Sudah tiga hari Ka Lani tidak keluar rumah. Ia sibuk di kebun belakang mengurus tanaman-tanamannya. Beberapa kali Ia ingin pergi ke warung mbo Minah tapi kularang. Aku masih takut dengan kejadian beberapa hari silam.
Bang Arya yang begitu menyukai Ka Lani baru mengetahui bahwa wanita pujaannya itu kini telah bersuami. Ia marah bukan main dan mencari-cari Kakak. Entah apa yang dia inginkan.
Bahan makanan di kulkas habis, dan aku harus belanja lagi ke warung Mbo Minah. Tapi kuputuskan untuk berbelanja di mini market saja yang letaknya lebih dekat dari rumah.
Benar saja. Aku bertemu Bang Arya di mini market. Ia menghampiriku.
"Ren, boleh aku ke rumahmu? Aku hanya ingin berbincang dengan Lani. Aku janji tidak akan menyakitinya. Kumohon Ren. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Kumohon Ren." Ia mengiba padaku. Aku yang bingung hanya terdiam namun rasa penasaran membuatku bertanya padanya.
"Apa maksud abang? Dia memang baik-baik aja. Kenapa harus dipastikan? Dia sehat dan bahagia bang dengan suaminya. Sudahlah jangan ganggu rumah tangganya Bang. Abang kan bisa cari perempuan lain. Abang itu laki-laki hebat. Mudah bagi abang mendapatkan wanita manapun." Kataku kemudian. Tapi apa yang keluar dari mulutnya membuatku bergidig ngeri.
"Sudah kuduga. Jadi benar kan dia dipaksa menikahi Ustadz itu? Tidak mungkin dia tidak mencintaiku kan Ren? Sial. Seharusnya aku tidak pergi ke jakarta. Harusnya aku tetap menunggunya disini. Sekarang dia menderita dengan laki-laki sok suci itu."
Dahiku mengernyit menciptakan mata yang menyipit. Apa maksud orang ini? Kenapa dia berpikir begitu? Dia sudah gila. Gila karna cintanya yang berlebihan. Aku tak habis pikir ada orang yang lebih gila ditinggal menikah daripadaku. Kupikir aku menggila setelah ditinggal menikah Ustadz pujaanku. Ternyata ada yang lebih gila.
"Maaf Bang, aku harus pulang. Permisi. Assalamualaikum." Pamitku pada Bang Arya. Tapi dia mencegahku. Dia menarik lenganku kuat-kuat.
"Tunggu Ren. Kamu harus bantu aku. Kita harus selamatkan kakakmu dari suaminya itu. Aku akan atur strategi agar Ia bisa keluar dari rumah dan aku akan menjemputnya."
Demi Allah. Orang ini benar-benar gila. Apa sih yang bikin dia berpikiran kalau pikirannya itu benar?
"Bang. Abang gak boleh begini. Kakak sedang mengandung Bang. Itu artinya dia bahagia. Dia baik-baik aja bang dengan suaminya. Gak ada yang memaksa dia menikah. Itu keinginannya karna mereka memang saling mencintai." Kataku dengan nada sedikit meninggi. Berharap Ia sadar dari khayalannya dengan suara tinggiku.
Tapi sayang. Rupanya cinta membuatnya lebih gila. Ia tak juga mau mengerti. Aku bingung harus berkata apa lagi.
"Nggak Ren. Rupanya kamu lebih mendukung kekuargamu yang memaksakan kehendak mereka dibanding kebahagiaan kakakmu sendiri. Dulu kalian sangat dekat, saling mengerti dan saling menyayangi. Aku tahu itu. Tapi kenapa sekarang kau begini Ren. Kau tega membiarkan pernikahan terpaksa itu terjadi dan membelenggu kakakmu seperti ini. Aku gak akan tinggal diam Ren."
Kali ini aku betul-betul merinding dengan semua kalimatnya. Apa dia berkhayal? Atau ada orang yang meracuni pikirannya dengan cerita-cerita itu?
"Kalau abang tahu aku dan kakak saling memahami, harusnya abang sadar dong aku ga mungkin diam aja kalau memang yang terjadi seperti itu adanya. Tapi nyatanya, kakak sendiri yang menginginkan pernikah itu Bang. Jadi tolong hentikan pikiran-pikiran jelekmu itu." Kataku masih dengan nada tinggi.
Sayangnya, dia tidak juga tersadar. Dia seperti psikopat. Aku jadi takut padanya.
"Terserah abang berpikir apa. Tapi ingat bang. Apapun yang akan abang lakukan setelah ini, itu adalah kesalahan. Abang akan menyesal jika tetap melakukan rencana abang. Ingat perkataanku baik-baik hari ini bang."
Setelah berkata demikian, aku pergi meninggalkannya. Akhirnya aku tidak jadi belanja di mini market. Aku terlalu takut. Aku kembali ke rumah tanpa membawa apapun.
"Lho Ren. Koq ga bawa apa-apa? Mana belanjaannya?" Tanya Kakak yang melihatku pulang dengan tangan kosong.
"Ka, sebaiknya Kakak pergi menyusul Ayah dan Ibu ke rumah Nenek sekarang juga. Kau dalam bahaya jika terus berada di sini." Kataku sambil memegang kedua lengannya.
Ia melepaskan peganganku dan sedikit memundurkan tubuhnya.
"Apa maksudmu Ren? Kenapa kamu ingin aku pergi dari sini? Apa yang terjadi di luar sana tadi?" Tanyanya penasaran.
"Sudah Ka. Percaya saja padaku. Kau lebih aman bersama Ibu daripada di sini." Jawabku singkat.
"Gak mau Ren. Aku gak mau ke mana-mana. Aku mau disini bersama Ka Jaka. Aku ga mau jauh darinya. Aku mau tetap di sini."
Lagi-lagi aku mengernyitkan dahiku tanda bingung dan sedikit kesal.
"Aku tahu ka. Kalau begitu kalian tinggal saja di rumah nenek bersama-sama ya? Bilang sama Ka Jaka kalau kau tiba-tiba ingin dekat dengan nenek? Gimana? Setuju ya Ka?"
"Itu artinya kamu akan sendirian di rumah ini Ren. Nggak Ren. Aku juga gak mau ninggalin kamu."
Ya Allah. Kenapa perempuan ini keras kepala sekali. Kesal aku dibuatnya. Kalau kita pergi semua ke rumah nenek, ga akan cukup untuk kita tidur. Yang ada nanti mereka para orangtua akan jadi bingung.
Sebisa mungkin aku tidak ingin keluarga besarku tahu soal Bang Arya yang gila mencari kakak. Kalau kita pergi bertiga, akan jadi tanda tanya buat mereka. Aku terus membujuk kakak. Namun tidak berhasil.
No comments:
Post a Comment