ANDA PENGUNJUNG KE




Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Benarkah Tak Dicintai? (PoV Sarah dalam Pernikahan Terjebak Umur Bagian 2)

Namaku Sarah. Umurku tak lagi muda. Namun aku juga belum terlalu tua. Ini kisahku. Jangan di judge ya. Mungkin untuk kalian yang sudah tahu ceritanya (Pernikahan Terjebak Umur bagian 1), akan mengatakan aku ini perempuan bodoh. Tapi apapun pendapat kalian, aku sungguh menjalani hidupku hanya untuk kedua putriku. Sudah, itu saja. 

Aku menikahi laki-laki mapan yang suksesnya minta ampun. Uang baginya hanyalah potongan-potongan kertas yang kalau habis bisa Ia panen lagi, kemudian potong-potong sesuai ukuran nominalnya. 
Bahagia? Ya tentu saja. Aku yang terlahir miskin, mendapatkan suami milyuner merupakan jackpot bagiku. Meski begitu, aku sama sekali tidak menikahinya karna harta. Bahkan kalaupun saat melamarku Ia miskin, mungkin aku akan tetap menerima lamarannya. 
Padahal aku tahu betul. Pada saat Ia melamarku dulu, dia sama sekali tidak mencintaiku. Dia mencari istri karna dikejar umur. Lebih tepatnya lagi, dikejar Ibunya. 
Aku yang memang sudah sejak muda menaruh hati padanya, tentu saja kaget saat Ia melamarku. Aku ini cuma karyawan rendahan. Tiba-tiba dilamar oleh owner perusahaan tempatku bekerja. Meski Ia tak cinta padaku, kupikir waktu akan menumbuhkan benih-benih itu. 
Aku yang terlalu yakin akan kebesaran Allah, sangat berharap bahwa suatu hari nanti, laki-laki yang kelak menjadi suamiku ini pasti akan mencintaiku. Dia tidak akan bisa hidup tanpaku. 
Namun apa daya, rupanya Allah mengujiku dengan itu. Tak sedikitpun rasa cinta itu hadir untukku bahkan setelah aku melahirkan dua putrinya. 

Plot twistnya lagi, dia malah mencintai perempuan lain. Bagai remaja kasmaran, dia sama sekali acuh padaku. 
Kalian tahu, apa yang membuatku bertahan untuk terus disampingnya padahal aku tahu dia tidak mencintaiku, dia mengacuhkanku, bahkan aku mengizinkannya menikahi perempuan selingkuhannya. 
Menurut kalian pasti karna hartanya yang berlimpah. 
Tentu saja bukan. Karna aku bisa saja menuntut terus dinafkahi sebagai jandanya. Baginya uang tak masalah asal dia bisa bersama perempuan itu. 

Apakah aku membenci mereka? Pertanyaan konyol. Memang siapa yang bisa lega hati menerima kenyataan bahwa dirinya dikhianati? Apakah ada yang sanggup untuk tidak membenci? Luar biasa jika ada. Tapi tentunya itu bukan aku. 
Bagi suamiku, aku adalah bidadari. Malaikat tak bersayap. Aku terlalu baik dimatanya. Tak pernah membantah, selalu menurut, jarang keluar rumah apalagi belanja. 
Aku adalah definisi istri idaman baginya. 
Lalu kenapa dia setega itu berkhianat? 
Ya karna cinta. Dia itu sejak muda tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Aku tahu betul hidupnya sejak masa kuliah dulu. Dia tak tahu saja kalau aku sudah mengenalnya sejak lama. Jauh sebelum aku masuk sebagai karyawan di perusahaannya.

Hari itu tepat setahun kami menikah. Aku senang bukan main karna sedang mengandung bayi kembar. Suamiku tentu saja bahagia. Walaupun seperti biasa dia hanya bersikap sekedarnya padaku. 
Mengimamiku saat sholat berjamaah di rumah, mencium keningku saat malam menjelang tidur dan saat berangkat ngantor, memelukku saat pulang dari kantor, dan membantu apapun sebisanya saat kumintai tolong. Yaaah kegiatannya hanya seperti itu saja setiap harinya. Keadaan berubah ketika kehamilanku mulai membesar. 

Ia mulai lebih memperhatikanku, lebih sering menelepon menanyakan keadaanku, dan lebih sering membawakanku hadiah yang menurutku hanya basa basi menyenangkanku. Karna beberapa hadiah yang dia berikan ada yang sama persis. Barang yang sudah pernah Ia berikan sebagai hadiah, seringkali Ia berikan lagi barang yang sama. 
Dari situlah aku tahu bahwa ternyata hadiah-hadiah itu Rozaklah yang mengaturnya. Rozak adalah tangan kanannya di perusahaan. Maklum, terlalu banyak yang Rozak urus. Wajar jika dia lupa barang apa saja yang sudah dia belikan untukku. 
Malam itu seperti biasa Ia pulang larut. Aku tak pernah bertanya apapun soal kegiatannya yang hampir selalu membuatnya pulang hingga tengah malam bahkan dini hari. 

"Tring" Suara pesan masuk di ponsel Mas Januar. Hampir aku melirik. Sedikit kepo siapa yang masih chat tengah malam begini. Tapi kuurungkan niatku melihat pesan itu. Seperti biasa Mas Januar selalu mandi sebelum beranjak tidur. Karna seharian aktifitas di luar, Ia merasa harus bersih-bersih ketika sampai rumah dan sebelum menengok ke kamar anak-anak. 
Tak pernah sekalipun aku menyentuh ponsel suamiku. Bukan karna terlalu percaya, tapi aku hanya ingin mejaga privasi masing-masing. Karna akupun punya privasi yang kadang tidak ingin diketahui siapapun termasuk orang terdekat.
tidak menutup kemungkinan jika kita sering ingin tahu urusan pasangan, maka pasangan kitapun begitu.
Kalian percaya gak, ada kalimat yang mengatakan seperti ini,
"Kita, adalah gambaran atau cerminan diri dari pasangan kita sendiri"
Paham kan apa artinya. Sedikit banyak yang kupahami dari arti kalimat itu adalah,
sikap dan perilaku pasangan kita, ternyata 90% mirip dengan diri kita sendiri.
Bagaimana kamu bersikap kepada pasanganmu, maka diapun akan bersikap yang sama terhadapmu.

Supaya gak terlalu plot twist, karna jujur aku gak suka kejutan. Jadi aku kasih bocoran aja kisah hidup yang kuceritakan ini. Intinya adalah paragraf yang diatas.

Suatu siang aku terpaksa harus menitipkan anak-anak dirumah kerabatku. Karna mendengar kabar duka dari salah seorang teman lamaku kalau teman kami yang lain, meninggal dunia. Aku harus takziah menghadiri pemakamannya. Karna walau sudah lama kami tidak pernah bertemu dan jarang menyapa satu sama lain, aku ingat pernah dekat dengannya saat sekolah dulu.
Irma namanya. Irma adalah sosok perempuan mandiri yang sejak kami sekolah, sangat menginspirasiku. Kami dekat karna aku kagum padanya.
Ia sama sepertiku yang hidup tidak berkecukupan. Ayahnya seorang buruh tani yang mengolah sawah milik orang didesanya.
Hebatnya, Irma sama sekali tak malu dengan keadaannya. Berbeda denganku yang setiap kali teman-temanku ingin datang main ke rumahku, seringkali kutolak. Karna aku malu mempertontonkan gubug dan keluargaku yang miskin.

Tapi Irma berbeda. Ia malah dengan senang hati mempersilahkan kami bermain ke rumahnya yang sangaaat sederhana. Bahkan tidak ada kursi di dalamnya. Apalagi televisi. Rumahnya besar dan luas. Namun terkesan kumuh karna dinding-dindingnya hanya ditutupi papan kayu tak beraturan bahkan ada beberapa celah dan lubang disana. 

Saat liburan sekolah, kami ingin sekali jalan-jalan keluar kota. Tapi karna bingung mau ke mana, salah seorang teman kami bernama Nada tiba-tiba nyeletuk. 
"Eh Ir, bukan rumah bonyok (Bokap Nyokap. Sebutan orgtua bagi anak2 jaman 90'an) lu ada di daerah pegunungan gitu ya? Gunung apa namanya, daerah jawa barat gitu. Dekat lho kalo kita naik kereta. Gimana kalo kita liburan di rumah Irma aja?"
Irma dengan sangat antusias mengiyakan. Aku takjub padanya. Saat itu aku belum tahu keadaan rumah Irma. Singkatnya kami bertujuh saat itu, akhirnya pergi berlibur ke desa tempat tinggal orangtua Irma. Dengan segala kesederhanaan disana, akhirnya setelah sehari kamipun mulai terbiasa.

Tidur beralas tikar tebal yang dibawahnya bahkan bukan lantai keramik melainkan tanah padat. Awalnya tentu saja beberapa dari kami tidak betah dan ingin segera pulang ke Jakarta. Namun Aisyah yang memang teman kami si paling bijak membujuk kami untuk menikmati dulu setidaknya satu malam. Dia bilang, kami pasti akan suka dengan suasana pedesaan ini.
Tentu saja mau tidak mau kami setuju. Karna tidak mungkin baru sampai sudah tiba-tiba pamit pulang.

Tak disangka ternyata memang seseru itu berlibur di alam pedesaan. Meski rumahnya terkesan tidak nyaman, ternyata itu hanya awalnya saja. Syukurnya, toilet di rumah itu terbilang bangunan paling normal semenjak kami menginjakan kaki di pedesaan itu. Karna ternyata Ayah Irma sengaja membangun toilet sama seperti di kota. Demi membuat Irma betah ketika sedang pulang.

Pagi-pagi sekali kami bangun, suasana desa yang sangat hijau membuat sekeliling dipenuhi kabut. Dingin menjalar ke sekujur tubuhku. Untungnya memang sejak awal Irma sudah memperingati kami untuk membawa pakaian tebal. Sejak hari itu, kami mengenal Irma dan keluarganya lebih dekat. Ternyata sejak awal sebetulnya Irma ragu menyetujui rencana liburan ini. Ia tidak mau ambil resiko kehilangan teman-teman dekatnya karna keadaan keluarganya yang serba kekurangan menurut orang. Karna menurut Irma, hanya gaya hidupnya saja yang terlihat kekurangan. Padahal selama ini, apapun kebutuhan Irma, keluarganya selalu mampu mengadakannya.
Misalnya saat Irma ingin sekolah di Jakarta, dengan uang hasil penjualan sawah, Irma bisa berangkat dan sekolah di Jakarta. Meski akhirnya Ayahnya jadi harus mengelola sawah orang lain untuk memenuhi kebutuhan harian.

Tapi Irma memanglah anak yang luar biasa. Ia tetap bangga memiliki kedua orangtuanya. Dia tidak minder dan justru percaya diri dengan kemampuannya. Karna nilai-nilainya di sekolah termasuk yang tiga teratas. Selain itu Ia cantik. Cantik khas desa. Alami tanpa makeup. Aku iri bukan karna dirinya, aku iri karna sifatnya yang mampu menutupi segala kekurangannya dengan hal-hal istimewa yang lebih Ia tonjolkan. Dari Irmalah aku mulai belajar lebih percaya diri dan menerima keadaan keluargaku yang sebenarnya juga kekurangan.

Kini Irma teman lamaku itu telah tiada. Ia dipanggil begitu cepat menyusul kedua orangtuanya yang tiga tahun lalu juga telah berpulang bergantian. Ayahnya meninggal karna kecelakaan, tak lama kemudian Ibunya menyusul karna sakit yang tak terobati. Yang kudengar Ibu Irma begitu depresi kehilangan suaminya. Sehingga Ia jatuh sakit dan menyebabkannya meninggal dunia.

Dan yang mengejutkanku adalah. Irma belum sempat menikah. Umurnya yang tak lagi muda, tidak menghalanginya untuk terus berkarya. Ia memiliki usaha kecil yang terbilang sukses. Jadi yah tidak bisa dibilang usaha kecil juga. Kini yang menjalankan usahanya tidak ada. Ia tidak punya penerus. Karna memang belum menikah. Selain itu Ia juga tidak memiliki saudara dekat. Akhirnya yang mengurus pemakaman Irma adalah sekretaris kepercayaannya. Bagas namanya. Yang ternyata Bagas teman sekolah kami juga dulu.

Ternyata ketika Irma sukses, Tak sengaja Bagas melamar pekerjaan di pabrik milik Irma. Karna Irma tahu kemampuan Bagas dan kecerdasannya, maka Ia langsung dijadikan tangan kanannya. Lebih dari itu, Bagas adalah sosok pria dewasa yang sejak kami sekolah memang sudah terkenal bijaksana meski masih muda. Itulah yang membuat Irma tak ragu mempercayakan segalanya pada Bagas.

"Gue gak nyangka ternyata elu Gas yang ngurus Irma selama ini. Beberapa waktu lalu sempat dia chat gue. Tapi gak bahas apa-apa cuma tanya kabar dan kayanya dia mau kita reuni deh. Tapi karna kita masing-masing sibuk. Yah belum sempat sampai hari ini. Bahkan bahas aja belum. Gimana ceritanya Irma bisa meninggal Gas? Apa dia sakit?" Tanyaku pada Bagas saat pemakaman telah selesai.

"Irma tiba-tiba kejang, demam tinggi. Entah apa sakitnya. Karna saat gue bawa ke IGD. Gak lama perawat teriak panggil dokter dan mereka pakai alat kejut jantung gitu. Ternyata saat dalam perjalanan  Irma udah gak ada. Katanya serangan jantung mendadak. Padahal sebelumnya dia sehat-sehat aja". Jawab Bagas menjelaskan.

Kemudian kami berbincang-bincang tentang perusahaan Irma yang mau tidak mau harus tetap Bagas urus. Karna ada ratusan karyawan yang bergantung di perusahaan itu. Bukan karna kepo mau tahu urusan orang. Tapi aku memang berniat ingin membuka usaha sendiri dengan uang yang kukumpulkan dari jatah bulanan yang diberikan oleh Mas Januar. Sejak saat itu aku mulai belajar bisnis melalui Bagas. Ia banyak membantu. Bahkan akhirnya aku investasi sedikit ke perusahaan Irma yang dikelola Bagas. Sehingga aku tidak canggung ketika butuh bantuannya untuk perusahaanku sendiri. Karna aku punya saham dipabriknya.

Waktu berjalan sangat cepat. Aku lupa bagaimana kejadiannya sampai akhirnya aku tahu kenyataan pahit. Mas Januar selingkuh dengan rekan bisnisnya. Sebetulnya aku curiga sudah sejak lama. Namun selalu kutepis kecurigaan itu karna kupikir Mas Januar adalah pria sholeh yang pastinya menjauhi hal-hal buruk terlebih lagi zinah. Namun pada akhirnya, kecurigaan itu sudah bukan lagi menjadi bentuk curiga. Faktanya terpampang jelas dihadapanku. 

Tanpa sengaja aku melihat notifikasi chat diponsel Mas Januar yang tergeletak dimeja TV. Aku tidak membukanya, hanya saja chat itu tetap terbaca dari layar kunci. Tentu sakit bukan main. Namun aku tidak terkejut. Karna aku tahu sejak dulu perasaan Mas Januar padaku. Yang membuatku terkejut adalah pada akhirnya diumurnya yang setua ini, Ia baru menemukan cintanya. Ternyata selama ini aku hanyalah hiasan baginya. Disetiap acara. Baik acara keluarga maupun acara perusahaan. Aku hanya hiasan bernama istri. Sedih bukan main, hancur berkeping hatiku. Namun aku tetap berusaha menata hati ini untuk tetap diam. Kuputuskan untuk berpura-pura tidak tahu.

Sesungguhnya aku senang ketika dia menemukan kebahagiaannya meski bukan denganku. Tapi, aku sungguh bingung apa yang harus kulakukan? Mengalah mundur dan membiarkannya menikahi gadis itu, atau berjuang mempertahankan rumah tangga ini? Bahagianya adalah bahagiaku juga. Bagaimana tanggapan anak-anak jika kami berpisah. Akankah mereka mengerti.

Akhirnya kuputuskan untuk diam saja. Jika diapun hanya akan menjalaninya seperti ini, maka kuikuti saja sekehendaknya. Tapi akhirnya, suatu hari dia tiba-tiba ingin berbicara serius denganku. Tidak pernah kulihat wajah seserius itu selama pernikahan kami. Akupun menduga, dia pasti ingin membahas persoalannya dengan perempuan itu. Aku yakin dia akan menceraikanku dan lebih memilih perempuan itu. Karna aku menyadari betapa besar cintanya terhadap perempuan itu.

Aku menolak diceraikan. Kuputuskan untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini. Biarlah perempuan itu yang mengalah menjadi madu dalam rumah tangga ini. Sakit hatiku tak bisa digambarkan dengan apapun. Tapi kututup luka ini dengan ikut bahagia karna akhirnya dia menemukan cinta sejatinya. Akupun demikian. Cinta sejatiku hanya kamu dan aku tak akan menyerah.

Dia penasaran sekali. Bagaimana aku bisa mengetahui tentang Hana. Dari mana aku bisa tahu banyak tentang perempuan itu padahal dia menutupinya dengan sangat rapi. Kuceritakan yang terjadi. Bagaimana pada awalnya aku bisa mengetahui segalanya.

Malam itu kau pulang dengan penuh suka cita. Wajahmu sangat berseri. Kulihat kau sering tersenyum bahagia. Aku penasaran namun tak berani bertanya. Sejak saat itu kau lebih sering mencium keningku. Aku bahagia, kupikir akhirnya cinta itu tumbuh dihatimu Mas. Aku benar, ada cinta yang tumbuh dihatimu. Namun aku keliru, ternyata cinta itu bukan untukku. Suatu malam kamu tiba-tiba panik saat membaca pesan diposelmu. Kemudian pergi begitu saja mengambil jaket, kunci mobil dan buru-buru bergegas keluar tanpa pamit. Saat itu sudah sangat larut. Aku yang khawatir dan kebetulan saat itu juga belum tertidur, meminta mang Diman mengantarku untuk mengikutimu.

Kau berhenti di depan sebuah gerbang besar rumah mewah. Pemiliknya keluar, dan kalian berpelukan dengan sangat erat. Entah apa yang terjadi pada gadis yang kamu peluk saat itu. Tapi sepertinya sesuatu yang mengkhawatirkan. Melihat kejadian itu, walaupun hanya sekilas, aku paham. Aku tahu kau begitu mencintainya. Karna kamu bukan laki-laki yang mudah memeluk wanita mas. 

Sejak hari itu, aku mulai mencari tahu siapa gadis muda yang sangat cantik itu. Perlahan akhirnya aku tahu bahwa dia adalah clientmu di garmen. Dia rekanan bisnismu dan kalian sering sekali bertemu di luar urusan bisnis. Bahkan hampir setiap hari. Kalian seperti sedang dimabuk asmara. Sulit berpisah. Hingga harus bertemu setiap hari.

Hatiku hancur dan sakit. Namun disamping itu, aku senang melihat rona bahagia diwajah dan matamu. Kau terlihat begitu hidup. Berpuluh tahun kau hidup, sepertinya baru saat itu kau merasakan yang namanya cinta sesungguhnya. Aku bimbang dan tak tahu harus apa. Tapi kuputuskan untuk mempertahankan rumah tangga ini demi putri kembar kita. Mereka anak-anak perempuan yang akan selalu butuh sosok Ayahnya entah kini dan nanti. Meski mereka dewasa, anak perempuan akan selalu butuh Ayahnya.

Begitulah akhirnya aku menceritakan bagaimana aku tahu tentang hubungan terlarang mereka. Dia mendengarkan dengan raut wajah bingung. Wajahnya tertunduk pilu. Entah apa yang dia rasakan. Namun akhirnya dia menyetujui syaratku. Untuk menikahi perempuan itu, aku tak mau diceraikan. Yaah, akhirnya mereka menikah.

Tapi tahukah. Bahwa sebetulnya kemungkinan besar akupun menemukan laki-laki yang belakangan baru kuketahui kalau ternyata dia selama ini sangat mencintaiku. Aku enggan berselingkuh. Sangat tidak ingin. Tapi kejadiannya begitu cepat dan tanpa kusadari. 

Iya, laki-laki itu adalah Bagas. Teman masa sekolahku dulu. Dia yang mengurus perusahaan Irma dan pemakamannya dulu. Awal kami bertemu kembali setelah sekian lama lulus sekolah. Aku sama sekali tidak ada kepikiran macam-macam padanya awalnya. Saat itu aku betul-betul ingin belajar berbisnis melaluinya. Pertemuan-pertemuan kami yang akhirnya sering dan intens membuatku menyadari perbedaan sikap Bagas padaku. Sebagai seorang teman lama dan rekan bisnis, dia terlalu perhatian padaku. Mas Januar yang tak pernah sekalipun mengirim chat perihal menanyakan makanku, tiba-tiba Bagas melakukan itu. Dia sering sekali chat hanya untuk menanyakan kabar dan makanku. Dia bilang, setiap kali kita bertemu, aku jarang sekali mau diajak makan. Padahal kami bertemu bisa seharian. Aku kuat untuk menolak makan sedangkan dia baru setengah hari saja sudah kumat asam lambung. Dari situ dia mulai memperhatikanku. Dia bilang aku aneh. Perempuan yang jarang makan apalagi ngemil, hanya aku katanya. Hahah, lucu sekali saat membahas itu dulu.

Suatu hari, hujan turun dengan derasnya. Aku tiba-tiba berdiri didepan pintu rumah Bagas. Kebetulan Bagas hanya tinggal sendiri di kota ini. Karna keluarganya ada di Jogja. Demi mengurus perusahaan Irma Ia tinggal di kota ini. Aku yang basah kuyup, dengan wajah pilu dan berderai air mata yang walaupun air hujan menyamarkan air mataku, tetap saja semburat merah wajah menangisku tak bisa disembunyikan. Bagas menarikku masuk ke dalam rumahnya dan mengambilkan handuk. Dia memebuatkanku teh hangat dan menyuruhku berganti pakaian di toilet. Dia ambilkan piyama miliknya. Tentu saja kebesaran. Tapi itu jauh lebih baik daripada aku basah kuyup.

Setelah berganti pakaian, aku duduk di sofa besar ruang TV. Sambil menyeruput teh hangat, kami menonton bersama. Terdiam tanpa kata. Tak satupun kalimat yang terlontar dari mulutku dan tak satu katapun pertanyaan terdengar dari mulut Bagas. Dia tetap memilih diam. Aku bingung mau bagaimana. Kenapa aku ke sini. Bagaspun pasti bingung. Sampai akhirnya dia menyadari kecanggunganku dan membuka pembicaraan.

"Maaf Sar, terus terang gue bingung mau nanya atau nggak. Kenapa loe ke sini tengah malam hujan deras dengan keadaan begini. Gue gak akan nanya lebih jauh sampai loe sendiri yang siap cerita. Gue siap kapan aja jadi pendengar dan janji gak akan judge apapun yang terjadi dengan keadaan loe. Jadi loe santai aja di sini sampai tenang. Kalo udah mau pulang, info aja. Pasti gue antar."

Bagas betul-betul mengerti. Ia sama sekali tak menunjukkan rasa ingin tahunya walau aku tahu dia penasaran. Dia ingin membuatku nyaman tanpa harus menceritakan apapun. Tapi, aku yang sedang kalut, sedih dan kecewa, sejujurnya justru butuh didengarkan. Pada akhirnya kuceritakan semua yang terjadi pada Bagas. Bagaimana tadi, aku menemukan suamiku memeluk perempuan lain di rumah mewah yang entah rumah siapa itu. Apakah rumah perempuan itu, atau rumah suamiku yang dia beli untuk perempuan itu. Kuceritakan semuanya pada Bagas sambil tersedu, menangis keras tanpa peduli bising yang kubuat akan mengganggu tetangga. Untungnya rumah Bagas cukup besar dan luas. Sehingga aku yakin suara tangisku tak akan terdengar sampai ke tetangga.

Bagas menenangkanku. Ia menepati janjinya untuk tidak banyak berkomentar dan hanya mendengarkan. Aku tahu dia ingin memelukku untuk menenangkanku. Namun enggan dia lakukan karna mungkin dia menjaga jarak yang memang sudah seharusnya. Bagaimanapun, kami sudah memiliki keluarga masing-masing. Tidak boleh ada apapun diantara kami.

Tapi rupanya, tembok yang kami bangunpun runtuh. Tak bertahan lama. Terlalu seringnya aku menangisi rumah tanggaku dihadapan Bagas, membuatnya pada akhirnya memberanikan diri mendekapku. Anehnya saat itu aku tak bisa menepisnya dan malah merasa nyaman. Sungguh bodohnya aku. Hubungan terlarang itupun dimulai. Bagas membuat hariku damai dan menutupi dukaku akan kenyataan pahit bahwa aku dimadu. Kami lebih intens bertemu. 

Mas Januar yang memang lebih sering di rumah perempuan itu, tentunya tidak menyadari kalau aku lebih sering di luar rumah. Kalaupun dia tahu aku keluar, itu tidak mengapa baginya. Karna yang Ia tahu, aku masihlah istri berhati bidadari baginya. Dia tak tahu bahwa bidadarinya ini kini sedang kasmaran dengan pria lain. Disatu waktu aku merasa ini salah, ini hal buruk yang harus aku akhiri. Tapi diwaktu yang lain, aku merasa tidak bersalah karna aku adalah cerminan suamiku. Mungkin inilah kemiripan antara aku dan Mas Januar. Akhirnya kami sama-sama menemukan kebahagiaan kami masing-masing.

Namun sayang, tidak semudah itu bagiku. Jika Mas Januar dengan enteng dan tanpa masalah bisa menikahi kekasih hatinya itu. Berbeda denganku yang tidak bisa berharap lebih dari Bagas. Karna Ia masih memiliki istri dan 3 orang anak yang saat ini masih Ia pertahankan. Aku tak pernah berani bertanya tentang hatinya. Biarlah saat ini begini saja. Aku takut kalau pada akhirnya Bagas lebih memilih istrinya. Itu artinya, tak ada satupun yang mencintaiku. Baik suamiku, maupun kekasihku.

Tolong biarkan keegoisan ini berjalan dulu untuk sementara. Aku masih ingin bahagia dengan Bagas. Perhatiannya, Kasih sayangnya dan segala yang Bagas berikan padaku. Aku tidak ingin kehilangan itu semua. Walaupun mungkin orang-orang akan berpikir bahwa Bagas bisa saja hanya iseng denganku. Itu tak mengapa. Saat ini aku membutuhkannya disisiku. 







Tag:



No comments:

Cerita Terpopuler

Cari Cerita

Apa yang kamu cari? Temukan disini

\
\