Assalamualaikum.......
Spontan mereka yang berada di dalam menengok ke arah pintu dimana aku berada. Rumah Nenek sangat luas, asri dan jarang menutup pintu jika siang hari. Itu sebabnya saat aku mengucap salam, mereka yang di ruang tamu bisa langsung melihat tamu yang berdiri di ambang pintu.
Waalaikumsalaaam....
Jawab mereka bersamaan. Ibu dan Bibi segera saja menghambur menyambut kedatanganku. Sementara Ayah dan sepupuku Pia melihatku sambil tetap terduduk di ruang tamu. Rupanya mereka sedang berkumpul.
"Koq kamu gak bilang mau ke sini Ren? Kan Bibi bisa siapkan makanan kesukaanmu kalau kamu bilang-bilang dulu." Kata Bibi sambil terus memegang lenganku dan kemudian mengambil tas jinjing bawaanku.
"Sini Bibi bawakan. Kamu tidur dengan Pia ya. Biar dia gak ketakutan mulu tiap malam nyelusup ke balik selimut Bibi."
"Diiih Ibu. Siapa yang ketakutan sih Bu. Itu namanya kedinginan. Bukan ketakutan. Jangan dengerin Ibu Ka. Dasar nih Ibu suka lebay." Sahut Pia membela diri dari ejekan Ibunya.
Aku hanya tersenyum-senyum kecil melihat tingkah lucu Ibu dan anak itu. Mereka terlihat sangat saling perhatian walau dengan candaan.
"Oh iya Bu, Bi, Nenek di mana? Gimana kondisinya?" Tanyaku kemudian.
"Nenek di kamarnya. Baru aja pulang dari Rumah Sakit. Harusnya sih belum boleh. Tapi dia terus saja memaksa ingin pulang. Daripada tambah tertekan, Dokter mengizinkan pulang tapi harus tetap diinfus di rumah. Karna kondisi Nenek yang sudah sulit menyerap cairan." Jelas Ibu panjang lebar.
Akupun tak sempat duduk di ruang tamu, hanya mampir untuk cium tangan pada Ayah kemudian aku langsung bergegas menuju kamar Nenek.
Ternyata keputusanku tepat untuk lari ke sini. Kondisi Nenek sangat mengkhawatirkan. Aku takut tak sempat bertemu dengannya. Aku takut Nenek tak sempat membuka matanya untuk melihat kedatanganku.
Ingin rasanya kubangunkan Nenek yang sedang terlelap demi meyakinkanku kalau dia baik-baik saja. Namun Ibu melarangku. Karna Nenek memang harus bahyak beristirahat.
Kami bercengkrama, mengobrol dan tertawa bersama di ruang tamu. Hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 05:45 sore. Saatnya bagi kami bersiap-siap sholat maghrib berjamaah jika sedang berkumpul seperti ini.
Kamipun bergegas keluar rumah dan menuju pekarangan depan yang terdapat saung lumayan luas untuk tempat kami berjamaah.
Selesai berjamaah, bibi menyiapkan makan malam bersama Pia. Sementara Ayah meroko sambil membaca berita dari gadgetnya.
Aku dan Ibu duduk di teras depan sambil menikmati udara malam yang sejuk karna rindangnya pepohonan yang sengaja ditanam Kakek semasa hidupnya.
"Kamu sedang bermasalah dengan Lani? Gak biasanya kamu muncul tiba-tiba begini. Ada apa? Coba ceritakan sama Ibu."
Ibuku ini memang seperti cenayang yang sering benar tebakannya. Aku bimbang apakah kuceritakan saja semuanya atau tidak.
Ingin rasanya kuceritakan semua pada Ibu. Bahkan soal perasaan terpendamku pada iparku selama ini. Apakah sanggup aku melihat wajah kecewa Ibu.
Karna sudah pasti Ibu akan kecewa jika tahu hubungan kami bertiga begitu rumit. Terlebih lagi aku yang mencintai iparku sendiri.
Tak jarang aku merasa posisiku saat ini disebabkan oleh Ibu. Rasanya ingin kumenyalahkan beliau. Namun tak sampai hati kulakukan. Kadang ada rasa tidak adil dalam diriku melihat bagaimana Ibu memperlakukanku dengan Kakak yang sangat jauh berbeda.
Ingin kubertanya. Apa gerangan yang membuat Ibu terkesan lebih peduli kepada kakak. Apa jangan-jangan aku benar anak pungut.
No comments:
Post a Comment