Akhirnya hari yang ditunggu banyak orangpun tiba. Ya, Kakakku menikahi Ustadz Jaka pada akhirnya. Tidak ada pilihan lain. Ini demi Ibu. Itu sih kata mereka. Bagiku, tetap saja ini hanya demi kebahagiaan banyak orang selain diriku.
Katanya, jika jatuh cinta pada makhlukNya, berdoalah saja. Minta didekatkan jika Ia memang baik bagimu. Tapi apa? Dia malah jadi iparku. Hhh.... Malangnya nasibku. Apakah aku berdosa?
Ampuniku ya Allah. Yang merasa diperlakukan tidak adil. Yang merasa Engkau tidak memihakku. Padahal jika boleh dikata, mungkin aku yang tidak baik bagi Ustadz Jaka. Bukankah yang baik bagi yang baik, begitupula sebaliknya? Kenapa masih kupertanyakan.
Ampuniku sekali lagi ya Allah. Bayang-bayangnya mengucap ijab qabul membuat bulu kudukku bergidik hebat. Tak terasa air mata jatuh berderaian.
Saat ini, pengantin cantik itu tengah berdiri dengan gaun muslimah indahnya yang meliuk liuk diterpa angin. Wajah putih meronanya menyilaukanku dan menyadarkanku bahwa memanglah Ia yang pantas menjadi istri Ustadz Jaka.
"Ran, maafkan aku harus seperti ini. Jangan membenciku. Aku sayang kamu tapi aku juga sayang Ibu. Aku tidak ingin menyakitimu tapi aku juga ingin berbakti kepadanya."
Sambil terisak dia berujar diambang pintu kamarku yang terbuka lebar. Aku berdiri tepat dihadapan jendela yang juga kubuka lebar sehingga menciptakan angin yang begitu kuat menerpa gaun cantik kakakku.
Aku tak dapat berkata apa-apa. Hanya diam. Ya, sepanjang hari pernikahan kakakku, aku hanya terdiam. Semua orang sepertinya bisa merasakan aura negatif yang ada dalam diriku setiap kali mereka melihatku.
Selesai sudah kisahku yang kusembunyikan untuk pujaanku. Kini aku harus rela dia menjadi iparku. Bagaimana aku menghadapi mereka? Dalam satu rumah seperti ini. Aku bingung.
Alhamdulillah selepas kakak menikah, keadaan Ibu menjadi lebih baik. Bahkan jauh lebih baik. Aku jadi berpikir yang bukan-bukan. Apakah Ibu hanya pura-pura sakit agar kakak segera menikah? Jahatnya Ia jika memang seperti itu. Aaaah....... Aku benci mereka. Aku kesal pada Ibu.
"Ren, bagaimana sekolahmu? Sebentar lagi kamu naik kelas tiga. Apa sudah dipikirkan setelah ini mau bagaimana? Ayah dengar dari kakakmu sepertinya cita-citamu tinggi. Benar kamu mau meneruskan kuliah di Jakarta? Kalau benar seperti itu, Ayah harus bersiap menjual sawah kita".
Tiba-tiba saja Ayah membicarakan soal sekolahku di momen-momen sakral seperti ini. Para tamu undangan tengah menikmati hidangan, pengantin yang masih terpajang di singgasana satu hari itupun masih terlihat memikat. Sedang aku dan Ayah duduk di kursi tamu tak jauh dari singgasana pengantin.
Entah apa yang Ayah pikirkan. Tiba-tiba saja beliau membicarakan soal masa depanku. Padahal sebelumnya, Ayah tidak pernah antusias soal sekolah kami. Aku dan Kak Lani. Itu sebabnya Kak Lani hanya lulus SMA saja. Bagi kami yang tinggal di kampung seperti ini, jika bisa makan dan hidup tidak kekurangan saja sudah cukup. Tak pernah terpikir soal sekolah tinggi-tinggi.
Namun, aku yang memang ingin sekali merubah stigma di kampung ini bahwa hidup yang penting bisa makan saja, sangat ingin memperlihatkan kepada semua bahwa hidup itu juga harus bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Aku ingin sekali di kampung ini ada Dokter. Agar penduduk sini merubah mind set mereka yang segalanya butuh bantuan orang pintar. Yah, begitulah desa kecil ini. Kami masih sangat terbelakang soal pendidikan. Selain sekolah yang hanya ada satu, tenaga pengajar yang terbatas, akses ke kotapun yang cukup jauh menjadi salah satu sebab desa ini tertinggal.
Para ibu yang melahirkan hanya dibantu dukun beranak turun temurun. Jika sakit, kami lebih memilih mendatangi kyai tapa yang katanya orang pintar. Tinggi ilmu agamanya hingga dapat menyembuhkan berbagai penyakit atas kehendak Allah melalui perantaranya.
Aku teringat saat dimana Ibu harus dilarikan ke Rumah Sakit karna sakitnya yang terkadang kambuh. Jika bukan karna aku yang sejak awal ngotot membawa Ibu ke Rumah Sakit, entah apa yang sudah terjadi pada Ibu.
Jarak yang cukup jauh memang mengakibatkan kami berpikir panjang membawa Ibu jauh-jauh ke Rumah Sakit. Syukurnya meski desa ini terbelakang, masih ada orang-orang seperti keluarga Ustadz Jaka, Pak Kades, dan keluarga Bu Broto yang kaya raya yang memiliki kendaraan untuk kami warga kampung wara wiri keluar desa.
Syukurnya lagi, mereka cukup dermawan meminjamkan apapun kebutuhan warga kampung ini. Aku memang sangat ingin sekali menjadi seorang Dokter kelak. Namun, mengingat biaya yang tidak murah, membuat cita-cita itu hanya sebatas obrolan saja dengan Kak Lani.
"Kenapa tiba-tiba Ayah tanya itu? Rena cuma ngomong kosong aja Yah. Gimana mungkin Rena sekolah ke Jakarta kalau harus mengorbankan sawah kita". Kataku coba menjelaskan.
"Ren, waktu Ayah denger dari kakakmu soal cita-citamu. Ayah sampai meneteskan air mata. Ayah terharu ternyata anak Ayah punya cita-cita yang begitu tinggi dan bahkan mulia. Ayah kepingin sekali mewujudkan itu Ren. Tidak apa-apa kalau Ayah harus jual sawah demi cita-cita itu. Wujudkan Ren. Sekolahlah kamu di Jakarta. Persiapkan segalanya dari sekarang. Ayah dukung sampai akhir nafas Ayah".
Air mataku tak terasa menetes. Aku tak menyangka ternyata Ayah berpikiran terbuka. Beliau lain sekali dengan warga kampung sini. Aku bangga padanya. Lagipula kupikir ada baiknya aku pergi jauh dari sini. Daripada menyaksikan keluarga baru Kak Lani yang menyayat hati. Akupun bertekad untuk pergi ke Jakarta. Sayangnya, itu masih satu tahun lagi. Karna aku baru kelas 2 SMA.
Resepsi telah selesai. Suasana ramai masih menciptakan kebisingan ditelingaku. Aku memilih masuk kamar. Kakak dan Ustadz Jaka masih akan tinggal serumah dengan kami. Entah kenapa Kakak tidak ingin dibawa Ustadz Jaka ke rumah orangtuanya
lagi-lagi pikiran negatifku menghinggap. Apa dia sengaja lebih memilih tinggal disini untuk menunjukkan padaku kalau Ustadz Jaka sekarang miliknya? Apa dia sengaja supaya aku tidak lagi curhat soal betapa tergila-gilanya aku pada lelaki itu. Ya Allah, kenapa belakangan aku jadi sering sekali suudzon.
Aah entahlah. Aku belum berbicara dengan kak Lani hingga sekarang. Sudah satu minggu sejak mereka menikah dan masih tinggal di rumah ini. Hatiku tak sanggup. Bukan aku membenci kakak. Lagipula rasanya itu tidak wajar.
Tapi tak dapat kusangkal perasaan kesal setiap kali melihat kemesraan mereka berdua yang terkadang tertangkap basah di depan kedua mataku. Padahal mereka suami istri dan aku bukan madunya. Aku ini adik mereka. Tak wajar rasanya jika masih cemburu.
Sampai kapan aku harus menahan perasaan seperti ini. Kenapa makin hari aku merasa Kak Lani semakin menjauh dariku. Bukankah seharusnya dia bersikap baik padaku yang telah disakitinya?
Kenapa aku merasa justru belakangan ini dia yang marah padaku bukan sebaliknya. Rasanya kesal. Tapi sekali lagi ini hanya perasaanku saja. Kuberharap waktu segera berlalu dengan cepat agar aku bisa segera pergi menimba ilmu di Jakarta.
No comments:
Post a Comment