Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Pengantin Cilik. Bab 12 (Rahasia 1)

 

Seperti yang sudah-sudah, pada akhirnya aku tak pernah mengutarakan isi hatiku tentang betapa Ibu memperlakukan kami sangat berbeda dan itu menjadi tanda tanya besar bagiku. Mungkin bagi yang tidak merasakan dan hanya bisa melihat, mereka akan berkata bahwa itu cuma perasaanku.

Tapi sungguh, aku yang paling merasakan penderitaan ini. Jika banyak di keluarga lain justru si kesayangan adalah anak bungsu, sebaliknya dikeluargaku justru kakaklah si sulung yang selalu jadi kesayangan dan diperhatikan.

Terlebih lagi perkataanku jarang didengar, permintaanku selalu diabaikan. Sebetulnya bukan hanya perlakuan berbeda yang membuatku merasa tidak adil. Tapi seluruh keluarga kami memiliki kulit putih mulus yang cantik bahkan laki-lakinya.

Mereka seperti manekin hidup. Dengan hidung mancung dan kulit bersih, semua orang akan beranggapan bahwa kami eh mereka adalah keturunan atau blasteran asing. 

Dari mulai Nenek, Ibu, Bibi, bahkan sepupu-sepupuku, mereka hampir setipe seperti Kakak. Mempesona dengan kulit bersih dan hidung runcingnya.

Tapi setiap kali aku bercermin, entah kenapa terasa sekali aku bukan keturunan keluarga Nenek. Aku berkulit coklat, meski tidak hitam tapi cukup berbeda dari keluargaku yang lain. Hidungkupun minimalis.

"Apa yang membuatmu lari ke sini? Kenapa kamu tidak memberi kabar dulu? Lagi pula, jika kamu ke sini, Lani siapa yang menjaga kalau Jaka pergi kerja?"

Hmmm, pada akhirnya Ibu tetap mengkhawatirkan Kakak tanpa peduli apa yang aku rasa dan apa yang membuatku memutuskan pergi ke sini. Aku harus jawab apa. Tak ada yang bisa kuungkapkan kepada Ibu. 

Tentang bagaimana Ia menuduhku masih mencintai suaminya walau sebeneranya mungkin saja iya. Ataupun tentang Bang Arya yang masih terus mengejarnya.

"Ka Lani sama Ibu mertuanya koq Bu. Aku kesepian. Makanya aku ke sini." Jawabku ragu dan terbata-bata. Mungkin Ibu menyadari kegugupanku.

Untungnya makan malam yang disiapkan Bibi dan Pia telah siap. Sehingga mereka memanggil kami untuk segera makan bersama. Demi menghindari pertanyaan lainnya dari Ibu, selepas makan aku buru-buru izin beristirahat duluan dan pergi ke kamar Pia. 

Karna kamar tamu digunakan Ibu, maka terpaksa aku tidur bersama Pia. 

Pia mengikutiku ke kamarnya. Pia sama cantiknya dengan Kakak. Aku saja yang perempuan sering terpesona olehnya, apalagi laki-laki. Tapi sampai detik ini tak ada tanda-tanda Pia punya pacar atau sekedar gebetan. Kamipun mengobrol di atas ranjang empuk milik Pia.

"Gimana kabar Lani?"
Pertanyaan pertamanya membuatku muak sebetulnya. Kenapa semua orang di rumah ini bertanya tentang Kakak? Dia itu sedang hamil, bukan sakit. Tapi sepertinya semua orang mengkhawatirkannya. Entah kenapa aku kesal sekali. Tak adakah yang peduli padaku dan bertanya bagaimana kabarku, sekarang sedang kegiatan apa, bagaimana hari-hariku.

Aaah sungguh itu mungkin hanya akan jadi anganku saja. Apa akunya saja yang terlalu baper? Entahlah. Kuanggap pertanyaan Pia hanya basa basi 

"Alhamdulillah Kakak baik-baik saja Pi. Kau sendiri bagaimana? Sepertinya makin kinclong aja nih  apa rahasianya punya kulit sepertimu ya Pi?" Haduuuh pertanyaan aneh macam apa ini. Demi menghindari Pia bertanya tentang Kakak lebih jauh. Aku malah bertanya hal-hal yang tidak penting. 

"Ah kamu bisa aja. Mana ada rahasia. Ga pernah aku pake apapun. Ga pernah pula aku merawat kulit. Kamu kan tahu Abah, mana boleh aku pakai-pakai produk semacam itu. Aku itu cuma boleh sekolah, pengajian, makan, tidur, bantu Ibu di rumah. Persis seperti Kakakmu." 


Jawabannya membuatku berpikir sejenak. Betul juga. Kegiatan mereka sama. Kecuali setelah kakak lulus sekolah dan bekerja. Itupun setiap pulang kerja aku selalu di suruh Ayah menjemputnya. Seolah khawatir di jalan akan ada alien yang menculiknya. Walau sekarang benar sih. Ada alien bernama Arya yang mungkin masih mengintainya.

"Apa kau gak bosan Pi kegiatanmu selalu dibatasi?"
 Tanyaku penasaran.

"Eh, aku kasih tau kamu satu rahasia ya." 

Sumpah aku tegang mendengar Pia berkata demikian. Rahasia? Rahasia apa maksudnya? 

"Keluarga kita itu anak perempuannya memang harus hidup seperti itu Ren. Kami tidak diizinkan jalan-jalan dengan teman-teman bahkan kami jarang sekali berteman dengan orang lain. Bahkan di sekolah. Apa kau tidak sadar? Memangnya kau punya teman?" 

Pertanyaan terakhirnya membuatku berpikir lagi. Memang betul Kakak sama sekali tidak punya teman dekat. Hanya teman yang saling menyapa jika berpapasan. Bahkan kakak tidak pernah bermain sama sekali. Sekedar jalan dengan teman atau bahkan mengerjakan tugas bersama.

Tapi aku? Akupun menjalani hal yang sama. Hanya saja itu bukan larangan. Ayah dan Ibu bahkan tidak pernah melarangku berteman dengan siapapun bahkan tidak pernah berkata bahwa aku tidak boleh bermain.

Tapi kenapa seolah semua yang dikatakan Pia benar adanya. Aku dan kakak hanya pulang pergi sekolah, mengaji, dan kegiatan-kegiatan yang biasa kami lakukan.

Semakin bingung aku dibuatnya. 

"Terus terus Pi? Apa rahasianya? Kenapa kita tidak boleh berteman atau bermain atau kegiatan selain itu semua? Aku koq gak sadar ya Pi. Semua kegiatanku sama denganmu. Tapi Ayah dan Ibu bukan melarangku. Justru itu terjadi begitu saja." 

No comments: