Siang ini begitu gelap. Cuaca mendung di luar. Gelapnya terlalu pekat hingga seperti malam. Tapi hujan tak juga turun. Sehingga menciptakan suasana sedikit mistis karna siang yang gelap.
Aku yang terbiasa belanja bulanan rutin di mini market tempat ka Lani dulu bekerja, kini sudah tak lagi belanja di sana. Bukan apa-apa, sejujurnya harga-harga di mini market itu sedikit lebih tinggi dari warung tradisional ataupun di pasar.
Tapi karna Ka Lani bekerja di sana. Maka dulu kupikir tidak ada salahnya aku belanja untuk mensejahterakan karyawan mini market yang tak lain adalah kakakku sendiri
Kini aku tak punya alasan lagi belanja di sana. Jadi aku lebih memilih warung Mbo Minah yang letaknya melewati mini market itu.
Saat aku melewati mini market, sekilas aku melihat seperti terjadi sesuatu di sana. Kasak kusuk orang yang lewat sih katanya ada yang bikin keributan di mini market.
Ada orang yang mencari pegawai mini market, namun tidak ketemu dan orang itu marah-marah sambil melempar barang dagangan di area kasir dan rak-rak.
Warga sekitar hanya berani menyaksikan tanpa berbuat apa-apa. Yah seperti itulah mereka. Terlalu pengecut. Tapi akupun tak pantas menghakimi mereka. Lihat saja diriku ini. Disaat mereka tengah sibuk menyaksikan keributan itu, aku malah lebih memilih pergi melanjutkan perjalananku ke warung Mbo Minah demi belanja bulanan yang memang rutin kulakukan.
Apa bedanya aku dengan mereka. Aaah sudahlah. Toh sudah ada keamanan dan warga lain yang seharusnya bisa mengatasi kejadian seperti itu.
Anehnya, aku sama sekali tidak penasaran ada ribut-ribut apa di sana. Tau kenapa?
Lihat saja nanti. Dalam hitungan jam bahkan menit, kabar keributan itu pasti kudapatkan dari sekitar. Desa ini banyak sekali ditinggali oleh para pengghibah yang rutin berghibah setiap harinya. Jadi jangan khawatir ketinggalan berita. Nanti kau juga pasti dengar.
Benar saja. Sesampainya aku di rumah, Ibu-ibu yang kesehariannya rutin bergosip sedang berkumpul tengah membicarakan keributan di mini market tadi.
Dan ternyata keributan tadi adalah Bang Arya yang datang ke mini market mencari Ka Lani. Iya, Bang Arya si preman kampung anak kepala desa yang dulu pernah melamar kakak.
Katanya dia datang mencari Kakak setelah mendengar kenyataan bahwa kakak telah menikah dengan Ustadz Jaka. Betul dugaanku dulu. Dia tidak akan tinggal diam setelah ditolak kakak. Waktu itu dia hanya berpikir Ka Lani sulit ditaklukan oleh laki-laki manapun.
Dia tidak pernah terpikir bahwa pada akhirnya Ka Lani yang dia puja memilih menikah dengan laki-laki lain. Rupanya selama ini Bang Arya berbulan-bulan tidak kelihatan di seluruh penjuru desa ini karna bersekolah di kota.
Dia berniat merubah hidupnya jadi lebih baik demi kakak. Aku sama sekali tidak tahu, apa gerangan yang mereka bicarakan dulu setelah kakak sempat menolak lamarannya.
Tiba-tiba saja beberapa hari kemudian, aku sudah tidak pernah melihat bang Arya lagi. Rupa-rupanya dia tengah menggapai cita di kota.
Aku bergegas masuk ke rumah. Mencari sosok wanita gemuk berbadan dua yang tak lain adalah kakakku. Aku ingin melarangnya keluar rumah demi keselamatannya. Aku yakin Bang Arya kini masih mencari-cari kakak dan sangat murka tentunya.
Aku tahu bagaimana rasanya ditinggal menikah oleh orang yang kita puja-puja. Bedanya adalah aku masih berkepala dingin dan tentu saja terlalu gengsi mempertontonkan betapa terlukanya aku.
Berbeda dengan Bang Arya, yang selalu mendapatkan apa saja keinginannya sejak kecil. Hidup di lingkungan berkecukupan dan dikelilingin orang-orang yang selalu menurut padanya, membua Ia tumbuh menjadi pribadi yang congkak dan tidak mau mengalah dalam hal apapun.
Aku mencari ke dapur, kakak tidak ada. Kuketuk pintu kamarnyapun tidak juga ada. Aku berlari ke lantai atas, walaupun aku tahu dia pasti juga tidak ada di atas. Karna memang sejak hamil, dia mulai merasa lelah jika harus naik turun tangga.
Tapi aku tetap ingin memastikan apakah dia ada atau tidak. Seisi rumah tampak sepi. Sejak Ayah dan Ibu lebih sering menginap di rumah nenek karna nenek sudah sering sakit-sakitan, aku lebih sering sendiri di dalam rumah.
Karna Ka Jaka bekerja dan Ka Lani lebih suka berjalan-jalan atau mengurus tanaman di kebun belakang rumah kami. Itu kegiatan kesehariannya. Tapi di kebunpun dia tak ada.
Aku mulai panik. Ke mana dia. Atau jangan-jangan bang Arya berhasil menemuinya dan membawa paksa dirinya entah ke mana.
Aku bergegas masuk ke kamar, kuraih ponsel di atas nakas samping ranjangku. Kutekan tombol angka dua. Setting panggilan cepat diponselku memang belum pernah kuganti meski ingin.
Dulu, sebelum kakak menikah, kami sering berteleponan meski hanya terpisah jarak kamar dari lantai bawah ke lantai atas. Kakak memang lebih memilih kamar di lantai bawah karna dia terlalu malas naik ke lantai atas. Hanya itu alasannya. Alhasil, kami sering sekali mengobrol via telepon ataupum chat.
Angka dua adalah tombol cepat nomor ponsel Kakak, angka tiga nomor Ibu dan angka empat nomor Ayah. Saat Ia menikah dan aku marah, aku sempat menghapus kontak kakak dan berniat mengganti tombol cepat itu. Tapi pada akhirnya kuurungkan niatku karna kupikir aku tak pantas marah padanya.
Ponselnya tersambung, tapi tak juga diangkat. Aku bingung dan gelisah. Kuputuskan keluar mencari kakak. Aku menelusuri jalan desa yang naik turun dan ada beberapa bukit di kiri kanan jalan.
Dari kejauhan tampak siluet seorang laki-laki yang kuyakini adalah Bang Arya. Ya Allah, sedang apa dia berdiri di bukit terjal seperti itu?
No comments:
Post a Comment