Kesal dan pedih rasanya. Masih kuingat hingga detik ini. Mirisnya lagi, nama perempuan lain itu sama denganku. Aku jadi membenci namaku sendiri.
Saat itu, belum ada satu bulan selepas melahirkan putri pertama kami. Dia yang saat itu posisinya sedang tidak bekerja karna masa kontraknya habis, aku maklumi. Syukurnya aku masih menjadi karyawan di sebuah perusahaan besar. Salah satu pabrik sepeda motor terbesar di negara ini.
Karirku cukup baik saat itu. Jadi aku tidak mempermasalahkan dia yang sedang menganggur.
Masa cuti lahiranku masih sekitar dua bulanan lagi. Jadi aku masih bisa mengurus bayiku. Sebelum memutuskan mencari pengasuh, atau menitipkannya pada Ibuku. Kami belum memikirkan ke aras sana sama sekali. Karna aku masih menikmati bersama bayiku.
Malam itu seperti biasa dia nongkrong di gang sebelah dengan teman-temannya. Entah kenapa kali ini dia lupa membawa ponselnya. Karna dia type orang yang kemanapun selalu membawa ponsel. Bahkan ke toiletpun bisa sambil bermain game. Meski saat itu game di ponsel Nokia hanya ular ularan legend itu.
Ada notifikasi SMS masuk. Aku yang biasanya tak pernah peduli, entah kenapa tiba-tiba terbersit keinginan untuk melihat pesan apa yang notifnya masuk.
Kaget bukan main. Tapi harusnya aku tidak kaget, karna semasa sekolah dulupun dia memang pernah berpacaran dengan dua atau tiga perempuan sekaligus saat itu.
Iya, itu adalah ketololanku satu-satunya.
Masih mau menerima dia yang seperti itu. Mungkin aku dibutakan oleh cinta dan parasnya. Betapa dungunya aku.
Waktu berjalan dengan sangat cepat, kamipun lulus sekolah dan menempuh jalan kami masing-masing.
Mungkin inilah definisi jodoh tak akan lari ke mana.
Saat dia kuliah dan aku sudah mulai bekerja di pabrik motor, kami dipertemukan kembali dengan cerita yang tak kalah menguras emosi. Kami bertemu karna aku bermasalah dengan mantanku. Dan kupikir saat itu satu-satunya orang yang dapat menolongku hanyalah dia. Mantan bajinganku itu sempat mengancamku. Seolah dia ingin berbuat nekat padaku. Jadilah aku menghubungi dia dan meminta pertolongannya untuk pura-pura jadi pacarku. Supaya mantanku itu tidak lagi menggangguku.
Terlalu panjang kalau harus kuceritakan detailnya. Singkatnya, waktu berjalan dan tiba-tiba saja kami jadi pacar sungguhan.
Tahun 2005 kami bertemu kembali setelah lulus SMA, Tahun 2007 kami menikah dan segera setelah itu memiliki putri pertama kami.
Kembali ke pesan SMS diponselnya. Kubaca satu persatu.
Intinya mereka mengobrol. Tapi menurutku itu bukan obrolan biasa.
Ternyata perempuan itu dikenalkan pada suamiku melalui temannya ditempat kerjanya dulu. Perempuan itu seorang mahasiswi.
Kalau ingat isi pesannya, rasanya ingin kumengulang kejadian melempar dan membanting ponsel itu ke lantai sambil berteriak.
Ajaibnya ponsel itu tidak rusak sama sekali. Memang Nokia hebat pada masanya. Heheh maaf gak di endorse ya. Hanya menceritakan fakta yang ada.
Singkatnya isi pesannya seperti dua sejoli muda yang sedang kasmaran.
"Kamu lagi ngapain?"
"Aku masih di kampus."
"Udah makan belum? Jangan gak makan ya nanti sakit."
Bangs*****t. Membaca itu selain marah juga jijik. Sumpah, kalau ingat itu dimasa sekarang rasanya masih ingin kuhajar dia. Benci sekali dengan kejadian itu. Bayangkan. Dia yang sama sekali tidak pernah perhatian pada jam makanku tiba-tiba saja mengkhawatirkan orang lain. Ya Tuhaaan.
Aku tantrum saat itu. Untungnya tak berapa lama dia pulang dari tongkrongannya di gang sebelah.
Jadi aku bisa langsung lampiaskan amarahku padanya.
"DASAR SAMPAH, SIALAN, BANGS**T LU. BISA-BISANYA YA LU KENALAN SAMA CEWE DIBELAKANG GUE. ANJ*** LU SIALAN."
Sambil berteriak seperti itu sejadi-jadinya, sambil kulempar ponsel itu ke dinding, kemudian kuambil lagi untuk kubanting ke lantai.
Dia memungutnya dengan wajah sedih. Aku tidak pernah tahu sampai detik ini. Apa yang ada dipikirannya saat itu. Istrinya baru saja melahirkan, dia malah asik-asik chatingan dengan kenalan barunya.
Sebangsat itu memang laki-laki ini.
Dia memohon maaf padaku. Memegang kakiku yang sedang meraung-raung bak orang gila. Mendekapku sangat erat demi mengendalikan amarahku.
Dia berjanji tidak akan lagi menghubungi perempuan itu. Dia berjanji tidak akan lagi mengkhianatiku.
Lalu aku? Yah si bodoh dan tolol ini memaafkannya begitu saja. Mau bagaimana lagi. Kami sudah bukan pasangan pacar. Tapi ini rumah tangga yang kalau bisa hanya satu kali seumur hidup.
Selesailah sampai disitu. Tanpa kecurigaan sedikitpun. Aku percaya lagi padanya.
Beberapa minggu kemudian keluargaku datang ke kontrakan kami yang hanya sepetak kamar. Sulit menerima tamu karna sempit.
Sebetulnya aku kurang nyaman dengan kedatangan mereka. Yah maklum saja, saat itu keadaan orangtuaku dalam keadaan yang sangat baik dari segi ekonomi. Jadi aku merasa mereka agak sedikit meremehkan hidup kami. Khususnya tempat tinggal kami yang hanya kontrakan sepetak ini.
Sebetulnya saat itu aku tahu aku salah. Salah karna tanpa pembicaraan lebih dulu, tanpa membahas dengan suamiku, aku tiba-tiba saja hari itu ikut Ibuku pulang ke rumah mereka. Aku ingat kalimat Ibu saat itu.
"Ya ampuun ini anak udahlah kuning, emaknya pucet banget. Gak keurus banget kalian. Kamu habis sakit? Koq kaya mayat? Udahlah kita pulang aja. Beresin pakean adekmu sama bayinya buruan."
Ibu menyuruh kakakku mengepak pakaianku dan putriku untuk ikut pulang ke rumahnya.
Aku sama sekali tidak bingung apalagi bimbang. Karna terus terang saja. Saat itu keadaanku sedang sakit. Dan lebih dari itu, aku masih mengingat jelas sikap suamiku yang bisa-bisanya berkenalan dengan perempuan lain. Mungkin aku sakit karna terlalu banyak overthingking. Intinya hari itu akhirnya aku dibawa pulang oleh keluargaku ke rumah orangtuaku yang sekarang masih kami tinggali.
Bahkan aku hanya pamit sekedarnya pada Ibu mertuaku kala itu. Seolah aku hanya pergi sebentar. Padahal selama perjalanan pulang, di dalam mobil yang berjalan, pikiranku kacau. Suamiku terdiam saat itu. Dia mengikuti kami menggunakan sepeda motornya. Karna saat itu mobil penuh. Jadi dia ikut menggunakan motor. Aku tidak tahu saat itu dia berpikir apa.
Tapi saat kami sampai di rumah orangtuaku, kamipun berbincang. Membahas mau bagaimana keluarga kami ini. Aku bilang padanya kalau aku mau tinggal di sini. Di rumah orangtuaku. Tapi sepertinya dia keberatan. Dia bilang, nanti kalau aku sudah sehat, kita kembali ke kontrakan. Tapi aku menolak. Aku tidak mau lagi tinggal di sana. Dengan alasan sebentar lagi cutiku selesai. Aku harus masuk kerja dan harus ada yang mengurus putri kami. Ibuku senang mengurus cucunya. Jadi aku menitipkan putriku pada Ibu. Alhamdulillahnya saat putri pertamaku lahir, Ibuku ini belum terlalu tua. Ia masih gagah dan sehat. Bahkan sampai sekarang.
Karna Ibuku menikah saat umurnya masih sangat muda. Bahkan melahirkankupun diumur 17 atau 18 tahunan aku lupa.
Maklum ya orang-orang jaman 70an memang masih sangat banyak penganut nikah muda.
Kukatakan pada suamiku dengan tegas bahwa aku mau disini. Aku coba membujuknya untuk ikut denganku disini saja. Aku minta dia bawakan barang-barang kami yang tertinggal di kontrakan. Seperti televisi, kipas angin, kasur, setrika, dan lain sebagainya.
Syukurnya, pada akhirnya dia menurutiku. Kamipun tinggal di rumah orangtuaku.
Kami menjalani rumah tangga ini dengan sangat biasa. Meski ekonomi kami tidak terlalu bagus, tapi sangat cukup untuk hidup sehari-hari kami.
Tidak berapa lama, saat putriku baru berumur 6 bulan, tiba-tiba saja aku hamil anak kedua. Sangat tidak direncanakan.
Hampir saja kami berbuat dosa besar. Tapi Allah melindungi kami dari dosa membunuh. Aku ingat betul meminta suamiku mencarikan uang dua juta rupiah untuk biaya aborsi. Astagfirullah. Kalau ingat itu rasanya aku bersalah sekali pada putri keduaku.
Namun sangat-sangat Alhamdulillah. Mencari uang dua juta itu tidaklah mudah. Sampai kandunganku mulai besar, kami tidak juga mendapatkan uangnya. Jadilah akhirnya kami mempertahankan bayi ini.
Bulan Agustus putri kedua kami lahir. Kalian tahu apa yang terjadi?
Di cerita ini seolah aku sedang menguliti kesalahan-kesalahan yang diperbuat suamiku. Tapi jujur, saat menulis ini aku hanya sedang stress dan krisis kepercayaan diri. Saat menulis ini aku sering sekali menangis. Menangisi kebodohanku. Kebodohan yang masih selalu aku syukuri sampai detik ini. Bukankah sebagai hambaNya. Kita memang harus selalu bersyukur atas apapun yang menimpa kita? Karna semua sudah pasti kehendakNya. Baik buruk hidup yang kujalani ya kehendakNya yang tetap harus kusyukuri.
Kembali lagi saat aku melahirkan putri kedua kami. Untungnya perusahaan tempatku bekerja, mengcover semua biaya persalinan. Jadilah aku tenang melahirkan anak-anakku tanpa memikirkan biaya. Malam itu, jam dua dini hari. Suamiku kembali ke Rumah Sakit tempatku melahirkan. Entah apa yang ada diotaknya. Malam sebelumnya, sekitar jam 9an, Ia pamit izin bermain bilyard sebentar dengan temannya yang datang menjengukku lahiran.
Kebetulan di samping Rumah Sakit adalah kafe tempat penyewaan meja bilyard.
Kuizinkan karna kupikir gedungnya bersebelahan. Dia janji akan kembali ke Rumah Sakit tengah malam.
Dia memang kembali jam dua dini hari. Namun dalam keadaan mabuk. Ya Tuhaaan. Dia mabuk obat, bukan minuman. Dia mengkonsumsi narkoba entah jenis apa.
Untungnya dia masih bisa mengendalikan diri ketika mabuk itu. Walaupun harus kutampar demi menyadarkannya dari mabuk yang menyebabkan sikapnya jadi absurd.
Dia tidur dengan nyenyaknya setelah mabuk. Kamipun bertengkar hebat dipagi harinya.
Tapi tidak. Itu bukan pertengkaran. Lebih tepatnya itu amukanku yang menjadi-jadi. Tapi karna masih di Rumah Sakit, aku tidak bisa mengamuk dengan keras. Jadi aku hanya kesal, menangis, marah dalam diam.
Dan lagi dia meminta maaf. Berjanji bahwa tidak akan pernah lagi mabuk. Itu hari terakhir dimana dia mabuk dan tidak akan terjadi lagi.
Aku? Yaaah tentu saja menerimanya. Bisa apalagi sipaling bucin ini.
Saat anak kedua kami lahir, Alhamdulillah keadaan ekonomi kami sangat baik. Dia bekerja di salah satu tempat wisata terbesar di Indonesia saat itu. Gajinya cukup lumayan untuk kami hidup.
Yang aku sesali sampai saat ini, kami tidak ada kepikiran menabung untuk membeli rumah kami sendiri saat ekonomi kami membaik. Kami malah memutuskan KPR dan bermain-main dengan Riba seolah hal yang biasa. Kartu kredit, pinjaman tunai bank, kredit kendaraan, dan lain-lain seolah itu wajar dan bukan merupakan dosa.
Begitulah awal mula kehancuran ekonomi keluarga. Terlalu menyepelekan dosa Riba. Padahal Riba itu salah satu dosa paling besar diantara dosa besar lainnya.
Waktu berjalan biasa-biasa saja. Kupikir inilah rumah tangga yang diimpikan banyak orang. Suami tampan, anak-anak cantik, ekonomi baik, dan segudang kebahagiaan lainnya saat itu.
Sampai pada suatu hari di tahun 2009 awal. Suamiku bekerja tidak di tempat wisata biasanya. Karna dia ikut ambil bagian dalam pameran di sebual mall. Saat itu dia memang punya dua ponsel. Kebetulan sekali satu ponselnya tertinggal di rumah.
Saat dia pulang, aku infokan bahwa ponselnya terus menerus berdering sejak siang tanpa henti. Saat itu sudah jam 8 malam. Suamiku sedang makan. Selepas makan, kusuruh Ia menelepon balik orang yang menghubunginya terus menerus sejak siang tadi. Karna takut ada hal penting yang harus disampaikan. Lalu apa yang terjadi?
"Halo, kenapa lu nelp dari siang ga udah-udah? HP gue ketinggalan di rumah. "
Begitulah kalimat yang dilontarkan suamiku kepadanya di sebrang telepon.
Aku tahu kalau yang menelepon sejak siang itu seorang wanita. Namun karna kupikir dia rekan kerjanya, aku tak menaruh curiga sedikitpun. Dan kalian tahu jawaban apa yang kudengar dari sebrang telepon?
"Heheh, ga ada apa-apa. Gue kangen banget ga ada lu seharian. Lu ikut pameran segala sih. "
WHAAAT WTF Sumpah. Bisa-bisanya aku mendengar ada yang merindukan suamiku. Aku dengar dengan sangat jelas dengan telingaku sendiri.
Lagi-lagi aku tantrum dan mengamuk. Suamiku coba menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa diantara mereka. Itu murni dia bercanda. Karna tidak mungkin kalau memang ada affair, dia menelponnya dihadapanku bahkan di loud speaker saat itu. Tidak lamapun aku mendengar kalau perempuan itu minta maaf karna tidak tahu kalau suamiku sudah beristri.
OK, as a habbit. Kucoba untuk mengerti. Belakangan kuketahui bahwa ternyata selama ini perempuan itu sering nebeng berangkat dan pulang kerja dengan suamiku karna mereka searah. Namun suamiku tidak mengira bahwa rekan kerjanya itu ada hati padanya. Dia bersumpah bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang itu. OK kita skip karna kupikir masuk akal dan memang jelas terlihat dia tidak tahu apa-apa soal perasaan si peremuan rekan kerjanya ini. Diapun berjanji untuk tidak lagi dekat dengannya sampai memberikan tumpangan lagi padanya.
Percaya sajalah aku.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan super cepat. Lika liku pernikahan kami sudah kami lewati. Naik turun ekonomipun sudah kami hadapi.
Diwaktu yang sangat cepat ini akhirnya usia pernikahan kami sudah 17 tahun lebih. Kupikir semua sudah berhasil kami lalui tanpa masalah. Aku yang masih bucin padanya sering sekali merindukannya setiap dia tak ada. Padahal dia hanya pergi kerja. Heheh. Sesayang itu aku padanya.
Anak kami sudah 4. Bahkan dua putri kamu sudah beranjak dewasa. Putri pertamaku sudah punya KTP, putri keduaku tahun depan akan punya KTP.
Tapi aku masih sering manja padanya, sering gelendotan, sering tiba-tiba menerjang ke dalam pelukannya, sering menciuminya saat dia tertidur. Tapi itu semua berakhir beberapa hari yang lalu. Sebelum akhirnya aku menemukan kenyataan pahit lagi ya Allah Tuhankuuu. Kenapa sekarang? Kenapa saat ini? Sudah belasan tahun kami lewati.
Terakhir kali kami bermasalah dengan orang ketiga ya tahun 2008 itu. Saat dia yang tak tahu dirinya dicintai perempuan lain dan aku percaya saja. Sampai detik ini aku masih yakin dan percaya kalau saat itu dia betul-betul tidak tahu. Jadi aku skip permasalahan itu untuk ku abaikan saja.
Tapi yang kali ini sungguh membuatku lebih dari sakit hati. Ini sudah menggerogoti mentalku perlahan. Iya, aku memang sudah tidak muda, sudah tidak menarik, mungkin wajar kalau laki-laki pada akhirnya mencari yang lebih menarik. Tapi, kenapa aku tidak bisa terima. Bagiku ini sungguh pengkhianatan besar. Namundia bisa dengan tenang meminta maaf seolah ini hal remeh dan sepele seperti biasa.
Kutemukan chatnya di aplikasi hijau sedang tawar menawar wanita. Ya Allaaaah. Runtuh duniaku seketika. Tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku mencoba mengusirnya kali ini. Kusuruh Ia pulang ke rumah Ibunya. Aku tak sudi lagi menerimanya. Tapi lagi-lagi dia meminta maaf. Dia bilang hanya keisengan belaka. Dia sama sekali tidak berniat melanjutkan chat penawaran itu. Tidak juga ada keinginan untuk benar-benar bertemu pelacur itu.
Aku? Kali ini aku masih belum tahu ke mana otakku mengarah. Sumpah demi Allah yang Maha segalanya aku sakiiit. Bukan hanya hatiku tapi juga mentalku. Dia hancurkan psikisku perlahan.
Aku menangis setiap hari. Setiap dia tak ada, setiap sedang sendiri. Aku benci diriku yang direndahkan sampai seperti ini.
Betapa recehnya aku dihatinya. Mungkin selama ini dia memang tak cinta padaku. Mungkin selama ini dia bertahan karna aku Ibu dari anak-anaknya. Sakit ya Allah. Sakit rasanya. Dia tak pergi saat kusuruh pulang ke rumah Ibunya. Baiklah, kalau memang maumu begini. Mari kita jalani.
Aku sudah tak punya muka lagi untuk bermanja padamu. Karna kutahu kau tak sayang padaku. Sudah tak bisa lagi aku tiba-tiba mendekapmu. Karna aku terlalu jauh dari hatimu.
Mungkin bukan aku yang kau ingin. Tapi Tuhan berkehendak aku yang disampingmu. Baiklah, aku hanya akan jadi istri dan ibu saja dihadapanmu, bukan lagi dihatimu.
Mentalku terlalu jatuh saat ini. Aku bodoh, aku miskin, aku jelek, aku buruk dan tak pantas dihatimu. Jadi aku harus maklum saat kau mencari yang lebih menarik.
Entah sampai kapan rasa sakit dan rendah diri ini menempel padaku T_T
No comments:
Post a Comment