Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Pengantin Cilik. Bab 9 (Pelarian 3)

 

Kenapa di saat-saat seperti ini Bi Minah malah tidak ada. Ia cuti karna anaknya akan menikah. Jadilah semua pekerjaan aku yang menanggung. Karna kakak sedang hamil, akupun tak tega membiarkannya mengurus keperluan rumah kecuali pakaian suaminya.

Pada akhirnya si wanita keras kepala itu tidak mau mendengarkan perkataanku untuk pergi ke rumah nenek. Ia bahkan ngeyel mau belanja bulanan ke warung mbok Minah.

Akhirnya dengan berat hati akupun menemaninya berbelanja. Tentu saja hal yang sudah kuduga sebelumnya terjadi.

Bang Arya mencegat kami. Belanjaan praktis terjatuh dari tangan Kakak karna Ia kaget. Bang Arya memegang tangan Kakak dan hendak menariknya untuk lari. Namun aku mencegahnya. Aku menarik tangan kakak sebelahnya. Jadilah kami seperti dua bocah yang tengah berebut mainan.

"Lepaskan Ren, biarkan kakakmu bahagia bersamaku. Kamu tega membiarkan dia menderita begini?"
 Teriaknya sambil berusaha menarik kakak.

"Apa maksudmu aku menderita? Aku gak paham. Lepasin aku Bang. Jangan seperti ini. Aku baik-baik aja dan gak menderita. Aku bahagia Bang. Jangan usik keluargaku. Kumohon."


Tangis kakak pecah sambil memohon kepada Bang Arya. Namun pikiran gila laki-laki itu tak juga kunjung hilang. Ia tetap pada pemikirannya bahwa kakak dipaksa menikah.

"Kamu jangan takut karna ada Rena Lan. Dia juga sayang sama kamu. Dia juga pasti ingin kamu bahagia. Iya kan Ren? Cepat kita pergi dari sini. Lepaskan kakakmu Ren. Aku janji akan membahagiakannya."


Wah. Benar-benar sudah gila laki-laki ini. Aku kehabisan akal. Apa yang harus kuperbuat. Tak mungkin kulepaskan tangan kakak. Lagipula, aku wajib menjaganya. Karna semua orang menitipkannya padaku.

Iya, sebelum Ayah dan Ibu pergi ke rumah nenek, mereka berpesan untuk menjaga kakak. Setiap pagipun jika aku berpapasan dengan Ka Jaka. Dia pasti menitipkan istrinya ini kepadaku. "Tolong jaga Lani ya Dek sementara aku kerja. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku." Itu pesannya.

Amanah yang betul-betul membebaniku jika keadaannya seperti ini. Kalau saja mereka tahu keadaan ini. Mereka akan sadar sudah menitipkan kakak kepada orang yang salah. Mana bisa aku menjaganya jika lawanku laki-laki bertubuh tegap ini? 

Kumajukan tubuhku menghadapi Bang Arya dan menutupi tubuh kakak masih sambil memegang tangannya. Kubisikkan padanya. "Jangan seperti ini Bang. Banyak orang. Tidak sekarang. Lepaskan dulu kakak. Cari waktu yang tepat." Kataku sambil dengan mata melotot memberi isyarat bahwa di sekeliling kami banyak orang.

Untunglah dia sadar dan paham apa maksudku. Tak lama diapun melepaskan tangan kakak sambil mengangguk padaku.

Aku terpaksa bersandiwara seperti ini demi mencegah kakak dibawa olehnya. Entah bagaimana selanjutnya aku menghadapi Bang Arya nanti. Yang terpenting sekarang kakak selamat.

Kamipun pulang dengan setengah belanjaan yang koyak karna terjatuh dari pegangan. Sesampainya di rumah. Aku ceritakan semua pada Kakak. Tentang pikiran gila Bang Arya.

"Ka, dia mengira kau dipaksa menikah dengan Ustadz Jaka padahal tidak cinta. Dia berpikir kalau kau cinta padanya. Entah apa yang dulu kau lakukan padanya sehingga dia berpikiran kalau dia harus menunggumu dan pergi ke kota untuk belajar demi cita-citanya menikahimu." 
Kataku dengan nada kesal. Tapi rupanya Ka Lani lebih kesal mendengar ucapanku.

"Apa maksudmu Ren? Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak pernah memberinya harapan apalagi berkata kalau aku cinta padanya. Mana mungkin aku berbuat demikian sementara aku memang tidak cinta padanya? Yang ada aku jijik padanya Ren. Pada kelakuannya yang sering semena-mena itu."


"Ka, dia pergi ke kota. Belajar dan bekerja keras katanya itu demi kakak. Kakak yang mau dia sukses dulu baru menikah. Gimana bisa kakak berkata begitu padanya sedangkan kakak pada saat itu sedang jatuh cinta pada Ka Jaka. Egois kau Kak." 
Suaraku meninggi. Aku marah sekali padanya. Pada keegoisannya.

"Ren, aku pikir waktu itu satu-satunya cara agar dia tidak menggangguku lagi. Aku ingin dia pergi. Mana aku tahu kalau dia benar-benar pergi karna perkataanku. Lagi pula saat itu aku tidak jatuh cinta pada Ka Jaka ya Ren. Kau yang jatuh cinta padanya. Tapi takdir berkehendak lain. Ini memang pernikahan terpaksa. Tapi aku bahagia Ren. Setelah menikah, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta pada suamiku sejak lama. Salahkah?"

Demi Allah aku ingin sekali menampar pipi lembut memerah perempuan dihadapanku ini saat ini juga. Sebegitu menyebalkannya dia. Aku berusaha melindunginya. Tapi dia malah menjawabku seperti ini. Dia mengingatkanku bahwa takdinya lebih baik dariku.

"Aku paham Ka. Dia sudah jadi suamimu. Tak perlu kau pertegas. Detik ini yang kita bicarakan itu kenapa kakak dulu memberi harapan pada bang Arya hingga dia jadi seperti ini? Bukan takdir siapa yang menikahi Ka Jaka. Tak perlu mengingatkanku bahwa pernikahan kalian ini takdir." 
Jawabku kemudian masih dengan nada tinggi karna amarah.

"Aku udah bilang Ren. Dulu itu aku cuma ingin mengusir dia. Kenapa kamu ga mau ngerti? Atau jangan-jangan kamu senang ya dia kembali? Kamu senang kalau dia mengganggu rumah tanggaku? Kamu masih cinta sama Ka Jaka kan? Jujur Ren."

Mataku panas dan melotot seketika. Amarahku memuncak. Istigfar yang kugumamkan sedari tadi tak berhasil meredam amarahku. Aku sungguh-sungguh murka tapi Alhamdulillah masih sanggup untuk tidak menamparnya.

"Gila kau Kak. Bagaimana perasaanku sekarang itu urusanku. Aku susah payah menjagamu dari orang gila itu. Kau malah menuduhku seperti ini. Kalau tahu bakal begini. Kuserahkan saja kau tadi padanya. Biar dia bawa kau pergi jauh dari sini. Sial kau Kak."
 Itu kalimat terakhirku padanya.

Setelah itu aku bergegas lari ke lantai atas menuju kamarku masih dengan amarah yang teramat sangat. Sebaiknya aku tinggalkan perempuan itu sendirian agar dia bisa berpikir. 

Kubanting pintu kamar sekuatnya agar Ia tahu betapa meradangnya aku dengan semua perkataannya. Tak habis pikir aku dibuatnya. Bisa-bisanya dia bilang seperti itu.

No comments: