Terima kasih kami ucapkan kepada semua yang sudah berpartisipasi mengirimkan tulisan ke BLog Cerpen, Baik karya sendiri maupun artikel dari sumber lain. Mohon maaf kepada yang kiriman tulisannya belum bisa kami muat dikarenakan keterbatasan waktu...!!!

Jodoh PilihanMu (Adiba)

Pic. from Google
Namaku Adiba Shakila, aku gadis SMA biasa yang kebetulan memiliki banyak kelebihan kalau kata orang-orang. Sejak lahir aku sudah dimanja, orangtuaku pengusaha. Semua kemewahan yang diberikan orangtuaku terkadang membuatku sedikit sombong.

Teman-teman bilang aku pemilih. Jika bermain, aku lebih suka berkelompok dengan anak-anak pengusaha lain di sekolah. Padahal itu semua tidak benar. Justru merekalah yang mendekatiku, dan tanpa sadar kami jadi kelompok. Kami yang ke mana-mana selalu di antar supir, main di mall, shopping, belajar seperlunya banyak membuat iri anak-anak lain.

Namun demikian, kami bukanlah kumpulan gadis manja berotak kosong. Karna bagi kami, cerdas itu keren. Itu motto geng kami. Geng? iya, ditahun-tahun seperti sekarang ini, sudah hal yang sangat biasa jika anak-anak sekolahan memiliki kelompok yang disebut geng. Luar biasanya dari kami, selain cantik, gaul, dan anak pengusaha, kami juga selalu juara kelas di sekolah. Aku, Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari selalu peringkat 5 teratas disekolah. Tentu saja akulah yang selalu peringkat 1. Itu sebabnya teman-teman lain bilang, akulah Mommy Gengnya.


"Hai, lagi ngapain?" Sapaku pada sosok cowok yang sedang mengikat tali sepatu di depan Musholla sekolah. "Habis sholat ya? Emang ada sholat jam segini?" Tanyaku berlanjut. Tapi sayang, cowok ini rupanya sedikit sombong. Namun justru itu yang membuatku tanpa sadar tertarik dengan sosoknya. Awalnya sih ngga seperti itu.

"Ih ditanya diem aja, boleh minta tolong gak. Keran di toilet cewek gak bisa ditutup. Airnya ngalir terus. Bisa tolong diliat ada masalah apa?". Tanyaku padanya lagi. Kebetulan toilet memang letaknya tidak jauh dari Musholla, dan malah kelihatan jelas dari sebrangnya.

"Kan sayang air bersih terbuang percuma jadinya." Lanjutku kemudian. Tapi cowok ini super duper sombong. Dia terus saja terdiam. Kemudian dia bangkit setelah selesai mengikat tali sepatunya. Berjalan tanpa mempedulikanku. Tapi tiba-tiba, dia berhenti tepat di depan toilet wanita, kemudian sedikit berteriak ke arahku yang masih terdiam di depan Musholla karna merasa dicuekin.

"Hei ukhti, tolong jaga di depan sini. Supaya kalo ada yang mau masuk, ukhti bisa kasih tau saya agar saya segera keluar dulu." 

Aku berlari kecil ke arahnya dengan senang. Karna ternyata dia bukan cuek, hanya...... mmm.... hanya apa ya? Kenapa juga dia begitu? Tadi cuek, tapi tiba-tiba mau bantu. Aneh.

"Ok, gue tunggu di sini. Tolong dicek ya. Mmmh, nama gue Adiba. Adiba Shakila. Lu boleh panggil gue Diba atau Shaki. Kayanya lu salah orang. Gue bukaaan..... siapa tadi lu panggil? Uti? Nama gue bukan Uti." Kataku sambil berdiri di ambang pintu toilet menunggunya mengecek keadaan keran air.

"Jadi ini keran cuma kurang dorongan. Di dorong sedikit, langsung nutup koq airnya. Ya sudah, sudah selesai. Saya permisi dulu." 

"Ya ampun, ini laki-laki bener-bener yah. Sama sekali lho gak peduliin omongan gue. Bahkan dia salah panggil nama dan gak minta maaf. Hhhh.... apa-apaan sih. Baru kali ini ada cowok begitu ke gue. Kesel banget."

**********
"Dari mana aja loo?" Kata Nadya sambil menyuap chiki yang sedang dipegangnya.

"Eh, lu tau gak cowok itu? Yang lagi berdiri di depan kasir?" Tanyaku pada Nadiva, Nadya, Utami, dan Tari. Kemudian mereka menengok berbarengan.

"Ooh Ibra. Kenallah. Dia kan terkenal. Ganteng, Pinter, Ketua Rohis, Ketua Ekskul Basket, dan cuek banget sama perempuan. Kata anak-anak yah, dia homo." Jawab Nadiva sambil terus mengunyah cemilan yang sedari tadi Ia makan tak henti-henti.

"Eeeuuuuhhh....." Jerit kami berempat mendengar jawaban Nadiva. 

"Pantes aja tadi gue dicuekin abis. Gue Nad, gue.... masa sih dia gak nengok sama sekali diajak ngomong Adiba Shakila. Mana dia kagak tau nama gue, malah gue dipanggil uti. Dia pikir gue neneknya apah."

"Bhakakakakka.........". Nadya, Utami dan Tari tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Yang membuat mereka tertawa bukan karna si "Ibra" ini nyuekin aku. Tapi karna aku gagal paham dengan maksud panggilannya si Ibra tadi.

"Aduh Diiib, lu goblok banget sik. Dia itu kan yang muslim taat banget gitu yah. Maksudnya dia itu 'ukhti' bukan 'uti'. Ampun deh Miss Endonesah satu ini." Kata Nadiva menjelaskan kembali.

"Naaah itu tuh bener, tadi dia panggil gue ukhti ada ukh ukh nya gitu."

"Bhakakakakakaka...................." Mereka berempat malah makin keras ketawanya. Sumpah ngeselin abis. Rasanya mau kutampar wajah mereka satu persatu. 

"Ya ampuuun Diib. Elo pinter, cantik, beken, tapi sayang yah. Agama lu minim. Hahahaah." Tambah Tari kemudian.

"Dibaa, sini 'barbie' kasih tau." Kata Utami sambil merangkulku. "Ukhti itu bahasa arab, artinya panggilan untuk saudariku perempuan. Begituuu."

"Haduuuh ya ampuuun, tu orang lahir di arab? Dia udah gila ya. Ngomong bahasa arab di Indonesia. Yamanalah hamba mengertiii. Lagian, emang kapan gue pernah kawin ama sodaranya. Huh". Kataku dengan kesal.

"Hahahahahhaha....." Kami tertawa bersama. Dan seperti biasa, geng kami memang selalu jadi pusat perhatian di pojokan manapun kami nongkrong di sekolah. Tapi kami cuek saja. Kepercayaan diri kami sungguh tinggi, karna kemampuan otak kami. Bukan karna kami anak pengusaha atau sering gonta ganti mobil. Itulah kami. Tapi yaa betul seperti yang dikatakan Tari. Agama kami memang minim. Entah dari mana mereka tau istilah Ukhti Ukhti itu.

Baiklah, kita sudahi dulu cerita tentang si Ibra. Karna satu dia gak penting di cerita kali ini, dua dia bukan tokoh utamanya, tiga dia homo. Yaaah meski itu baru kabar burung sih. Tapi bisa jadi bener. Lagiaan mana ada cowok yang gak suka sama Adiba Shakila. Aku cewek yang paling WOW di sekolah ini, dilirikpun tidak sama dia. Apa namanya kalo bukan homo? Iiiiih.....

Singkatnya, kami akhirnya menghadapi ujian akhir sekolah. Sebentar lagi kami akan jadi mahasiswi, itupun kalo lulus sih. Hihihihi. Tapi dengan otak kami yang gak setengah-setengah ini, aku yakin. Aku, Nadiva, Nadya, Tari dan Utami pasti lulus bareng-bareng.

Eh...eh tunggu. Ngomong-ngomong yah. Koq Ibra? kenapa namanya terdengar aneh ya. Agak mengganggu pikiran. Jadi kepo banget deh. Nama sebenernya siapa sih. 

Setelah tanya-tanya ke anak-anak rohis, ternyata namanya bagus juga. Gak biasa 'Ibrahim Zain Mutaqqin'. Sepertinya ada artinya.

OK, bener-bener kita sudahi dulu cerita si Ibra ini. Singkat cerita kami semua lulus dengan nilai sempurna. Gengku maksudku, kalo yang laiin.... mmmh, yaaa gitu deh nilainya. Heheheheh somboong. Aku dan geng seperti biasa merayakan kesuksesan kami. Menembus universitas ternama seperti Universitas Indonesia.

Kami bersama masuk ke universitas yang sama namun berbeda jurusan. Aku memutuskan meneruskan cita-citaku menjadi seorang Dokter. Impianku ingin menjadi Ahli bedah nantinya. Dengan kecerdasan yang kami miliki, tentunya tidak sulit mengikuti semua mata kuliah di perguruan tinggi.

Karna kesibukan kami mengejar cita-cita, serta jadwal mata kuliah dan kegiatan kemahasiswaan yang padat, pada akhirnya meski kami satu kampus, intensitas pertemuan kami menjadi semakin jarang. Bahkan belum tentu sebulan sekali kami dapat bertemu.

Tapi kemudian, beberapa bulan setelah lama kami tidak bertemu, akhirnya kami dipertemukan dengan kabar buruk dari keluarga nadiva. Ibundanya meninggal karna serangan jantung. Hari itu juga saat mendapat kabar duka itu, kami berempat segera bergegas ke rumah Nadiva. Suasana ramai dan terlihat Nadiva yang masih terisak di samping jenazah.

Kami menghampiri Nadiva, mencoba menenangkannya, menguatkannya agar diberi kesabaran dan ketabahan. Alhamdulilah Nadiva orang yang tegar. Ia tetap bersikap tenang meski sedang kehilangan. Sore hari setelah pemakaman selesai, kami pamit satu persatu. Kembali lagi ke kegiatan kami masing-masing yang super duper sibuk.

Dua minggu kemudian, giliran Utami yang mengirim kabar duka. Ibundanya juga telah berpulang. Lagi-lagi kami berkumpul dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Apakah hanya event ini yang dapat mempertemukan kami belakangan ini? Sedih rasanya.

Disuatu pagi yang cerah di bawah pohon rindang aku berteduh sambil membuka diktat mata kuliah yang super tebel. Aku semakin serius dengan usahaku meraih gelar dokterku. Bagaimanapun aku harus berhasil. Tiba-tiba ponselku berdering "Tari memanggil."

"Haah? Tari?. Tumben, ada apa ya?." Sejenak aku terdiam, ada rasa deg-degan. Takut kalau kabar duka lagi yang kuterima. Tapi bagaimanapun aku tetap harus angkat. "Iya Tar, ada apa? Tumben pagi-pagi gini?." Tanyaku pada Tari sambil menggigit-gigit pulpen ditangan kiriku.

"Sibuk ya Dib? Bisa ketemuan gak?" Tari terdengar seperti orang yang habis menangis. Ada apa dengannya. Kebetulan hari ini aku sedikit lowong, cuma lagi mengulang mata kuliah yang mungkin akan ada kuis nanti seperti biasa. Dosen mata kuliah satu ini memang hobi kasih kuis dadakan untuk menambah nilai. Kurasa aku sudah cukup khatam dengan diktat ini. Jadilah aku menyanggupi menemui Tari.

Kami bertemu di Caffe yang dulu sering kami datangi berlima. Tari menyeruput minuman dihadapannya. Kiwi Fresh Juice kesukaannya. Aku masih tidak berani bertanya. Ada apa dengannya. Kenapa Tari terlihat sedih. Toh jika memang Tari merasa ingin bercerita, dia pasti sudah bicara sejak tadi. Tapi Tari masih terdim dengan wajah sedihnya.

"Dib, gue sendirian  sekarang. Semua orang ninggalin gue. Mereka pergi setelah tau gue bangkrut." Tari memulai dengan kalimatnya yang bahkan aku sama sekali tidak pahami satupun. Dia menangis sambil bercerita. "Bangkrut? Elo bangrut Tar? Maksud lu apa gue gak paham deh. Coba ceritain dari awal. Kenapa juga lu bangkrut sebelum memulai apapun? Setau gue lu gak punya usaha apa-apa Tar." Jawabku kemudian.

"Aduh Diiib, please deh jangan becanda disaat begini. Bokap gue Dib. Bokap gue yang bangkrut. Dan gue yakin lu punya TV kan di rumah. Lu juga pasti udah tau dari berita di luar sana apa yang terjadi sama keluarga gue. Awalnya gue juga males telpon lo. Pasti lu menghindar juga. Pasti lo ga angkat juga telpon gue. Tapi gue iseng aja coba-coba. Ternyata lu angkat Dib. Kenapa?"

"Kenapa apanya. Ada telepon ya diangkat lah Tari. Lu kenapa sih. Ceritain deh semuanya. Iya gue tau masalah bokap lu yang ketangkep kemaren. Korupsi apa sih dia? Perasaan lu gak pernah akur sama bokap lo, kenapa tiba-tiba sekarang lu jadi peduli? bukannya lu cuma peduli sama uangnya? ooh justru karna lu takut miskin makanya yang lu peduliin kebangkrutannya, bukan dianya yang di penjara?"

"Diba, betul banget gue gak peduli dia, yang gue peduliin itu uangnya, hartanya dia. Apa jadinya kuliah gue tanpa duit dia, mobil gue, rumah gue semuanya disita Dib. Sekarang gue kepaksa ngungsi di rumah Oma. Saudara-saudara yang lain semuanya mulai jauhin keluarga gue, Oma tiap hari marah-marah tanpa sebab seolah dia pingin gue dan nyokap jadi gak betah di rumahnya dan minggat. O my God Diba. Gue harus gimana."

Aku terus mendengarkan curhatan Tari yang dibarengi dengan tangisannya yang tak henti-henti. Kupikir, alangkah teganya jika di saat-saat seperti ini aku justru menjauh. Aku bukanlah orang-orang seperti orang-orang dilingkungan Tari yang tiba-tiba menjauh ketika keluarga Tari susah.

"Ya udahlah Tar, lu focus aja sama kuliah lo. Kelarin dan jadi sukses. Supaya lu gak bergantung lagi sama harta bokap lu. Dulu kan lu sendiri yang bilang. Harta korupsi gak akan bertahan lama. Dan sekarang omongan lu kebukti. Ya jalanin aja." Aku mencoba terus berusaha menenangkan Tari yang sedari tadi menangis meratapi nasibnya.

Aku terus mendampingi Tari, hampir setiap malam sejak pertemuan kami itu Tari selalu menelponku. Ia tampak terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Tak jarang aku menganjurkannya untuk menghadiri acara persidangan papahnya untuk mendukungnya. Bagaimanapun Ayah dan anak haruslah saling memahami. Itu kataku padanya.

"Dib, makasih ya. Cuma lo sahabat gue yang gak pernah berubah. Cuma lo yang masih terus ada di samping gue."

"Udahlah Tar, jangan berpikiran negatif. Siapa tau Nadya dan yang lain memang sibuk dengan urusan mereka. Kapan-kapan kita coba main ke rumah mereka ya. Siapa tau mereka punya alasan kuat kenapa ganti kontak dan gak ada kabar. Kalo emang mereka cuma menghindar, ya kenapa sama gue juga. Harusnya mereka ngabarin gue dong. Kan gada masalah sama gue. Jadi jangan negatif thinking dulu ya say."

Tari terdiam disebrang telepon. Akupun ikut terdiam. Tidak berapa lama kemudian Tari mulai bicara lagi. Aku tau sejak awal Tari telepon hari ini, sepertinya ada hal penting yang ingin dia katakan, tapi mungkin dia mau basa basi dulu. Pikirku dalam hati.

"Dib, gue butuh banget bantuan lo. Tapi gue takut setelah ini lo bakalan ngejauhin gue juga." Seperti dugaanku sejak awal. Cepat atau lambat, Tari pasti butuh bantuan.

"Ngomong Tar, jangan menjudge gue seolah gue ini sama seperti sodara-sodara lo yang lain. Gue bukan mereka. Sebisa mungkin gue pasti bantu lo." Jawabku kemudian.

"Dib, gue butuh uang untuk bayar kuliah. Lu bisa bantu?" Tanyanya kemudian.

"Butuh berapa Tar? Mudah-mudahan gue bisa bantu lo."

"Sekitar 30juta Dib. Untuk semua biaya kuliah setahun ini. Gue gak mau putus kuliah. Gue harus berhasil Dib. Kalaupun lu ga bisa bantu uang, setidaknya apa lo bisa bantu gue cari kerjaan?" Tanya Tari lebih jauh.

Aku menghela nafas panjang. Bukan karna harus keluar uang untuk Tari. Tapi lebih kepada keputusan Tari yang ingin mencari pekerjaan. Kupikir waktu kita sudah sangat padat untuk kuliah. Mata kuliah yang setiap hari selalu ada, pengulangan pelajaran, tugas-tugas dan lainnya. Bagaimana mungkin Tari bisa membagi dua waktu kuliah dan bekerja.

Aku menyanggupi permintaan tari meminjamkan uang padanya. Lagipula dengan keadaanku yang seperti ini, uang segitu tidak masalah buatku. Sebetulnya tanpa Tari berjanji mengembalikannyapun aku tidak masalah. Justru yang jadi masalah, bagaimana caraku membantu Tari mencari pekerjaan.

Kalo aku minta di perusahaan Papah, pasti mama yang gak bakalan setuju. Karna kupikir Mama adalah orang yang terlalu memandang kekuasaan dan nama baik. Jika tau aku masih berhubungan dengan Tari, Mama pasti memintaku menjauhinya. Takut dampak nama buruk Papa Tari terbawa-bawa  ke keluarga kami yang tersohor dengan perusahaan besarnya di mana-mana.

"Tar, gue bantu lo soal uang. Tapi gue ga bisa janji apa-apa masalah kerjaan. Lu tau kan nyokap gue gimana." Aku dan Tari sama-sama terdiam sejenak.

"Gak masalah Dib, lo udah baik banget bantu gue. Sejauh ini, satu-satunya orang yang terus ada disamping gue sampai detik ini cuma elu Dib. Bahkan Dimaspun entah ke mana."

Dimas adalah pacar Tari sejak SMA, mereka seperti sepasang kancing dan baju yang sulit dipisahkan. Karna itulah aku agak sedikit kaget mendengar perkataan Tari yang mengatakan bahwa Dimaspun menghilang menghindarinya seperti yang lain.

Ya Allah, apakah sebegitu berperannya semua harta yang kita miliki di dunia ini bagi orang lain? Aku semakin bingung. Bagaimana cara meringankan beban psikologis Tari yang betul-betul sedang down.

"Sabar ya Tar, mungkin bukan Dimas yang memutuskan untuk menghilang dari lo. Mungkin aja orang-orang di sekelilingnya. Meskipun kita tetep gak boleh negatif thinking ke keluarganya. Tapi kemungkinan tetap aja ada kan. Terlebih lagi, gue gak yakin kalo Dimas type cowok yang memandang harta dan jabatan keluarga lo seperti yang lain."

Singkatnya semua kesedihan Tari berlalu. Tapi entah nasib seperti apa yang berputar di sekeliling kami berlima. Seolah cobaan datang secara bergiliran. Kali ini giliranku. Papah jatuh sakit, Mama semakin lama semakin menderita karna lelah mengurus Papah. Sudah dua tahun ini Papah terbaring lemah, usaha Papah yang dipegang Om Salman mengalami defisit. Itu kata Om Salman. Meski aku yakin sesungguhnya tidak seperti itu. Aku tidak mau berpikiran buruk terhadap Om Salman adiknya Papah. Aku ingin buang jauh-jauh sifat negatifku ini.

Tapi mengingat usaha Papah yang besar dan semua terkendali dengan baik dan tiba-tiba saja jadi berantakan semenjak Papah sakit dan tidak datang-datang ke kantor, rasanya ini sesuatu yang terlalu kebetulan. Setiap bulan Om Salman datang ke rumah membawa setumpuk laporan keuangan perusahaan. Semua laporan itu hanya bisa Papah tandatangan tanpa membaca isinya. Karna Papah terlalu sakit untuk berpikir apalagi mempelajari isi laporan itu.

Tentu saja aku dan Mama sama sekali tidak mengerti tentang bisnis Papah. Inilah satu-satunya kesalahan Papah di masa lalu yang baru kelihatan dampaknya saat ini. Seandainya dulu Papah mengijinkan Mama membuka bisnis butik dan restauran sendiri, mungkin kami gak akan terlalu bergantung pada perusahaan Papah semata. Mungkin kami bisa dengan ikhlas menyerahkan saja seluruhnya kepada Om Salman.

Papah terlalu takut jika Mama menjadi wanita mandiri maka lambat laun Ia tidak akan dibutuhkan lagi. Sepicik itukah pikiran Papah dulu. Aku terkejut mendengar cerita Mama. Pantas saja disaat Ibu-ibu lain sibuk dengan bisnisnya, usaha dagangnya, kesana kemari meeting dengan teman-teman bisnis dan lainnya. Mama hanya sibuk mengurus aku, mengantar jemputku sekolah, memasak, dan hanya berkebun di rumah. Rupanya itu karna Papah melarang.

Satu kesalahan lagi adalah Papah tidak pernah memberikanku ilmu bisnisnya sedikitpun. Ia hanya ingin aku lulus dengan nilai terbaik sebagai seorang dokter. Papah lupa jika sekolah kedokteran membutuhkan banyak dana. Jika sekarang Papah bangkrut, bagaimana aku bisa meneruskan sekolah kedokteranku yang butuh banyak biaya?

Aku bingung, Mama jadi lebih sering melamun. Kami betul-betul jatuh miskin. Sampai-sampai kami harus keluar dari rumah. Semua perusahaan beserta asset yang tersisa sudah habis untuk membayar hutang, gaji karyawan, dan biaya pengobatan Papah. Jadilah kami tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil tanpa fasilitas mewah yang memadai. Aku? Tentu saja sangat tersiksa. Seperti biasa, keluarga besar kami menghilang satu persatu, terlebih belakangan ini biaya pengobatan Papah makin membengkak. Papah jadi harus lebih sering bolak balik ke Rumah Sakit.

Akhirnya aku yang harus memikirkan keluarga ini. Dengan berbekal ijazah SMA aku mencari pekerjaan. Semua pekerjaan kuterima. Bahkan Tari juga turut membantuku. Hanya Tari yang ada. Mungkin Ia teringat dirinya pada masa-masa sulit dulu akupun membantunya.

"Dib, gue bingung nih mau ngomongnya." Kata Tari sambil menatapku dengan wajah kebingungan. "Apa sih, tinggal ngomong aja pake bingung segala. Gak usah takut gue tersinggung. Gimanapun sekarang ini gue udah jadi orang susah, miskin, jadi udah ga boleh baper lagi." Jawabku kemudian.

"Lu bener-bener butuh kerjaan kan?" Tanya Tari kemudian. "Ya iyalah. Kan lo tau udah dua minggu ini gue cari kerjaan dan ga dapet-dapet. Apalah artinya ijazah SMA ini."

"Nah itu dia Dib, jadi gue punya kenalan yang lagi butuh orang untuk kerja. Tapiii... gimana yah. Gue gak yakin lu sanggup."

"Tar, kerjaan apapun akan gue sanggupin asal halal gak macem-macem apalagi jual diri ke om-om." jawabku kemudian.

"Hahah, gila lo. Ya enggaklah, jadiii kenalan gue ini lagi butuh pengasuh untuk anaknya Dib. Gaji sih udah pasti gak gede lah. Jauh banget dibandingin uang jajan lu sehari. Duluuu..."

"Hahahahaha....." Kami tertawa bersama. Akhirnya aku menerima saran Tari untuk melamar menjadi pengasuh di rumah kenalannya Tari. Walau gaji tidak seberapa, setidaknya aku masih bisa bantu Mama Papa untuk biaya sehari-hari seperti makan, air, listrik dan pulsa telpon. Itu sangat menolong.

Singkatnya aku sudah sangat kewalahan mengasuh bayi majikanku. Maklum, aku yang manja harus berhadapan dengan seorang bayi yang sama sekali tidak kumengerti bahasanya. Tiap kali Ia selalu menangis. Tapi Alhamdulilah majikanku sangaaat baik, bukannya memecatku karna tidak becus mengurus anak mereka, bahkan mereka malah memberiku bimbingan dan pelajaran bagaimana cara mengasuh anak dengan benar.

Itu membuatku mempelajari banyak hal. Terlebih lagi jika suatu hari nanti mungkin Tuhan akan memberiku jodoh dan aku menikah. Itu sangat-sangat menolongku menimba ilmu menghadapi calon keluarga kecilku nanti.

Bukan hanya itu kebaikan yang kuterima dari majikanku. Mereka juga sering mengajakku pergi ke acara majelis taklim, pengajian dan dakwah yang kudengar hampir setiap hari itu membuatku makin lama makin menjadi sosok yang jauh lebih baik, hari ini ke pengajian RT sini, besok ke masjid kota sebelah, lusa di rumah majikanku sendiri. Sungguh beliau sangat berjasa bagiku.

Pic From Google
Diawal-awal mengikuti pengajian, seringkali aku menangis mendengar dakwah-dakwah yang memecut hatiku. Aku semakin tersadar, sejak kecil bahkan sejak aku lahir, Mama Papa tidak pernah sekalipun mempedulikan pendidikan agama kami. Keluargaku yang terlalu hedonis, memandang kesuksesan sebatas harta, jabatan, dan nama besar yang dimiliki. Mereka lupa yang menciptakan itu semua.

Mama kaget bukan main saat aku pulang dari bekerja dirumah majikanku dengan mengenakan gamis beserta hijab sebatas dada dikepalaku. Hampir Ia tak mengenaliku.
"Diba? ini Diba kan?" Tanyanya dengan wajah terkejut. Seketika air matanya menetes. Baru kali ini Mama ingat penciptaNya.

"Ya Allah Diba, selama ini kita lalai terhadapNya. Semua yang kita pikirkan selama ini hanyalah tentang dunia. Tapi, bagaimana mungkin kamu bisa seperti sekarang ini nak?". Tanya Mama padaku dengan mata berkaca-kaca.

"Iya Mah, doakan Diba bisa istiqomah mulai sekarang ya Mah. InshaAllah Diba akan konsisten dengan jalan hidup Diba mulai detik ini. Mah, mari kita sama-memperbaiki jalan hidup kita, dimulai dari diri sendiri Mah, banyak berdoa sama Allah. Diba mohon, Mama mulai sekarang jalankan Sholat lima waktu Mah, banyak zikir dan berdoa, memohon kesembuhan Papah kepada Allah Mah."

Aku dan Mama berpelukan sambil meneteskan air mata mengingat betapa bodohnya kami yang selama ini lupa bahwa ada Sang Pencipta yang pasti akan menunjukkan jalan.
Aku merasa sangat berdosa. Mengapa ketika kesulitan datang barulah menyadari bahwa ilmu agama itu penting? Bagaimana mungkin selama ini kami hidup bahagia bergelimangan harta dan penuh kemewahan tanpa campur tangan Allah yang Maha segala-galanya, Maha memberi apa yang selama ini kita punya.

Mulai dari situ, aku merasa hidup kami lebih tentram, lebih damai. Sampai suatu ketika majikanku memberiku kabar baik sekaligus membuatku bimbang. Saudari majikanku yang tinggal di Cairo membutuhkan seorang pengasuh anak. Aku ditawari gaji yang cukup tinggi karna akan ditempatkan di luar negri. Aku bimbang, haruskah kutinggalkan Mama Papa yang justru sedang membutuhkanku.

Benarkah ini jalan yang Allah pilihkan bagiku? Bagi keluargaku? Aku bingung, majikanku menyarankanku untuk melaksanakan sholat istikharah. Yang katanya jika dilakukan dengan keyakinan dan bersungguh-sungguh, InshaAllah Allah akan menunjukkan jalan yang tepat bagiku. Akupun melaksanakannya.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian Mama tiba-tiba saja bertanya padaku. Pertanyaan yang aku sendiri tidak tau Mama tau dari mana perihal aku ditawari pekerjaan di luar negri. "Dib, sampai detik ini kamu masih juga diam. Bagaimana keputusanmu mengenai tawaran bekerja di luar negri itu Nak?" Tanya Mama di tengah suasana makan malam yang sunyi. Alhamdulilah Papa mulai bisa makan sendiri, meski masih harus beraktifitas di kursi roda tapi kondisinya sudah sangat jauh lebih baik. Beliaupun ikut berbicara.

"Nak' jika alasanmu tidak menerima tawaran itu karna Papa dan Mama, maka kami berdua akan sangat menyesal. Maka kami akan hidup menanggung rasa bersalah hingga akhir hayat. Apa kau mau Papa Mamamu menanggung derita itu?" Tanya Papa kemudian. Aku terkejut mendengarnya.

Memang sebenarnya aku berat meninggalkan mereka berdua. Diumur yang tak lagi muda, terlebih Papa dalam kondisi tidak stabil harus kutinggalkan. Rasanya aku sangat berat. Tapi mendengar hal itu, aku malah jadi takut sekali. Benarkah mereka akan terbebani dengan keputusanku?

"Pah, Mah, jikapun Diba menolak tawaran itu. Diba pastikan itu bukan karna kalian. Diba sudah nyaman di rumah Umi Halimah Pah, Mah. Kalian lihat sendiri perubahan apa yang Umi bawa kepada Diba. Majikan yang mungkin hanya seorang yang seperti Beliau di dunia ini. Diba beruntung Pah, Mah bekerja dengan Beliau. Jadi Diba bukan hanya berat meninggalkan Mama Papa tapi juga Diba sudah kerasan di rumah Beliau."

Mama Papa terus membujukku agar mau pergi bekerja di sana. Mereka berharap, aku dapat menemukan kehidupan yang lebih baik dan tentunya lebih layak di sana. Siapa tau masa depanku memang di sana. Kuliahku yang sempat terhenti mungkin saja bisa kulanjutkan nanti jika aku berhasil mengumpulkan uang dari bekerja di luar negri.

Singkat cerita, akhirnya semua persiapan kepergianku untuk bekerja di rumah kerabat majikanku telah siap. Lusa aku berangkat. Aku berdoa semoga Allah melindungi kedua orangtuaku selama aku tidak berada di dekat mereka.

*******

Cairo

Aku tiba di bandara Cairo. Disambut oleh seorang driver yang ternyata juga orang asli indonesia. Pak Samin namanya. Dia membentangkan poster bertuliskan namaku "ADIBA SHAKILA From INDONESIA". Akupun menghampirinya.

"Assalamualikum Pak Samin, saya Adiba". Kataku memperkenalkan diri sambil mengatupkan kedua tanganku ke hadapannya. 

"Oh iya Neng, Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat. Sukurlah akhirnya ada yang bisa saya ajak bicara bahasa Indonesia." Jawabnya kemudian sambil tersenyum lebar.

Akupun bersukur bahwa semua pekerja majikan baruku di Cairo ini adalah orang asli Indonesia semua. Sehingga aku tidak kesulitan ketika harus menyampaikan sesuatu. Kamipun segera bergegas menuju kediaman majikan kami. Dalam perjalanan Pak Samin banyak bercerita tentang keluarga majikan baruku. Ia bernama Umi Laksmi. Beliau pengusaha sukses di Indonesia sebenarnya. Namun rupanya Allah sangat gemar sekali menitipkan harta dunia ke tangannya. Terbukti selain Ia kaya raya di Indonesia, Iapun akhirnya berkesempatan melebarkan sayap usahanya di negeri orang.

Menurut cerita Pak Samin, keluarga Umi Laksmi ini keluarga yang sangat royal. Setiap hari tak pernah absen bersedekah. Umi memiliki yayasan panti asuhan di Indonesia. Kesemuanya Umi yang membiayai tanpa turut campur tangan donatur. Paling-paling jika ada kerabat atau rekan bisnis yang memang ingin mendonasikan sebagian hartanya barulah Umi menerima donasi. Selebihnya Umi sama sekali tidak pernah meminta atau menggalang donasi untuk yayasannya sendiri.

Aku berfikir sejenak. Teringat akan kehidupan makmur nan mewahku dulu. Adakah Papa dan Mama bersedekah ketika itu? Seingatku, perusahaan Papa yang begitu sukses dan maju sama sekali jauh dari yang namanya sedekah. Entah apakah Papa tidak kepikiran ataukah Papa merasa rugi jika harus bersedekah. Yah, entahlah. Masa lalu keluarga kami yang terlampau jauh dari ajaran Allah sangat membuat kami terjebak dalam kehidupan hura-hura yang sama sekali tidak bermanfaat. Tapi aku tidak mau menyesalinya. Aku harus bangkit dan berjuang demi mereka.

Kamipun sampai di kediaman Umi Laksmi. MasyaAllaaah...... tiada berhenti aku terkagum-kagum dengan kemeahan bangunan yang bagai puri istana para raja seperti yang ada di film-film dongeng itu. Aku tak habis pikir. Bagaimana para asisten rumah tangga membersihkan bangunan ini? Menurut Pak Samin, mereka ada lebih dari puluhan orang yang bekerja sebagai ART di rumah ini. Aku jadi merinding mengingat akan merawat seorang anak yang kehidupannya semewah ini.

Kemewahan yang kupunya sungguh sangat jauh dibandingkan apa yang ada di depan mataku sekarang ini. Benar kata Pak Samin. Allah sangat senang menitipkan harta dunia kepada keluarga Umi Laksmi yang sangat kaya raya ini.

Aku dipersilahkan masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang berisi meja kerja dan peralatan kantor lainnya di dalam rumah itu. Ya, seperti rumah mewahku dulu yang juga ada ruang kantor di dalamnya. Bedanya ini jauh lebih luas dari milik Papa dulu.

"Jadi kamu Adiba yang calon Dokter itu?" Tanya wanita cantik yang duduk di meja kerja itu. Aku mengangguk dengan wajah sedikit heran. Darimana beliau tau kalau aku calon dokter gagal? Eh, tapi beliau tidak menyebutkan kata gagal di kalimat itu.

"Iya saya Adiba. Maaf sebelumnya Ibu. Panggilan apa yang harus saya ucapkan untuk memanggil Ibu?". Tanyaku sedikit gugup. Aku memang seorang calon dokter yang sama sekali masih jauh dari berhasil. Namun sikap tenang dan rasa kepercayaan diri seorang dokter sudah melekat pada diriku sejak aku masih SMA. Sehingga tidak sulit bagiku untuk berkomunikasi seformal dan se high class mungkin.

"Panggil saja saya Hana. Nama saya Hana Mutaqqin. Saya anak dari Umi Laksmi pemilik rumah ini. Kebetulan yang akan kamu asuh nanti adalah putri saya bernama Syahira. Dia masih berumur 3 bulan. Apa kamu sudah terbiasa mengasuh bayi kecil?" Tanyanya padaku. Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Karna kupikir seharusnya Mba Hana sudah tau jika sebelumnya aku bekerja dengan kerabatnya di Indonesia juga mengasuh seorang anak.

Belum sempat aku membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Mba Hana, Ia melanjutkan. "Maaf ya Dek' Diba. Bukan saya kurang yakin. Saya tau betul waktu di Jakarta kamu bekerja mengasuh keponakan saya Maliha. Hanya saja saya tidak menyangka bahwa ternyata pengasuh yang dikirim ke sini begitu cantik dan lembut, tidak seperti seorang pekerja. Sangat jauh dari yang saya pikirkan. Mohon maaf sekali lho Dek." Terangnya kemudian.

"Oh gak apa-apa Mba Hana. Saya gak masalah dengan yang dipikirkan orang-orang tentang saya. Karna di Jakarta semua orang tau siapa saya, reputasi saya, bahkan kehidupan saya sebelum saya jadi pengasuh. Jadi rasanya saya tidak kaget lagi jika mendengar Mba Hana mengatakan hal seperti itu." Jawabku kemudian sambil tersenyum.

"TOK...TOK..." Terdengar pintu diketuk. Mba Hana mempersilahkan masuk. "Iya, masuk saja tidak terkunci."

Seorang laki-laki berkulit putih berbadan tinggi dan tegap masuk. Sesaat aku terpesona pada sosoknya. Laki-laki ini begitu tampan. Kemudian aku tersadar. "Astagfirullahaladziim." Batinku kemudian. 

"Dek' maaf lho titipanmu tidak kutemukan di pasar tadi. Coba nanti aku suruh orang untuk mencari ke mini market." Katanya sambil menghampiri Mba Hana dan memberikan beberapa bungkusan yang katanya dari pasar.

"Iya gak papa Kak, nanti biar aku sendiri yang suruh orang. Oh ya, dimana Hira?" Tanyanya pada lelaki itu. 

Sebetulnya aku agak sedikit terusik. Ingin melihat wajahnya sekali lagi. Ya Allah apakah dosa ingin melihat wajah lawan jenis dengan perasaan berdebar seperti ini. Tapi jujur saja bukan hanya terpesona dengan tampannya, aku merasa seperti pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tapi di mana. Aku berfikir keras. Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa dimana aku masih SMA, berteman dengan keempat sahabatku Tari, Nadya, Nadiva dan Utami.

"Ya Allaaaah...." Aku tercekat sambil tertunduk menahan perasaan kaget yang tak terhingga. Tapi ternyata gumamanku terdengar mereka. Lelaki itu dan Mba Hana menengok tajam ke arahku.

"Iya, ada apa Adiba?" Tanya Mba Hana kemudian. 

"Mm... ngga ada apa-apa Mba Hana. Saya hanya tiba-tiba teringat sesuatu." Jawabku sambil tertunduk. Lelaki itu tersenyum. Aku ragu dia tidak mengenaliku. Senyum tipisnya semakin meyakinkanku kalau dia ingat siapa aku. Bagaimana mungkin dia tidak mengingatku. Aku yang sangat terkenal di kalangan para siswa semasa SMA dulu. 

Ya ampuuun ternyata suami Mba Hana adalah lelaki itu. Ibra, Ibrahim Zayn Mutaqqin. Kakak kelas tampan yang terkenal alim dan digosipkan gay, ternyata sudah menikah. MasyaAllah, dengan putri saudagar kaya macam Mba Hana. Makin minder saja aku. Tapi sungguh, aku tidak pernah melupakan senyuman Ibra terakhir kali ketika kami tanpa sengaja bertemu di lorong sekolah saat perpisahan SMA dulu. Waktu itu anak-anak angkatan Ibra sedang acara perpisahan kelulusan. Entah apa yang ingin Ia sampaikan saat itu.

Ingatanku flash back ke masa itu. Saat Ia berdiri di lorong sekolah. Menghadapku dan menyebut namaku. "Diba, bisa kita....." 
Hanya kalimat itu yang berhasil Ia ucapkan. Karna tiba-tiba saja teman-temannya datang berhamburan lalu menarik dia keluar lapangan untuk sedikit berpidato diacara perpisahan sekolah saat itu. Setelah itu aku tak lagi bertemu dengannya. Bahkan kabarnyapun aku tak tau.

Jujur sebenarnya saat itu kemungkinan besar aku sudah jatuh cinta padanya. Namun gosip-gosip yang beredar yang mengatakan bahwa Ia gay, membuatku mundur dan acuh tak acuh kepadanya. Siapa sangka, ternyata sekarang Ia akan menjadi majikanku. Ayah dari anak yang aku asuh di rumah megah ini. Terlebih lagi istri cantiknya yang bernama Hana benar-benar membuatku minder. Aku yang dulu mungkin akan dengan mudahnya menyingkirkan lawan-lawanku. Dengan kepribadianku yang luar biasa serta status sosialku yang semua orang tau, aku pasti bisa dengan mudah merebut si Ibra ini dari tangannya. Tapi apalah aku sekarang.

"Ehem... Hira sedang main di kebun sama Ibu." Jawab Ibra kepada Mba Hana. Jujur saja aku jadi bingung sebutan apa yang pantas untuk memanggil Ibrahim. Tuan? Duh... pusing kepalaku rasanya.

Hari ini berjalan dengan lancar. Aku sudah berkenalan dengan Syahira. Putri cantik berusia tiga bulan yang masih harus digendong-gendong ke mana-mana. Wajah malaikatnya membuat hatiku nyaman mengurusnya. Putri mungil yang cantik memiliki kedua orangtua yang juga cantik dan tampan. Keluarga yang sempurna. Pikirku saat itu.

"Deek' aku pergi ke perpustakaan dulu ya. Hira bersama Diba." Teriak Ibrahim kepada Mba Hana yang sedang menyajikan makan siang di meja makan besar itu. 

"Dadah sayaang". Kata ibrahim kepada Syahira sambil menyerahkannya padaku dan menciumnya kemudian berlalu pergi. Tapi kemudian Ia berbalik sejenak.

"Oh ya Diba, nanti tolong bilangin Dek Hana ya saya pergi cuma sebentar dan akan makan siang di rumah. Sepertinya dia tidak dengar teriakan saya." 

"Oh iya Ka, nanti saya sampaikan. Aduh maaf saya jadi bingung mau panggil apa." Kataku gugup.

"Kaka juga gak apa koq. Cocok. Kak' Ibra. Hihih." Katanya dengan senyumnya yang menawan sambil berlalu pergi.

"Astagfirullaaah. perasaan apa ini. Kenapa rasa sukaku padanya semakin besar. Ya Allah, dosa besar aku mencintai suami orang seperti ini. Ya Allah hilangkan rasa ini. Bagaimana aku mengatasi perasaan ini." Batinku menjerit. Rasanya aku ingin dipulangkan saja. Dan tak pernah lagi bertemu dengan majikan tampanku ini.

Semua berjalan diluar dugaan. Pada akhirnya aku malah betah tinggal di rumah megah ini merawat Syahira putri Mba Hana dan Kak Ibrahim. Aku merasa mereka sangat dekat denganku, aku diperlakukan khusus. Seperti bagian dari keluarga. Awalnya aku takut akan mendapat tatapan sinis dari para pekerja lain di sini. Tapi ternyata aku salah. Mereka semua baik-baik padaku. Karna semua yang ada dalam rumah ini satu keluarga. Kami para pekerjapun dianggap satu keluarga. Tak jarang kami semua makan bersama dalam satu meja besar panjang setiap satu kali seminggu. Katanya sudah tradisi. Agar kami semua merasakan kekeluargaan yang kental di rumah ini. Sehingga para pekerjapun tidak merasa jauh dari rumah dan keluarga.

Aku senang setiap kali bermain bersama Syahira, Kak Ibra selalu datang menghampiri dan bermain bersama kami. Pernah suatu kali aku merasa seperti satu keluarga dengan Kak Ibra dan Hira. Andai saja kami bertiga keluarga kecil bahagia. Batinku saat itu. Tapi pikiranku itu harus kubuang jauh-jauh. Aku ini hanya pengasuh. Beraninya mengkhayalkan berkeluarga dengan majikanku. Terlebih lagi apalah aku ini jika dibandingkan dengan Mba Hana istri Kak Ibra.

Aku semakin dekat dengan keluarga ini. Tak jarang ketika kumpul keluarga besar, aku turut hadir di dalamnya. Bagaimana tidak, Syahira yang masih harus digendong tentu saja harus mengikutsertakan pengasuhnya ini. 

Sore itu cuaca sangat cerah. Aku yang sedang mengajak Hira bermain di halaman sedang asyik bersantai-santai di rerumputan. Tiba-tiba saja Kak Ibra datang menghampiri. Seperti biasa sebenarnya. Sebetulnya lama kelamaan aku jadi bisa mengendalikan perasaanku. Mungkin karna aku memang sudah harus terbiasa. 

"Hiraaa..... Ya ampun sayang, kamu cantik banget Nak' siapa yang dandanin? Mba Diba yaa?. Waaah Hira pakai mahkota bunga buatan Mba Diba yaa..." Umi Laksmi yang adalah neneknya Syahira hari ini sedang luang. Karna urusan bisnisnya sudah selesai semua. Ia menghampiri Hira, Aku dan Kak Ibra. Sementara Syahira bercengkrama dengan Neneknya, aku dan Kak Ibra mengobrol.

"Dib, kamu inget gak waktu kita SMA dulu. Waktu acara perpisahan kelulusanku. Di lorong sekolah sebetulnya ada yang mau aku bilang." 

Sudah kuduga. Ternyata selama ini Kak Ibra memang mengingatku. Aku yang sekarang dengan pakaian serba panjang serta hijab yang menutup sampai batas dada. Ternyata pakaian ini tidak membuatnya lupa padaku.

"Sudah Diba duga. Ternyata Kak' Ibra memang ingat Diba ya. Pastinya Diba juga gak akan pernah lupa Kak saat di lorong dulu itu. Emang kalo boleh tau, Kak' Ibra waktu itu mau ngomong apa?" Tanyaku penasaran sambil tertunduk dalam-dalam karna takut terpikat pada wajahnya yang tampan padahal Ia suami majikanku.

Baca lanjutannya dilink bawah ini