Pengantin Cilik Bab 23 (Tamat)
Dalam kisah "Menikahi ipar"
Cerita sebelumnya:
Bab 22 "Akhirnya terungkap 2"
Bab 21 "Akhirnya terungkap"
Bab 20 "Rahasia Besar 2"
Bab 19 "Menceritakan yang sebenarnya 2"
Bab 18 "Menceritakan yang sebenarnya"
Awalnya aku sedih. Begitu menyedihkan ketika mengetahui bahwa mereka yang kusayang ternyata bertujuan menukar nyawaku. Namun, aku selalu menanamkan dalam kepalaku kalau mereka kini telah berubah dan berupaya mencari tahu bagaimana caranya menyelamatkanku dari kutukan itu.
Tapi tahukah. Bahwa aku seujung kukupun tidak percaya dengan semua hal tentang kutukan itu. Aku yakin 100% kematian orang-orang itu hanyalah kebetulan yang terjadi karna apa yang sudah tertanam dipikiran mereka. Andai kita mencari tahu kematian banyak orang lain diluar sana, aku yakin akan banyak sekali keterikatan dan kebetulan-kebetulan yang terjadi.
Aku ini terpelajar, aku lebih percaya Allah dan sience ketimbang kutukan-kutukan, mitos, tumbal, dukun, dan hal-hal klenik seperti itu. Namun aku yang masih umur segini dan tidak punya kekuatan untuk melawan keyakinan orangtua, mana bisa memaksakan pemahamanku bahwa kutukan itu tidaklah ada. Bukankah keluargaku ini orang beriman? Mereka sholeh sholeha, selalu ibadah tepat waktu. Tak pernah meninggalkan syariat. Apapun yang kami lakukan karna Allah.
Tapi kenapa mereka meyakini hal-hal yang diluar kehendakNya? Allah tidak mungkin berkehendak melampaui batas kesanggupan umatnya kan. Bagaimana caranya meyakinkan mereka bahwa aku, kakak, dan Pia akan baik-baik saja.
Karna setelah kejadian itu, aku mencari tahu tentang kematian saudara-saudara perempuan kami, Kemudian kudapati bahwa mereka semua meninggal karna memang sudah ajalnya. Contohnya saudara perempuan Ayah yang meninggal pertama kali. Ia kecelakaan, murni kecelakaan karna keteledorannya sendiri yang berkendara ketika hujan badai.
Kemudian yang sakit hingga tak terobati. Itu karna pada saat itu teknologi belum secanggih sekarang. Sakit diabetes yang menggerogotinya, membuat beberapa bagian tubuhnya membusuk hingga mengeluarkan bau tak sedap. Itu memang penyakit yang seharusnya mereka bawa ke Rumah Sakit. Bukannya memaksakan diri di rawat di rumah. Setidaknya kalaupun pengobata belum canggih, namun di Rumah Sakit bisa meminimalkan pembusukan. Tapi mereka lebih percaya itu kutukan.
Kemudian yang bunuh diri. Meski aku belum mendapatkan faktanya. Tapi aku yakin itu semua karna mentalnya yang lemah menghadapi hidupnya. Tidak ada hal klenik yang menuntunnya bunuh diri seperti kata orang. Atau jangan-jangan Ia justru malam mendengar soal mitos kutukan itu dan malah jadi depresi sendiri, Bisa jadi dia takut akan tewas secara tragis sehingga Ia lebih memilih bunuh diri. Aku yakin itu.
Pada akhirnya, satu-satunya cara untuk meyakinkan mereka bahwa kami bertiga akan baik-baik saja adalah aku tidak akan pergi dari desa ini. Aku akan baik-baik saja di sini. Sekolah yang kuimpikan akan kukubur dalam-dalam. Akan kutunjukkan bahwa semua yang sudah terjadi adalah kehendak Allah, bukan kutukan leluhurku.
Mereka harus dibukakan mata hatinya dari hal-hal sihir yang jelek ini. Bagaimanapun caranya. Akhirnya akupun menjalani kehidupanku seperti biasanya. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah waktunya Kakak melahirkan. Akupun sangat menantikan keponakanku ini. Kami tak satupun yang mengetahui perihal jenis kelamin Bayi kakak. Mereka sengaja tidak memeriksakan jenis kelamin karna memang Kakak tidak pernah pergi keluar desa untuk periksakan kehamilannya. Sejauh ini hanya Mbo Mijahlah yang sering datang memeriksa keadaan Kakak.
Mbo Mijah seperti Bidan di desa ini. Meski tidak dengan latar belakang pendidikan medis modern, Ia terampil sekali dalam membantu persalinan. Hampir 100% kelahiran di desa ini ditangani oleh Mbo Mijah secara normal. Kami tidak mengenal yang namanya SC atau jenis persalinan modern lainnya. Meskipun di desa ini ada jaringan internet, mereka jarang sekali menggunakannya. Hanya para pelajar seperti aku, perangkat desa dan orang-orang penting di desa ini yang menggunakan gadget.
Entah kenapa mereka kompak sekali setelah menjadi istri dan Ibu bahkan yang laki-lakinya hanya bertani atau berkebun. Tak lagi menggunakan ponsel sama sekali. Desa ini memang unik. Aku menyukai kealamian penduduknya, tanahnya dan orang-orangnya yang walaupun hobi ghibah, tapi sering sekali saling membantu.
Awalnya aku ingin sekali menjadikan desa ini desa yang modern mengikuti perkembangan zaman. Namun seiring berjalannya waktu, aku malah hampir ingin melestarikan desa ini sebagai desa alami tanpa gadget. Tapi aku tetap ingin ada pengobatan medis secara modern di desa ini. Karna itu memang dibutuhkan. Untuk itulah aku berkeras ingin menjadi Dokter dan kembali ke desa ini jika sudah kuselesaikan sekolah kedokteranku.
Tapi karna kenyataan yang belakangan ini terkuak, aku jadi ingin mematahkan stigma leluhurku yang mengatakan bahwa kutukan itu ada hingga sekarang. Aku akan buktikan bahwa semua itu hanya kebetulan. Tapi takdir seperti sedang mempermainkanku. Aku shock, trauma, dan merinding sejadi-jadinya.
Kakakku tewas. Iya, akhirnya yang ditakutkan keluarga terjadi. Kak Lani tewas dengan mengenaskan. Apa ini Tuhan? Apa yang sedang terjadi? Aku yang berniat membuktikan, malah aku yang mendapat bukti bahwa semua itu nyata. Kutukan itu ada. Bagai petir menyambar kepalaku. Kami semua berduka. Kami semua muram dan ketakutan.
Satu bulan setelah Kakak melahirkan bayi perempuan, Ia masih menjalani hidup dengan biasa. Namun hari itu, hari dimana Kakak pergi dan berhari-hari tak kembali. Tiba-tiba Ia kembali dalam keadaan telah menjadi jenazah. Pucat pasi seperti mayat hidup wajahku saat melihatnya. Ini terlalu mengerikan. Aku benci. Kenapa semua jadi begini? Kenapa?
Saat Kakak melahirkan, kami senang bukan main. Bayi yang sangat cantik. Kakak dan Kak Jaka memberinya nama Miriam. Ia seputih salju dengan pipi merona merah. Sangat cantik. Kami bersuka cita menyambut kehadiran keluarga baru kami. Saat itu, kami sudah sama sekali tidak ingin memikirkan tentang kutukan-kutukan sialan itu.
Namun tiba-tiba, sebulan setelah Miriam lahir, di pagi buta Kakak menghilang dari rumah. Miriam yang menangis membutuhkan asi terus menangis sejadi-jadinya. Agar Ia bisa lebih tenang, akhirnya aku ke mini market membelikannya susu formula.Namun Miriam tetap menangis mencari Ibunya. Karna tak seharipun Ia lepas dari dekapan Ibunya. Mungkin Ia merasa tak nyaman tanpa kehadirannya.
Kami semua bingung mencari Kakak. Berhari-hari kami telusuri kira-kira ke mana Kakak pergi. Dihari ke-5, tampak banyak orang berkumpul dibalik bukit yang pepohonannya cukup rindang. Disana ada aliran sungai yang cukup jernih dan mengalir tidak terlalu deras namun cukup cepat. Tubuh Kakak ditemukan oleh salah seorang petani yang kebetulan lewat untuk memetik daun teh.
Gaun putihnya yang melekat ditubuhnya melambai diterpa aliran sungai. Sekujur tubuh kakak bengkak dan membiru. Dimana-mana terlihat lebam yang menurutku tidak wajar. Ia seperti habis disiksa. Namun Ibu dan keluarga besar yang lain tidak ingin melapor ke polisi yang tentu saja itu akan membuat rumit keadaan. Terlebih lagi mereka masih tetap percaya dengan keyakinan kutukan sialan itu.
Padahal jelas-jelas umur Kakak sudah bukan 20 tahun. Namun mereka yakin, Kakak dibiarkan hidup untuk melahirkan Miriam, mereka sangat yakin Miriam dan Pia akan bernasib sama. Aku melihat Pia gemetar hebat dengan wajah pucat ketakutan teramat sangat. Umurnya baru 15 tahun. Dia merasa hanya punya kesempatan hidup lima tahun lagi.
Oh Tuhan sial sekali dia mempercayai hal itu. Aku marah kepada semua keluargaku. Akhirnya kuutarakan bahwa aku sama sekali tidak percaya hal klenik semacam itu dijaman sekarang. Hal ini terjadi karna kebetulan dan pikiran-pikiran buruk yang tertanam dikepala mereka. Bukankah Tuhan sesuai prasangka hambaNya? Bukankah itu artinya kita harus berpikiran positif dan menjauhkan hal-hal berbau klenik seperti itu jika ingin hidup tenang?
Aku semakin ingin lari dari keluarga ini. Tapi tahu apa yang terjadi kemudian? Inilah akhirnya kenapa aku menjadi pengantin cilik. Demi menyelamatkan Miriam. Keluargaku memaksa kami menikah. Iya, aku dan iparku Kak Jaka. Tentu saja awalnya aku tidak setuju sama sekali. Aku merasa seperti mengkhianati Kakak. Namun, Ayah membujukku. Beliau bilang, ini demi Miriam dan almarhumah Kakak. Setelah kami menikah, kami harus keluar dari desa ini secepatnya. Pergi ke kota besar dan memulai hidup baru sebagai keluarga.
Iya, memang benar ada rasa sedikit bahagia karna akhirnya aku jadi istri Ustadz Jaka. Laki-laki yang kuidamkan selama ini. Meski umurku masih belia. Awalnya Kak Jakapun menolak dinikahkan denganku yang masih berumur 16 tahun. Namun, akhirnya Ia setuju demi Miriam agar kelak Ia tidak perlu hidup tanpa memiliki Ibu.
Akhirnya kamipun menikah. Tanpa buang waktu lagi, sehari setelah pernikahan, kami pindah ke Jakarta. Ke kota besar yang katanya semua serba modern. Ya, menurutku ini pilihan tepat untuk membentuk pikiran-pikiran positif dan membuang segala hal negatif seperti kutukan, klenik, mitos dan hal-hal ghoib jahat lainnya.
Awalnya berat sekali hidup di kota besar yang aku sama sekali tidak mengenal orang-orangnya. Ternyata sangat sulit. Wajahku yang terlalu muda, membuat mereka berfikiran buruk tentangku. Entahlah apa yang dipikiran Kak Jaka, setauku Ia sangat mencintai almarhumah istrinya dan sama sekali tidak ada hati untukku.
Mungkin karna hal itulah akhirnya Ia memutuskan bekerja di negri orang. Seminggu setelah kepindahan kami ke Jakarta, ternyata Ia mendaftarkan diri menjadi TKI di Malaysia. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan restoran. Usaha yang Ia bangun di desa sejak muda, telah bangkrut sepeninggal Kak Lani. Karna Ia sempat depresi dan tidak mengurus pabriknya. Akhirnya tak lama kemudian pabrik tutup.
Aku menyayangkan. Kenapa kami dinikahkan ketika saat itu Kak Jaka masih terlihat depresi. Ia tak berfikir jernih. Aku yakin Ia menyetujuinya hanya karna terus didesak keluarga dan mungkin Ia lelah. Sehingga mau tak mau Iapun setuju menikahiku yang masih belia.
Begitulah mengapa aku disebut sebagai pengantin cilik. Karna aku memang masih cukup kecil untuk menjalani sebuah pernikahan.
Sampai detik ini aku masih penasaran dengan kematian Kakak. Aku yakin ada yang tidak beres. Pikiranku sempat tertuju ke Bang Arya. Namun, saat kejadian itu, Bang Arya punya alibi. Dia sedang kembali ke kota tempatnya mengemban pendidikan untuk mengurus ijazahnya. Lalu, bagaimana Kakak bisa ada disana tanpa ada yang memanggil atau membawanya?
Aku hanya dengar dari saksi yang melihat. Katanya Kakak memang berjalan sendirian ke arah sungai dibukit itu bahkan tanpa alas kaki seperti orang linglung.
Jadi, benarkah kutukan itu ada???
T A M A T
Baca Cerita Lengkapnya Klik Disini
Tag:
Mama Cica, Blog Cerpen, Cerpen Upay, Kumpulan Cerpen dan Novel Gratis, Baca Novel Gratis tanpa koin, Cerpen pengantin cilik, cerbung pengantin cilik, Pengantin Cilik Bab 1, Pengantin cilik Bab terakhir, Novel Pengantin Cilik