Seharian kami tidak bicara. Bahkan aku terlihat sekali menghindari kakak. Aku terus memperlihatkan wajah ketusku dihadapan pasangan itu sepanjang hari. Aku dengar Ka Jaka bisik-bisik ke istrinya itu.
"Kamu habis bertengkar dengan Rena? Ada masalah apa? Koq kelihatannya kalian saling menghindar? Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik?"
Ka Lani hanya diam membisu dengan tampang cemberut sambil mengunyah cemilan yang dipegangnya setiap kali menonton TV di ruang tengah. Sementara aku di dapur sibuk mencuci piring bekas makanku sendiri. Karna memang Ka Jaka tidak mengizinkanku mencucikan piring bekas makan mereka. Ka Jaka yang selalu mengerjakan pekerjaan itu untuk istrinya yang tengah hamil.
Setelah selesai mencuci piring, aku bergegas menaiki anak tangga dengan sedikit berlari kecil tanpa menoleh sedikitpun ke arah mereka untuk sekedar menyapa.
Di dalam kamar aku terus berpikir. Kenapa jadi begini. Aku benci dengan pemikiran kakak yang seperti itu. Dia berteriak seolah dia paling tahu soal hatiku. Memang dia benar. Sulit menghilangkan perasaan cinta pada seseorang begitu saja.
Tapi meski tidak mudah, pada akhirnya aku memang harus mengalah dan tahu diri. Aku sendiri tidak tahu apakah benar aku masih mencintai iparku itu atau hati ini sudah berubah. Yang jelas, perlahan aku mulai bisa menerima dia sebagai iparku. Bukan lagi seorang Ustadz tampan yang boleh kukagumi.
Tapi apa? Perjuanganku menerima itu semua rupanya tak nampak bagi Kakak. Ia masih saja berpikiran picik seperti itu.
Sepanjang waktu aku menggumamkan istigfar. Tapi kemarahan ini tak juga mau reda. Akhirnya kuputuskan untuk pergi menyusul Ayah dan Ibu ke rumah nenek. Ya, aku pergi saja dari rumah ini. Biar pasangan itu tinggal berdua saja disini dan tak merasa terganggu dengan kehadiranku.
Akupun segera mengemas pakaianku. Kumasukkan semua ke dalam ransel besarku. Toh sekolah masih lama. Liburan semesterku masih dua minggu lagi. Biarlah dua minggu ini aku bersama Ibu dan Ayah mengurus Nenek.
Aku menuruni anak tangga dengan menggemblok ransel besar dan tas jinjing ditangan kananku. Terlihat sekali kalau aku seperti orang yang akan pergi lama tak kembali. Spontan mereka berdua yang tengah asik menonton TV menengok ke arah tangga yang masih ada diriku menuruni anak tangga.
"Kau mau ke mana Dek?" Tanya Ka Jaka sambil menyipitkan matanya tertanda heran. Mungkin dia bingung dengan bawaanku yang begitu banyak.
"Aku akan ke rumah Nenek Ka. Biar aku ikut mengurus Nenek di sana. Kasihan Ayah dan Ibu tidak ada yang bantu." Jawabku kemudian.
"Tapi Dek. Kalau kamu pergi, besok Ka Lani sendirian dong saat aku pergi kerja? Bi Minah kan belum kembali dari cutinya. Apa ga bisa ditunda dulu sampai Bi Minah kembali Dek?"
Betul juga kata Ka Jaka. Apa tega aku membiarkan perempuan hamil itu sendirian dengan perut besarnya yang terlihat merepotkan. Terlebih lagi dia masih tidak boleh keluar rumah demi menghindari Bang Arya.
Tapi dia diam saja. Tak berkata sepatah katapun saat ini. Aku tidak bisa menebak pikirannya. Apakah dia senang aku pergi, atau justru dia takut sendirian. Aku berpikir sejenak. Tapi tiba-tiba kalimat itu terngiang lagi di kepalaku.
"Aku senang bang Arya mengganggu rumah tangganya karna aku masih cinta suaminya?" Kalimat itu begitu hebat terngiang dikepalaku hingga wajahku memerah ingin marah lagi namun kutahan.
"Maaf Ka. Aku gak bisa mengabaikan Nenek. Sebaiknya Kakak cari orang lain saja untuk menjaga istrimu itu. Toh dia juga tak sudi dijaga olehku. Aku pamit. Assalamualaikum."
Kulihat Ka Lani menengok ke arahku dengan mata melotot mendengar kalimatku. Sepertinya dia ingin berkata sesuatu tapi tak jadi. Karna aku langsung bergegas menuju pintu. Kudengar dia menahan suaminya untuk mengejarku.
"Gapapa bang, aku bisa jaga diri koq. Lagian aku ini hamil. Bukan sakit." Katanya sok tegar.
Ooh rupa-rupanya dia benar-benar merasa tidak bersalah sudah menyakitiku dengan kalimatnya sebelum ini. OK, aku tidak akan lagi memperdulikannya. Dia sungguh-sungguh egois dan menyebalkan.
Akhirnya akupun pergi menyusul Ibu dan Ayah. Dalam perjalan, aku berpikir. Apakah ini baik bagi kami? Baru kali ini kami bertengkar sehebat ini. Dan penyebabnya adalah suaminya sendiri.
Karna Ka Jakalah hubungan kami yang sangat harmonis sedari kecil perlahan memburuk. Diawali saat Ibu memaksakan kehendaknya menikahi mereka saat beliau sakit.
Aku jadi merasa kesal jika ingat itu. Terus terang, mungkin sejak kecil jika dibandingkan Ibu, aku lebih sayang Kakakku.
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya bahwa aku ini perempuan biasa yang tidak cantik juga tidak jelek. Tapi cukup membuat orang-orang mengabaikanku termasuk keluargaku sendiri kecuali Kakak.
Sejak dulu, tak pernah ada yang mendengarkan saranku atau pendapatku atau apapun yang kuucapkan. Satu-satunya orang yang peduli dan selalu mendengarkanku hanya Kakak.
Tapi semua berubah ketika Ibu jatuh sakit dan memaksa Kakak menikah dengan Ustadz Jaka yang kupuja-puja. Sakit ini masih perih. Tapi kurasa perlahan terobati seiring berjalannya waktu.
Namun sayang. Perjuanganku mengobati luka hati ditabur garam lagi oleh orang yang paling kusayang. Dalam bis menuju rumah nenek, aku terus menitikkan air mata mengingat hubungan buruk yang terjadi dengan kakak.
Di lubuk hatiku aku masih khawatir dengannya. Siapa yang menjaganya besok saat suaminya kerja? Dia akan sendiriankah? Ah tidak mungkin. Pasti Ka Jaka memanggil salah satu keluarganya untuk menemani istrinya. Bisa Ibunya atau adiknya.
Tidak mungkin kan Ka Jaka membiarkannya sendirian. Akupun sampai di depan rumah nenek. Rumah yang sejuk dan asri dengan banyaknya pepohonan. Halamannya lebih luas dari bangunan rumahnya. Dan aku suka sekali duduk santai di halaman ini.
Assalamualaikum......
No comments:
Post a Comment