Waktu cepat sekali berlalu. Tiba-tiba saja Ka Lani sudah mengandung bulan ke tujuh. Tidak seperti penduduk desa lainnya, keluarga kami terutama Ustadz Jaka tidak mengadakan tradisi adat desa nuju bulanan. Bagi kami itu tidak ada dalam tuntunan Rasulullah. Dan kami yakin acara seperti itu tidaklah wajib dilaksanakan.
Namun seperti biasa. Tetangga sama dengan netizen. Bedanya hanya dimulut dan dijari. Tapi sama-sama pedas. Kasak kusuk di belakang kami soal Ka Lani yang tidak mengadakan acara nuju bulanan membuat kami sedikit geram sebenarnya.
Mereka bicara seolah keluarga kami pelit dan kikir tidak mau keluar biaya besar untuk acara nuju bulanan yang memang biasanya butuh budget yang lumayan besarnya di desa ini.
Bagaimana tidak. Acara berlangsung berhari-hari, dengan jamuan makan yang harus kami sediakan untuk para tamu undangan. Belum lagi acara-acara adat lainnya yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Itu sebabnya mereka yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa menilai keluarga kami dari luar beranggapan kami ini pelit bin medit. Tak mau pusing dengan apa yang diperbincangkan dibelakang kami, maka kami putuskan untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan itu dengan tidak ikut nimbrung jika ibu-ibu sedang berkumpul.
"Dek, lihat kakakmu?". Tiba-tiba saja sosok santun nan rupawan yang masih selalu kukagumi itu berdiri di hadapanku dan bertanya tentang istrinya. Aku merasa sangat canggung. Karna ini memang pertama kalinya kami bicara sejak dia masuk rumah ini.
Ya, aku memutuskan untuk selalu menghindari laki-laki ini. Bagaimanapun caranya aku selalu menghindari berpapasan dengannya. Tapi hari ini sepertinya aku sial. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau kami sedang berada dalam satu ruangan.
Biasanya, ketika dia di ruang tamu, maka aku akan ke dapur atau ke kamarku. Meski aku butuh ke dapur, jika ada dia maka aku akan melengos dan tidak jadi masuk dapur.
"Kenapa? Koq kaget sekali?". Tanyanya padaku sambil menatap wajahku yang mungkin saja memerah karna canggung dan malu.
"Ah engga ka, aku juga gak tau dimana ka Lani. Mungkin ke warung depan". Jawabku sambil membalik badan dan ingin segera beranjak meninggalkannya.
"Sebentar Dek. Mumpung cuma berdua. Eh maaf saya ga ada maksud kurang ajar. Cuma maksudnya yang mau saya tanyakan ini memang lebih baik cuma kita yang tahu".
Seketika jantungku seperti dihantam godam berkali-kali. Dag dig dug dag dig dug serasa mau keluar dari raganya. Apa gerangan yang ingin dia tanyakan. Kenapa aku ketakutan sekali.
"Maaf ya Dek sebelumnya. Apa kamu benci sekali padaku?".
Akupun membalikkan badan demi melihat raut wajahnya dengan pertanyaan itu.
"Serius ka Jaka mikir aku benci sama kaka?". Aku balik bertanya sambil sedikit melongo karna heran. Kenapa pula dia berpikir begitu.
"Entahlah, mungkin karna kamu terlihat sekali menghindariku. Kakakmupun tahu itu. Tapi dia tidak mau juga membicarakanmu padaku. Dia hanya bilang kau canggung karna jarang bergaul dengan laki-laki. Tapi setahuku teman laki-lakimu cukup banyak dan sepertinya kau biasa saja dengan mereka. Berbeda kepadaku yang justru kita ini sudah satu keluarga. Maaf kalau aku salah duga. Tapi memang terkesan seperti itu".
Aku bingung mau menjawab apa. Terus terang saja dia ada benarnya aku memang menghindarinya. Tapi aku bukan membencinya. Haruskah kukatakan bahwa hatiku sakit dan terluka dengan pernikahan mereka. Haruskah kujujur padanya tentang perasaan ini?
Aaah tidak. Bagaimana bisa aku bicara demikian, sedangkan saat ini pria di hadapanku ini adalah iparku. Sumpah demi apapun aku bingung. Rasanya aku ingin lari saja dari hadapannya tanpa menjawab apapun.
Tapi jika itu kulakukan, pasti hanya akan menambah pertanyaan lainnya dikemudian hari. Tapi aku bingung harus menjawab apa.
Alhamdulillah Allah menolong hambanya disaat yang selalu tepat. Tak pernah terlambat, tak juga terlalu cepat.
Tiba-tiba Ka Lani masuk memberi salam.
"Assalamualaikum....."
"Waalaikumsalam...." jawabku dan Ka Jaka berbarengan.
"Maaf Ka, aku banyak kerjaan. Permisi dulu" kataku sambil pergi meninggalkan mereka. Terlihat semburat wajah penuh tanya pada Ka Lani. Tak tahu apa yang dia pikirkan melihatku dan suaminya yang kucinta. Maksudku yang pernah aku sukai sedang berbincang.
Aaah rasanya serba salah tinggal di rumah ini. Aku ingin cepat lulus dan meninggalkan desa ini secepatnya. Meraih mimpiku di kota besar nanti dan melupakan segala rasa sakit ini.
No comments:
Post a Comment