keluarga Cipto yang asri.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan ya, Nduk…” jawab Pak
dan Bu Cipto hampir bersamaan. Kebanggaan akan Hana meluapi wajah pasangan tua
itu. Mereka tersenyum sambil menatap punggung Hana yang menghilang di balik
pintu depan.
***
Sesampai di rumah, Hana serta merta memeluk Emak yang
menyulam di samping jendela. Kebiasaan yang selalu dilakukan Hana ketika
hatinya gundah. Tangan Emak mengelus kepalanya lembut. Hana semakin tenggelam
dalam kemanjaan. Seperti bocah kecil yang lama tak berjumpa dengan
ibunya. Bagi Hana, elusan tangan Emak adalah pengobar semangat yang selalu
dirindukannya kala letih.
Hana menatap wajah renta Emaknya dalam-dalam. Kerut di kedua
pipinya kian melorot di makan usia. Namun keikhlasan dan ketulusan yang
memancar dari matanya tak pernah pudar. Sejak Apak tiada setahun yang lalu,
Emak berjualan di pasar. Dua adiknya, Amah dan Didin kadang membantu Emak
di sela sekolahnya. Emak tak pernah mengijinkan sekolah mereka terganggu.
Untung Amah dan Didin selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Hana sendiri
lebih sering berada di rumah keluarga Cipto sejak diangkat anak asuh.
“Ana apa se?” tanya Emak ketika anak gadisnya tak kunjung
bicara dan hanya menatap. Hana diam. Perlahan tangan Emak diraih dan di cium
lembut. Air mata yang berdesakan disudut matanya meleleh kini.
“Maafkan aku, Mak…”
Emak mengeryitkan dahi. Tak mengerti.
“Ana apa se, Nduk?” ulang Emak sambil meletakkan kain
sulamannya.
Hana tergugu dalam tangisnya. Dia merasa sangat
berdosa di hadapan wanita tercinta ini. Apa kata Emak nanti saat dia berterus
terang tentang tawaran keluarga Cipto. Sedih? Marah? Kecewa? Atau….ah,
entahlah. Hana tahu, masih banyak yang harus dia lakukan untuk Emak dan dua
adiknya. Mereka sangat membutuhkan Hana. Hana ingin menyelesaikan
kuliahnya yang kini menginjak tahun ketiga itu lebih cepat dan
bekerja untuk membiayai adik-adiknya. Namun tawaran itu? Keluarga Cipto juga
tak mungkin diabaikan begitu saja. Mereka teramat baik untuk di
kecewakan.
“Ke…keluarga Cipto, Mak…” ucap Hana terbata. Wajahnya
berlinang air mata.
“Oh…itu…” Emak tersenyum. “Emak sudah di ajak bicara sama
Bapak Ibumu tentang tawaran itu kok, Nduk. Bahkan Den Irfan sama istrinya
juga sudah meminta sama Emak.”
“Hah?! Mbak Tantri? Lantas?” Hana tercekat. Tak menyangka
Emak sudah lebih dulu tahu tentang tawaran itu.
“Emak bilang pada mereka, bahwa tawaran ini sepenuhnya kamu
yang memutuskan. Emak hanya merestui saja apa yang menjadi keputusanmu. Asal
keputusan itu melibatkan Allah.”
“Emak tak marah, kecewa atau sedih?” kejar Hana.
“Nduk…nduk…koen niku ngomong apa se? Apa alasan Emak marah
sama kamu? Toh, niat mereka baik.”
“Jadi Emak suka aku jadi istri kedua?” Hana menggigil
mengucapkan kata ‘istri kedua’. Jujur saja, Hana merasa belum siap melakukan
itu. Menjadi madu buat Mbak Tantri, istri pertama Mas Irfan.
“Bukan masalah suka atau tak suka. Lebih baik memohonlah
pada Allah, isthikarahlah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui .”
Hana mengangguk. Di seka air matanya. Perlahan dia beranjak
meninggalkan Emak. Kepalanya serasa makin berat.
“Nduk, Emak baru tahu kalau Den Irfan itu gagah dan baik
sekali. Seandainya Emak yang di tawari, hm, Emak pasti mau, he he he…” goda
Emak sambil tertawa halus. Sambil menuang air putih ke gelas, Hana
merengut. Emak ada-ada saja, pikirnya. Tapi dalam hati kecilnya, Hana tak
mengingkari kata-kata Emak tentang Irfan. Mendadak Hana tersipu malu.
“Kalau kamu tersipu, berarti benar kan kata Emak tentang Den Irfan?” goda Emak
lagi.
“Ih, Emak kok ngono se?” Hana semakin merengut. Dilangkahkah
kakinya menuju kamar. Emak tertawa berderai.
***
Gerimis datang sehabis subuh. Udara di sekitar perkebunan
apel semakin menggigilkan, membuat orang-orang enggan beranjak dari balik
selimut tebalnya. Semalaman Hana tak memejamkan mata. Sudah seminggu sejak
tawaran itu, Hana terserang insomnia dadakan. Beban berat bergelayut di
kepalanya. Dia sengaja tak ke rumah keluarga Cipto sebelum membawa jawaban.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara seolah bersaing dengan
hujan yang menderas. Hana melipat mukena dan sarungnya, menyambar jilbab lalu
beranjak membuka pintu. Siapa sepagi ini sudah bertamu? Batinnya
bertanya-tanya.
Pintu terbuka dan Hana terpaku melihat siapa yang datang
bertamu. Seorang wanita dengan jilbab lebar sedang tersenyum lembut .
Wajah teduhnya yang pucat tampak basah oleh hujan.
“Mbak Tantri? Eh, em, Wa…wa’alaikumussalam…” jawab Hana
gugup.
“Ehm! Boleh masuk Dik ?” goda Tantri melihat Hana
terbengong-bengong.
“Walah…kon niku yak apa se Na, ada tamu kok di biarkan
saja…” saut Emak yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Hana tersipu. Entah
mengapa, menatap wajah teduh Tantri lidahnya mendadak kelu . Melukai
hatinyakah tawaran itu? Hati Hana tambah gelisah. Keluarga Cipto sebenarnya
sudah mengatakan kerelaan Tantri untuk di madu, namun tetap saja hati Hana tak
enak.
“Kok pagi sekali Ning Tantri? Ada apa?” tanya Emak setelah mempersilakan
Tantri duduk.
“Iya Mak, maaf kalau pagi-pagi sudah mengganggu. Takutnya kalau
siang, Emak sama Dik Hana pergi. Saya ingin bicara sama Dik Hana.”
Deg! Jantung Hana rasanya berhenti berdetak. Dua tangannya
yang sedari tadi meremas-remas ujung jilbab kian gemetar. Hana tak kuasa
menatap senyum Tantri yang terus mengembang. Dia tak ingin menjadi madu
yang akan melukakan hati bening di hadapannya.
“Oh, monggo Ning, monggo. Oh ya, Ning Tantri mau Emak
bikinkan teh hangat?”
“Tak usah repot Mak, temani Hana disini saja. Saya juga
butuh kehadiran Emak dalam pembicaraan ini,” ujar Tantri seraya meraih tangan
Emak untuk kembali duduk.
“Dik Hana, Emak, kedatangan saya kesini…” Tantri memulai
pembicaraan. Senyumnya masih mengembang. Namun wajahnya kian memucat. Mata itu
menjadi redup, seperti lampu kehabisan minyak. Ada bongkahan kaca yang siap meleleh di
sudut-sudutnya. Inikah luka? Hana menggigit bibirnya.
“Saya memang menyetujui Mas Irfan menikah lagi. Tapi entah
mengapa, tiba-tiba saya gundah luar biasa ketika Bapak dan Ibu benar-benar
menawarkan rencana ini pada Dik Hana. Saya….”
Bongkahan kaca di mata Tantri meleleh kini. Menciptakan
alur-alur sungai kecil yang kian menderas. Hana memejamkan mata. Ada perih menyelinapi
relung hatinya. Ketakutannya menjelma nyata. Tawaran itu melukai Tantri.
“Maafkan saya Dik Hana. Sebenarnya saya malu dengan diri
saya sendiri . Saya ini mandul, bahkan sebentar lagi rahim saya diangkat karena
kanker, tapi masih saja egois. Saya belum bisa ikhlas merelakan satu sisi hati
Mas Irfan diisi oleh yang lain. Padahal seharusnya, dengan keadaan saya ini, saya
bisa memberikan yang terbaik untuk Islam meski hanya dengan merelakan di madu.
Agar potensi dakwah Mas Irfan tak sia-sia dan keturunannya tak terputus. Tapi
kenyataannya? Huuu…huuuu…” suara Tantri diantara tangisnya. Hana masih diam.
“Namun selebihnya keputusan ditangan Adik, untuk menerima atau menolak. Saya
akan mencoba mengatasi perasaan saya… “
“Tapi Mbak, Hana tak akan melukai hati Mbak dengan
memiliki Mas Irfan. Dan Hana tak akan menerima tawaran itu tanpa keikhlasan
Mbak Tantri, ” potong Hana setelah mengumpulkan sekian banyak keberanian untuk
bicara.
“Maafkan saya, Dik. Tolong jangan bilang ke Mas Irfan
tentang keresahan saya ini. Saya malu. Biarkan saya berusaha mengatasi perasaan
saya perlahan-lahan. Insya Allah bisa.”
Hana terpekur. Tangis Tantri sedikit reda. Hanya sedu
sedannya yang masih terdengar. Emak mengambilkan teh hangat. Beberapa saat
ketiganya tenggelam dalam dialog hatinya masing-masing. Hujan menjelang reda
ketika Tantri berpamitan. Meninggalkan nyeri dalam dada Emak dan Hana.
Beban di kepala Hana terasa kian berat.
***
Minggu demi minggu berlalu. Hana belum juga memberikan
tanggapan atas tawaran keluarga Cipto. Hatinya kian gundah. Sejak kedatangan
Tantri di rumahnya pagi itu, Hana belum pernah sekalipun bertandang ke rumah
keluarga Cipto. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan kesana. Sebenarnya, tak
kurang-kurangnya Hana minta masukan tentang masalah ini pada orang-orang
terdekatnya. Beberapa kali dia berdiskusi dengan teman-teman kampusnya,
teman-teman pengajian juga gurunya pengajiannya.. Namun sampai detik ini belum
juga ia menemukan jawaban yang tepat. Istikharahnya juga belum membuatnya
mantab. Untuk menerima atau menolak. Seperti menelan biji simalakama.
Ditelan Tantri mati, tak ditelan Bapak-Ibu asuhnya yang mati.
“Belum tidur, Nduk?”
Hana tergeragap. Emak menyentuh pundaknya lembut. Hana
hanya menjawab dengan gelengan. Diliriknya jam dinding. 12.30 malam. Hm,
berarti sudah tiga jam paper yang dikerjakannya tak juga selesai.
Konsentrasinya benar-benar terpecah. Nilai kuisnya saja kemarin jeblok. Duh!
“Jangan terlalu dipikirkan, lihat badanmu jadi kurus. Ikut
kata hatimu saja. Insya Allah keluarga Cipto akan menerima apapun keputusanmu.
Daripada malah seperti menghindar begini,” kata Emak sambil duduk di hadapan
Hana. Kedua adiknya sudah terlelap.
Hana mencoba untuk tersenyum tapi yang terbentuk justru
bukan senyuman. Bulir-bulir airmata berdesakan disudut matanya. Menangis. Ah,
kenapa aku jadi cengeng begini? Pikir Hana kesal pada dirinya sendiri. Sejak
tawaran itu dilontarkan padanya, Hana jadi sering menangis. Dulu ketika harus
membantu Emak berjualan di pasar, tidak makan dua hari karena tak ada yang di
makan, Hana tak pernah mengeluh apalagi menangis. Tapi masalah ini, benar-benar
terasa membebaninya.
“Allah tak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan kita,
Nduk. Bersabarlah, pertolongan Allah itu dekat…”
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan menghentikan kata-kata Emak. Mereka berpaling
kearah pintu. Hana kembali melirik jam dinding. Siapa jam segini bertamu?
Malingkah? Mereka terdiam beberapa saat. Ketakutan.
“Assalamu’alaikum…” sebuah suara kini mengiringi
ketukan. Hana mengeryit. Sepertinya dia familiar dengan suara itu. Emak
juga memberikan isyarat pada Hana demikian. Setelah mengumpulkan keberanian, mereka
beranjak membukakan pintu.
Seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu.
Kegelisahan tergambar jelas di matanya. Dokter Irfan. Ada apa malam-malam begini datang bertamu?
Jantung Hana berloncatan kesana-kemari.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…” jawab Emak dan Hana bersamaan setelah
sesaat terbengong-bengong dengan tamunya.
“Silakan masuk, Dokter. Ada apa kok tumben malam-malam?” Emak
mempersilakan tamunya masuk. Hana mengikuti di belakang Emak.
“Maaf Emak dan Dik Hana, malam-malam bertamu. Ada kabar yang ingin saya
sampaikan. Tentang Dik Tantri…”
Deg! Jantung Hana semakin keras berlompatan. Ada apa dengan Mbak
Tantri?
“Kenapa Ning Tantri, Den ?”
“Sebenarnya sudah seminggu ini Dik Tantri opname di rumah
sakit…”
“Opname? Kenapa Mbak Tantri Mas?” potong Hana tak sabar.
Kekhawatiran membayang di wajahnya.
“Karena sakit Dik Tantri semakin hari semakin parah, tadi
siang operasi pengangkatan rahim di jalankan. Tapi… operasi itu kurang berjalan
mulus. Menjelang maghrib Dik Tantri menghadap Rabb-Nya. “ suara Dokter Irfan
basah.
“Innalillahi wa inna illaihi rojiun…” Hana memegang tangan
Emak erat. Seluruh kepiluan serasa mengaliri darahnya.
“Selain mengabarkan hal tersebut, saya menyampaikan surat wasiat yang ditulis
Dik Tantri buat Dik Hana. Maaf, saya mohon pamit dulu. Ada beberapa keluarga yang mesti dikabari.
Assalamu’alaikum…”
“Wa’aalaikumsalam…”
Hana dan Emak mengantar Dokter Irfan sampai mobilnya hilang
di kegelapan malam. Diam-diam Hana terisak. Seribu jarum menghujami ulu hatinya
mendengar kepulangan Tantri menghadap Rabb-Nya.
Tangannya masih gemetar ketika membuka surat wasiat dari Tantri. Tulisan rapi Tantri
menyembul dari balik lipatan.
Assalamu’alaikum,
Dik Hana yang di cintai Allah,
Ketika surat
ini sampai di tanganmu, mungkin Mbak telah pergi jauh. Pergi ke tempat yang
indah. Insya Allah.Sepulang dari rumah Dik Hana sekian waktu yang lalu, tak
henti-hentinya Mbak merenung. Di ujung renungan panjang itu, mbak merasa sangat
malu. Betapa egoisnya Mbak? Betapa tak tahu dirinya? Namun, bagaimanapun Mbak
hanya manusia biasa yang tak luput dari kekurangan, bukan malaikat. Untuk itu
Dik Hana, melalui surat
ini, Mbak ingin menebus rasa malu Mbak di hadapan Allah, ‘Mbak bermaksud
meminangmu untuk mendampingi Mas Irfan. Insya Allah, Mas Irfan laki-laki yang
shalih.’ Mbak percaya dengan pernikahan kalian, potensi dakwah Mas Irfan tak
sia-sia dan akan lahir mujahid-mujahid sejati penerus perjuangan. Insya Allah.
Mohon dipikirkan dengan hati yang bening pinangan kedua ini ya Dik, maafkan
kalau surat ini
kurang berkenan di hati adik.
Wassalam,
Tantri
Hana melipat surat
perlahan. Emak menggenggam tangannya erat. Wajah teduh Tantri melintas-lintas.
Seolah sedang berlarian ditaman-taman yang indah mewangi. Diantara desir angin
malam kota Malang
yang dingin, Hana merasa tangan-tangan perkasa Allah mengangkat beban di
kepalanya.
Wassalamu'alaikum Wr Wb
Baca Juga cerita-cerita lainnya:
Perempuan yang dicintai suamiku
Ayahku dimana?
Tentang Mika
Pernikahanku
No comments:
Post a Comment