Ikhtiar (Berusaha dan Berdoa)
Bab 6
dalam cerita "Bertemu Berdua"
Baca cerita sebelumnya pada Bab 5 disini
Cerita sebelumnya:
Ditengah kebimbangan, Ia menjadi semakin tidak yakin ingin menerima pinangan Mba Sarah untuk suaminya. Tapi sepertinya Mayang sudah terjebak dalam cinta Ka Nizam. Entah keputusan seperti apa yang akan Mayang ambil demi hidupnya yang menyangkut hidup keluarga lain juga.
Lalu apa yang harus Mayang katakan pada Ibunya? Haruskah Ia ceritakan hal tersebut? Haruskah Ia katakan bahwa putri semata wayangnya mau dijadikan istri kedua?
* * * * *
Ponsel Mayang berdering. Segera Ia angkat.
"Assalamualaikum...." Sapa Mayang mendahului.
"Waalaikumsalam...." Jawab suara diseberang telepon.
Percakapanpun berlanjut. Ternyata Ka Nizam yang menelepon. Sungguh terkejut Mayang mendengar suara laki-laki yang telah lama Ia rindukan. Meski Ia sadar Ka Nizam telah menjadi suami orang, tapi Ia tak dapat menampik bahwa bayang-bayang lelaki itu tak pernah sedikitpun pudar.
"Ini aku May, Nizam."
"Apa? Ka Nizam? Ooh iya Ka, ada perlu apa? Kalau bertanya tentang Mba Sarah beliau baik-baik aja koq. Aku akan terus memantau kesehatannya dan untuk pemeriksaan program Bayi tabung yang kalian rencanakan akan secepatnya kita lakukan." Aku bicara tanpa putus. Sepertinya Ka Nizam mustahil tidak menyadari betapa gugupnya Dokter istrinya ini berbicara. Aah rasanya tak pantas aku menjadi seorang Dokter. Bagaimana mungkin jika menghadapi pasien saja masih bisa gugup. Tapi ini gugup yang berbeda. Sulit dijelaskan.
"May, kalo soal Sarah InshaAllah dia sangat informatif memberikan informasinya padaku. Aku menghubungimu karna ada keperluan. Kira-kira, kapan ya kamu ada waktu bertemu?"
Sumpah demi apapun, rasa gugup itu hilang seketika dan kini telah berganti menjadi rasa tegang yang teramat sangat. Meski aku tau gugup dan tegang perbedaannya hanya setipis kertas. Ada apa gerangan? Untuk apa Ka Nizam mengajakku bertemu. Apa Ia ingin mengatakan bahwa lamaran yang istrinya sampaikan itu hal gila yang tidak pernah Ia setujui? Bahwa aku harus menghindari Mba Sarah dan menolak lamarannya?
Aku semakin menggila dan menduga-duga kemungkinan-kemungkinan yang bahkan aku sama sekali tak pernah berpikir untuk menerima lamaran Mba Sarah. Namun tetap saja masalah ini tak semudah yang aku pikirkan.
Mba Sarah melamarku untuk suaminya, kemudian aku dengan sangat halus menolaknya. Nyatanya, aku malah meminta waktu untuk berpikir. Bukannya dengan tegas langsung menolaknya saat itu juga.
Bukankah dengan permintaan waktu yang kuajukan menandakan bahwa setidaknya ada harapan bagi mereka untukku masuk ke tengah-tengah keluarga mereka. Aku semakin bimbang.
"Mmmh, besok siang sepertinya aku luang Ka. Mungkin kita bisa bertemu." Jawabku masih dengan suara gugup yang semakin menegang.
"Baiklah besok aku akan ke rumahmu."
"Jangan Ka, mmh maaf maksudku apa kita tidak bisa bertemu ditempat lain saja? Di cafe misalnya? Maaf sebelumnya. Karna aku sedang tidak mau mengganggu Ibu. Belakangan ini beliau lebih sering di rumah daripada ke butik. Mungkin sedang lelah."
Aku terpaksa berbohong perihal Ibu. Tentu saja alasannya karna aku tidak mau Ibu mendengar percakapan kami tentang lamaran menjadi istri kedua itu. Mungkin Ibu akan lebih shock dari anak gadisnya ini.
"Ok, baiklah. Terserah kau saja May. Ini nomor WA'ku aku kirimkan. Kamu save ya. Nanti infokan saja melalui WA dimana kamu bisa bertemu. Aku tunggu infonya. Assalamualaikum."
"Baik Ka Nizam, aku akan infokan secepatnya. Waalaikumsalam." Jawabku mengakhiri pembicaraan yang membuat kacau pikiranku.
Esoknya, di caffe yang telah dijanjikan.
"Assalamualaikum May." Sapa laki-laki tampan berkulit putih bersih dan bertubuh tegap berdiri tepat dihadapanku.
"Waalaikumsalam Ka, mari silahkan duduk." Jawabku kemudian.
"Maaf ya May, aku memanggilmu seperti ini. Sebetulnya tidak ada urusan yang terlalu berarti. Aku hanya mau memberikan ini."
Ka Nizam membuatku tersipu. Ia menyodorkan sebuah paper bag cantik berwarna pink berhiaskan kupu-kupu. Entah apa isi didalamnya.
"Wah, apa ini Ka?" Tanyaku sambil menerima sodoran paper bag dari tangan Ka Nizam.
"Bukan apa-apa. Hanya beberapa waktu lalu saat ada urusan bisnis di Turki, aku melihatnya dan terpikir kau pasti suka. Jadi kubeli saja sebagai oleh-oleh."
What? Ka Nizam ingat padaku saat perjalanan bisnis? Apa maksudnya ini? Bukankah seharusnya Ia mengingat Mba Sarah istrinya? Kami berbincang. Obrolan ringan yang biasa saja dan aku yakin sikap gugupku yang sulit sekali aku kendalikan ini jelas terlihat sepanjang obrolan kami. Akhirnya obrolan yang mulai seriuspun dimulai. Mungkin ini yang ingin disampaikan Ka Nizam namun Ia memilih waktu yang tepat.
"May, jadi begini. Aku akan jujur saja padamu. Bahwa kau tidak perlu repot mengurusi kesehatan Sarah mengenai program bayi tabung atau proses inseminasi buatan atau apalah itu sebutannya. Karna itu bukan tujuan kami."
"Maaf Ka, maksud kaka, kalian tidak ingin mencoba ikhtiar dengan proses inseminasi buatan itu? Kenapa? Bukankah itu satu-satunya cara agar kalian memiliki keturunan dan aku tidak diperlukan lagi untuk menjadi istrimu Ka?" Tanyaku penasaran.
"Bukan begitu May, kami sudah pernah mencoba itu satu tahun yang lalu. Namun sia-sia. Bukannya kami putus asa. Tapi jika dipaksakan, aku khawatir keadaan Sarah. Ia tidak mungkin dipaksa mengandung. Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan hasilnya, kandungan Sarah terlalu lemah untuk menampung seorang makhluk May, dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Sarah. Iapun sudah mengetahui hal itu".
Ka Nizam menjelaskan panjang lebar padaku perihal kesehatan Mba Sarah yang tidak memungkinkan baginya untuk mengandung. Jadi ternyata, sebelum berkonsultasi denganku, mereka sudah pernah melalui ikhtiar ini. Itu sebabnya Mba Sarah ngotot mencarikan Ka Nizam istri kedua.
Bersambung ke Bab 7
Esoknya, di caffe yang telah dijanjikan.
"Assalamualaikum May." Sapa laki-laki tampan berkulit putih bersih dan bertubuh tegap berdiri tepat dihadapanku.
"Waalaikumsalam Ka, mari silahkan duduk." Jawabku kemudian.
"Maaf ya May, aku memanggilmu seperti ini. Sebetulnya tidak ada urusan yang terlalu berarti. Aku hanya mau memberikan ini."
Ka Nizam membuatku tersipu. Ia menyodorkan sebuah paper bag cantik berwarna pink berhiaskan kupu-kupu. Entah apa isi didalamnya.
"Wah, apa ini Ka?" Tanyaku sambil menerima sodoran paper bag dari tangan Ka Nizam.
"Bukan apa-apa. Hanya beberapa waktu lalu saat ada urusan bisnis di Turki, aku melihatnya dan terpikir kau pasti suka. Jadi kubeli saja sebagai oleh-oleh."
What? Ka Nizam ingat padaku saat perjalanan bisnis? Apa maksudnya ini? Bukankah seharusnya Ia mengingat Mba Sarah istrinya? Kami berbincang. Obrolan ringan yang biasa saja dan aku yakin sikap gugupku yang sulit sekali aku kendalikan ini jelas terlihat sepanjang obrolan kami. Akhirnya obrolan yang mulai seriuspun dimulai. Mungkin ini yang ingin disampaikan Ka Nizam namun Ia memilih waktu yang tepat.
"May, jadi begini. Aku akan jujur saja padamu. Bahwa kau tidak perlu repot mengurusi kesehatan Sarah mengenai program bayi tabung atau proses inseminasi buatan atau apalah itu sebutannya. Karna itu bukan tujuan kami."
"Maaf Ka, maksud kaka, kalian tidak ingin mencoba ikhtiar dengan proses inseminasi buatan itu? Kenapa? Bukankah itu satu-satunya cara agar kalian memiliki keturunan dan aku tidak diperlukan lagi untuk menjadi istrimu Ka?" Tanyaku penasaran.
"Bukan begitu May, kami sudah pernah mencoba itu satu tahun yang lalu. Namun sia-sia. Bukannya kami putus asa. Tapi jika dipaksakan, aku khawatir keadaan Sarah. Ia tidak mungkin dipaksa mengandung. Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan hasilnya, kandungan Sarah terlalu lemah untuk menampung seorang makhluk May, dan aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Sarah. Iapun sudah mengetahui hal itu".
Ka Nizam menjelaskan panjang lebar padaku perihal kesehatan Mba Sarah yang tidak memungkinkan baginya untuk mengandung. Jadi ternyata, sebelum berkonsultasi denganku, mereka sudah pernah melalui ikhtiar ini. Itu sebabnya Mba Sarah ngotot mencarikan Ka Nizam istri kedua.
Bersambung ke Bab 7
![]() |
Baca Cerita Lengkap/Bab Selanjutnya Klik Disini |