Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Pengantin cilik. Bab 2. (Kak Lani)

BAB 2.
Kak Lani. 

Air mata berderai tak hentinya. Sampai akhirnya kudengar ketukan dari balik pintu kamar yang ternyata Kakak. Ia baru saja pulang dari mini market. Mendapati keluarga Ustadz Jaka datang melamar, Ia segera meminta izin untuk sebentar meninggalkan mereka demi menemuiku terlebih dahulu.

"Aku tahu kamu patah hati Ren. Maafkan. Meski aku sama sekali gak bisa mengontrol hati dan perasaan orang lain termasuk Ustadz Jaka, aku tetap sungguh-sungguh minta maaf. Kamu gak perlu khawatir Ren. Aku sudah pasti akan menolak lamarannya. Gak mungkin kalau itu menyakiti adikku satu-satunya".

Sambil mengusap lembut kepalaku Ia berujar. Sampai detik ini sebetulnya aku tidak tahu bagaimana perasaan kakak terhadap Ustadz Jaka. Apakah jangan-jangan selama ini kakak juga memendam rasa yang sama?

Secara Ustadz memang sosok laki-laki yang memiliki seribu satu lebih alasan bagi perempuan untuk tertarik padanya. Bisa saja kakak hanya menjaga perasaanku dengan diam dan tak menunjukan rasa sukanya pada Ustadz Jaka selama ini.

Aku sadar betul. Selamanya aku tidak mungkin menjadi pendamping hidup Ustadz Jaka. Bagaimana mungkin. Beliau hanya menganggapku anak kecil. Mana mungkin kan baginya menikahi anak kecil sepertiku. Terlebih lagi, sainganku adalah Kak Lani. Sosok perempuan yang juga memiliki seribu satu lebih alasan bagi kaum adam tertarik padanya.

Apalah aku ini. Seharusnya aku bangun dari anganku dan mengikhlaskan mereka menikah saja. Mereka sangat cocok bersanding. Tidak ada alasan bagiku menentang pernikahan mereka.

"Kakak yakin menolak lamaran Ustadz? Tidak akan menyesal? Hanya karna aku?". Tanyaku masih dengan butiran air mata dipipi sambil memeluk bantal yang basah karna tangisku.

"Kalau itu membuatmu senang dan tidak membuat kita berselisih. Apa yang harus disesali? Kakak bakal menyesal menikahi Ustadz kalau setelahnya jadi bermusuhan sama kamu. Dengan kakak menolak, gak akan ada yang terjadi kan? Kita ga ada masalah, kakak dan ustadz melanjutkan hidup masing-masing. Termasuk kamu".
Jawabnya sambil terus mengelus kepalaku.

Kakakku memang bijak. Segala keputusannya tentu sudah Ia pikirkan matang-matang. Aku percaya padanya. 

Tapi sayang, sesuatu yang buruk terjadi. Tiba-tiba saja Ibu ambruk. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sehingga kami harus bergegas membawanya ke Rumah Sakit.

Di ruang tamu lantai bawah mereka jadi ribut sekali. Terutama bik Minah yang kaget karna posisinya berada disamping Ibu ketika Ibu jatuh tersungkur ke lantai saat akan menyiapkan teh untuk keluarga tamu yang datang melamar kakak.

Ustadz Jaka tak kalah panik. Namun masih dengan sikap tenang yang bagiku selalu terlihat keren. Apapun yang terjadi disekitarnya, Ustadz Jaka selalu bisa mengendalikan sikapnya dengan tenang.

Ia yang paling tenang membantu Ayah membopong Ibu masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir di pekarangan rumah kami. 

Sesampainya di Rumah Sakit, Dokter segera menangani Ibu. Kami semua hanya bisa menanti dengan perasaan yang tak tergambarkan bagaimana paniknya. Doa dan istigfar tak lepas dari mulutku bahkan semua orang yang menunggu di lorong Rumah Sakit termasuk Ustadz Jaka dan keluarganya.

"Maafkan kejadian ini jadi membuat perbincangan kita terhenti ya Pak'. Kata Ayah mengawali pembicaraan dengan Ayahnya Ustadz Jaka yang juga ikut serta membawa Ibu ke Rumah Sakit. 

"Tidak apa-apa Pak. Masih bisa kita lanjutkan setelah Ibu sehat. Lagi pula, ini juga jadi waktu untuk 'Nak Lani memikirkan lamaran ini. Apakah dilanjutkan ataukah dihentikan yang berarti 'Nak Lani menolak". Sahut Pak Sapto Ayahnya Ustadz Jaka.

Aku tahu, saat itu sebetulnya Kak Lani ingin langsung menjawab lamaran Ustadz disitu, detik itu juga. Namun, belum sempat Ia mengutarakan perihal penolakan lamaran itu, Dokter tiba-tiba keluar ruangan dan menghampiri kami semua.

"Semuanya keluarga Ibu Siti?". Tanya Dokter memastikan.

Kemudian Ayah dengan sigap menjawab. "Iya betul Dok. Kami semua keluarganya. Bagaimana istri saya Dok?".

"Jadi gini Pak. Sebetulnya, Ibu masih harus banyak istirahat. Saya sudah katakan bahwa beliau tidak boleh banyak gerak dan bicara. Karna kondisinya yang mengkhawatirkan".

Kami semua memang sudah tahu penyakit kambuhan Ibu. Darah tinggi dan kolesterol yang jika kambuh bersamaan, ya akan seperti ini jadinya. Tapi sudah cukup lama penyakit Ibu tidak kambuh. Bahkan kami pikir, Ibu sudah sembuh total. Tapi kejadian hari ini menyadarkan kami bahwa selama ini kami lalai merawat Ibu.

Dokter melanjutkan ucapannya. "Ibu sangat ingin menyampaikan sesuatu pada keluarganya. Sehingga Beliau memaksa saya untuk membawa anda semua ke ruangan. Saya tidak bisa menolak karna takut akan lebih buruk keadaannya jika dipaksakan. Jadi kalian boleh masuk tapi dimohon dengan sangat untuk bisa setenang mungkin dan jangan gaduh".

Kamipun masuk bersamaan hingga memenuhi semua ruangan. Demi mendengar permintaan Ibu yang entah apa. Rasanya aku ingin menghampirinya dan mengomel pada Ibu untuk diam dan istirahat saja. Namun sekali lagi. Apalah aku ini. Yang kata-katanya tidak pernah didengar olehnya. Bukan hanya oleh Ibu. Rasa-rasanya di dunia ini, satu-satunya orang yang sudi mendengarkanku hanyalah Kak Lani. 

Apapun yang kukatakan, meski itu tidak penting. Pasti Kak Lani mendengarkan dengan serius. Walau terkadang endingnya kami tertawa. Karna bicaraku yang banyak melantur dan tak penting.

Keadaan menjadi hening. Kami semua menatap wajah Ibu yang pucat pasi. Dengan selang oksigen dihidungnya dan beberapa infusan ditangannya.

Dengan hati-hati, Ayah membantu Ibu melepas selang oksigen agar Ibu dapat berbicara lebih jelas. 

"Lani, Jaka. Ibu ini sudah tua. Wajar jika akan seperti ini. Mungkin ke depannya akan lebih sering. Atau mungkin Ibu gak punya banyak waktu. Kita gak pernah tahu umur seseorang. Untuk itu, Ibu ingin pernikahan kalian dipercepat saja".

Wajahku panas, mataku melotot kaget. Apa yang Ibu katakan. Kenapa tiba-tiba begini. Bukankah Kak Lani pasti akan menolak lamaran itu demi aku. Kenapa justru Ibu menerima begitu saja. Seolah beliau yang akan menikah. Apa dia tidak mempedulikan perasaan Kakak?

Sambil dengan nafas sedikit tersengal-sengal Ibu bicara. "Ibu sadar betul kalau Lani belum menjawab lamaranmu 'Nak Jaka. Tapi Ibu lebih tahu perasaan Lani".

Belum selesai Ibu bicara. Kak Lani tiba-tiba memotong perkataan Ibu dengan wajah dan mata yang tak dapat kugambarkan apa maksudnya.

"Ibu.....". Sergah Lani demi menghentikan omongan Ibu. Namun Ibu tidak peduli dan terus saja bicara tanpa mendengarkan Kakak. Ini kali pertama ada orang yang tidak mendengarkan ucapan Kak Lani.

Yah, Kak Lani memang sosok perempuan luar biasa. Selain cantik dan pintar, Ia juga seperti memiliki kekuatan magis yang dapat membuat semua orang terpaku padanya ketika Ia sedang bicara.

Tapi tidak kali ini. Ibu tak terpengaruh dengan ucapan dan tatapan Kak Lani dan terus saja bicara. Seolah tak ada orang yang boleh menghentikannya.

"Meski Lani belum menjawab. Ibu tahu betul perasaan Lani terhadapmu 'Nak Jaka. Ia sering sekali menceritakan tentang kamu. Tentang kekagumannya pada sosokmu dan tentu saja Ia telah lama jatuh hati padamu".

"Buu....". 
Ka Lani masih mencoba memotong ucapan Ibu. Kini wajahnya berubah pucat dan salah tingkah.

Aku tahu Ia malu karna Ibu mengatakan tentang perasaannya pada Ustadz Jaka. Disamping itu, Iapun takut padaku yang sedari tadi tengah memandangnya lekat-lekat. Pertanda bahwa aku kecewa padanya.

Jadi ternyata selama ini Kakak sering curhat pada Ibu tentang hatinya. Aku merasa dibohongi. Sakitku semakin jadi. Melebihi sebelumnya.

Aku menahan tangis. Perlahan aku keluar dari ruangan yang sesak dengan keluarga besar kami. Tak ada seorangpun yang peduli dengan kepergianku.

Aku menghilang dari balik pintu ruang rawat. Berlari keluar dan tanpa sadar menghentikan angkutan umum menuju pulang.

Bergegas masuk rumah, menaiki anak tangga tanpa peduli langkahku yang mungkin saja dapat mencelakaiku. Berlari menuju kamarku di lantai atas rumah kami.

Kembali aku memeluk bantalku yang rasanya belum kering dari air mata sebelumnya. Menangis sendirian dengan hati yang patah tanpa ada yag memperdulikan.

Bahkan Kak Lani tak mengejarku. Tidak berusaha menghentikan langkahku yang bisa saja aku mencelakai diriku sendiri yang sedang patah hati ini.

Apa kelanjutan pembicaraan mereka? Aku takut akan kejadian selanjutnya. Mungkinkah pada akhirnya aku harus merelakan pujaan hatiku menikahi kakakku tersayang?

Yang ditunggu akhirnya tiba. Kak Lani masuk perlahan ke kamarku. Menghampiriku yang masih terisak.

"Gak perlu jelasin apa-apa Kak. Rena sadar betul posisi Rena dimana. Ya, Rena ga ada dimanapun Kak. Entah di rumah ini, di luar, di sekolah, dimanapun tak ada yang menganggap Rena ada. Kalian semua gak ada yang peduli". Kataku sambil terisak tanpa memperdulikan bagaimana wajah Kak Lani menghadapiku yang tengah patah hati bertubi-tubi.

"Ren, maafin Ibu. Ibu sama sekali gak tau perasaan kamu ke Ustadz Jaka. Makanya tadi bicara begitu. Perihal perasaan kakak yang Ibu utarakan. Rasanya Ibu salah paham. Aku memang pernah beberapa kali membicarakan tentang Ustadz Jaka ke Ibu. Tapi aku cuma cerita tentang cowo unik yang mengajar di surau. Itu aja. Gak lebih Ren".

"Unik? Unik katamu Kak? Jadi itu gambaran tentang Ustadz dihati kakak? Unik? Artinya, dia berbeda dari laki-laki kebanyakan yang setiap hari kakak temui kan? Jelas Ibu sadar perasaan kakak. Dari kalimat kakak itu aja semua orang pasti bisa menebak Kak".

Kak Lani hanya terdiam. Sepertinya skak mat. Benar adanya ucapanku itu. Dengan kata lain, aku sendiri yang membongkar perasaan terdalam kakakku yang selama ini tersembunyi.

Fix. Dia benar-benar mencintai Ustadz Jaka. Hanya saja dia pandai menutupinya. Tidak sepertiku yang selalu ekspresif setiap kali melihat sosok Ustadz Jaka nan rupawan itu.

Bersambung ke "BAB 3"

No comments: